Senin (4 Januari 2009), saya menemukan sebuah buku berjudul Jihad Melawan Ekstrimis Agama, Membangkitkan Islam Progresif (terbit pertama Oktober 2009). Penulisnya Sumanto Al Qurtuby. Buku ini merupakan kumpulan artikel yang salah satunya diberi judul Agama, Seks, dan Moral”. Penulis buku ini adalah alumnus Fakultas Syariah IAIN Semarang yang sekarang sedang mengambil program doktor di Boston University, AS, bidang antropologi politik dan agama. Melalui artikel itulah, kita bisa menyimak secara jelas apa yang dimaksud dengan gagasan Islam progresif, yang belakangan sering dilontarkan dan dianggap sebagai pemahaman Islam yang seharusnya dianut umat Islam.
Buku ini secara terang-terangan menghalalkan praktik seks bebas, yang penting dilakukan dengan suka rela, tanpa paksaan. Simaklah pendapat penulis tentang seks bebas (perzinahan) dan pelacuran: ”Lalu bagaimana hukum hubungan seks yang dilakukan atas dasar suka sama suka, “demokratis”, tidak ada pihak yang “disubordinasi” dan “diintimidasi”? Atau bagaimana hukum orang yang melakukan hubungan seks dengan pelacur (maaf kalau kata ini kurang sopan), dengan escort lady, call girl dan sejenisnya? Atau hukum seorang perempuan, tante-tante, janda-janda atau wanita kesepian yang menyewa seorang gigolo untuk melampiaskan nafsu seks? Jika seorang dosen atau penulis boleh “menjual” otaknya untuk mendapatkan honor, atau seorang dai atau pengkhotbah yang “menjual” mulut untuk mencari nafkah, atau penyanyi dangdut yang “menjual” pantat dan pinggul untuk mendapatkan uang, atau seorang penjahit atau pengrajin yang “menjual” tangan untuk menghidupi keluarga, apakah tidak boleh seorang laki-laki atau perempuan yang “menjual” alat kelaminnya untuk menghidupi anak-istri/suami mereka?”
Penulis juga mengecam MUI karena memperjuangkan UU Pornografi dan Pornoaksi. Katanya lebih lanjut: ”Demikian juga jika kita masih meributkan soal kelamin – seperti yang dilakukan MUI yang ngotot memperjuangkan UU Pornografi dan Pornoaksi – itu juga sebagai pertanda rendahnya kualitas keimanan kita sekaligus rapuhnya fondasi spiritual kita. Sebaliknya, jika roh dan spiritualitas kita tangguh, maka apalah artinya segumpal daging bernama vagina dan penis itu. Apalah bedanya vagina dan penis itu dengan kuping, ketiak, hidung, tangan dan organ tubuh yang lain. Agama semestinya ”mengakomodasi” bukan ”mengeksekusi” fakta keberagaman ekspresi seksualitas masyarakat. Ingatlah bahwa dosa bukan karena ”daging yang kotor” tetapi lantaran otak dan ruh kita yang penuh noda.”
Bagi kita yang Muslim dan normal, pendapat seperti ini jelas amat sangat salah. Tentu kita patut bertanya, bagaimana seorang lulusan fakultas syariah bisa menjadi seperti itu? Kita yakin, paham itu tidak diajarkan di kampusnya. Mungkin dia mendapatkan dari luar kampus. Tetapi, ketika menjadi mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Semarang, ia pernah memimpin sebuah Jurnal bernama Justisia – yang terbit atas izin pimpinan Fakultas – yang isinya sangat anti syariat Islam, termasuk secara terbuka menghalalkan perkawinan sesama jenis.
Mengapa jurnal yang dalam berbagai edisinya sangat melecehkan al-Quran dan syariat Islam bisa terbit dengan bebas di sebuah kampus yang menyandang nama Islam? Ada yang menyatakan, bahwa yang semacam ini, hanya oknum saja. Tetapi, faktanya, oknum itu dibiarkan secara bebas menyebarkan opininya, juga menggunakan nama kampus. Ada yang menarik jika kita membaca sebuah buku berjudul: IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos, 2002). Buku ini diterbitkan atas kerjasama Canadian International Development Agency (CIDA) dan Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Islam (Ditbinperta) Departemen Agama. Dalam buku ini diceritakan sejarah perubahan kampus IAIN, dari lembaga dakwah menjadi lembaga akademis: “Sebagai lembaga berafiliasi kepada agama, IAIN mulanya dimaknai sebagai lembaga dakwah Islam yang bertanggung jawab terhadap syiar agama di masyarakat. Sehingga orientasi kepentingannya lebih difokuskan pada pertimbangan-pertimbangan dakwah. Tentu saja orientasi ini tidaklah keliru. Hanya saja, menjadikan IAIN sebagai lembaga dakwah pada dasarnya telah mengurangi peran yang semestinya lebih ditonjolkan, yaitu sebagai lembaga pendidikan tinggi Islam. Karena IAIN sebagai lembaga akademis, maka tuntutan dan tanggung jawab yang dipikul oleh IAIN adalah tanggung jawab akademis ilmiah.” (hal. x).
Menurut buku ini, kepulangan para dosen IAIN dari pusat-pusat studi Islam di Barat telah mengubah metodologi dalam mempelajari Islam, sebagaimana yang diajarkan guru-guru mereka (para orientalis) di Barat. Metode itu sangat berbeda dengan metode belajar Islam yang dikembangkan oleh para ulama Islam di masa lalu. Disebutkan lebih jauh:
“Salah satu yang menonjol adalah tradisi keilmuan yang dibawa pulang oleh kafilah IAIN (dan STAIN) dari studi mereka di McGill University secara khusus dan universitas-universitas lain di Barat secara umum. Berbeda dengan tradisi keilmuan yang dikembangkan oleh jaringan ulama yang mempunyai kecenderungan untuk mengikuti dan menyebarkan pemikiran ulama gurunya, tradisi keilmuan Barat, kalau boleh dikatakan begitu, lebih membawa pulang metodologi maupun pendekatan dari sebuah pemikiran tertentu. Sehingga mereka justru bisa lebih kritis sekalipun terhadap pikiran profesor-profesor mereka sendiri. Disamping aspek metodologis itu, pendekatan sosial empiris dalam studi agama juga dikembangkan.” (hal. xi).
Kemudian, sebagaimana diceritakan dalam buku ini pula, liberalisasi Islam yang dimulai dari pasca sarjana UIN Jakarta – yang dipimpin oleh Prof. Harun Nasution –juga dikembangkan ke Perguruan Tinggi Umum melalui dosen-dosen agama yang diberi kesempatan untuk mengambil S2 dan S3 di IAIN Jakarta. “Dosen-dosen mata kuliah agama di perguruan tinggi umum dipersilakan mengambil program S2 dan S3 di IAIN Jakarta, dimana Harun Nasution bertindak sebagai direktur. Dari sinilah kemudian paham Islam rasional dan liberal yang dikembangkan Harun Nasution mulai berkembang juga di lingkungan perguruan tinggi umum.” (hal. 66).
Karena dianggap berjasa besar dalam meliberalkan IAIN itulah – seperti pengakuan buku yang ditulis oleh sejumlah dosen UIN Jakarta ini — maka di UIN Jakarta, sosok dan pemikiran Harun Nasution terus dipuja. Buku-bukunya dijadikan pegangan. Jangan heran, jika paham Islam Rasional, liberal, atau progresif, terus diajarkan, digaungkan, dan disebarluaskan ke tengah masyarakat. Tentang peran Harun Nasution ditulis: “Namun perlu dicatat pula bahwa pengaruh McGill terhadap perguruan tinggi Islam di Indonesia sangat kentara berkat jasa dua intelektual Islam, Harun Nasution dan Mukti Ali. Harun Nasution lewat pembaharuan pemikiran keislaman dikenal sebagai sarjana yang sangat konsisten menyuarakan pluralistik approach dalam memahami Islam dan berakar kuat di lingkungan IAIN dewasa ini. Buku Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya menghilhami banyak sarjana Muslim Indonesia untuk melihat betapa beragamnya pemikiran yang berkembang dalam Islam…” (hal. viii).
Sebagai Muslim, kita tentu berhak untuk heran, mengapa para dosen perguruan Tinggi Islam ini sangat bangga mengadopsi metode studi Islam ala orientalis. Para orientalis itu, meskipun tahu sebagian ajaran Islam, tetapi tetap tidak mau beriman. Mereka mengembangkan studi agama berbasis pada skeptisisme dengan dalih “pluralistic approach”. Metode ini tidak mengarahkan mahasiswa untuk meyakini kebenaran satu pendapat. Pada akhirnya metode netral agama (mungkin bisa disebut dengan istilah metode “sok kafir”) dalam studi Islam semacam ini hanya merugikan masa depan studi Islam dan Perguruan Tinggi Islam itu sendiri, karena dapat melahirkan sarjana-sarjana yang bangga dalam keraguan dan kebingungan serta tidak meyakini kebenaran Islam. (***)