Home Artikel Konsep Ilmu dan Metode Pendidikan Al Ghazali (2)

Konsep Ilmu dan Metode Pendidikan Al Ghazali (2)

1456
0

Oleh: Wendi Zarman

Begitu juga dalam ilmu mu‘amalah yang berkaitan dengan larangan. Misalnya, seseorang yang telah meyakini dua kalimah syahadah harus mengenal larangan-larangan agama. Misalnya, ketika ia hendak makan maka ia seharusnya mengetahui mana makanan halal dan mana yang haram dan ia harus menghindarkan dirinya dari yang haram. Begitu juga ketika ia berbicara ia juga harus mengetahui bahwa ia harus meninggalkan perkataan yang dusta. Ketika ia hendak berdagang maka ia harus mengetahui bahwa ia tidak boleh mengurangi timbangan dan bisa membedakan mana yang jual beli dan mana riba dan ia wajib meninggalkan segala bentuk kecurangan dan riba.

Termasuk dalam fardhu ‘ain menurut al-Ghazali adalah mengetahui hal-hal membinasakan yaitu keadaan-keadaan hati yang tercela seperti sombong, ujub, riya’, dengki, dan lain-lain. Seorang manusia tidak akan luput dari cobaan keadaan hati seperti ini dan menghilangkan sifat-sifat ini merupakan suatu fardhu’ain. Jika ia jatuh ke dalam keadaan ini maka ia akan mendapat dosa, oleh karena itu ia harus mengetahui hal-hal yang terkait dengan sifat-sifat tercela ini. Agar ia selamat dari sifat-sifat ini maka menurut al-Ghazali setiap orang hendaknya mengenal batas-batas, sebab-sebab, tanda-tanda, dan cara pengobatan penyakit hati ini.

1.            Konsep Pendidikan Al Ghazali[1]

Al-Ghazali menilai bahwa ilmu itu harus mengantarkan orang yang mempelajarinya mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Inilah yang disebut dengan ilmu bermanfaat. Sekiranya keduanya tidak bisa diraih paling tidak kebahagiaan akhirat bisa diperoleh karena inilah kebahagiaan yang hakiki. Sekiranya ilmu itu memberi kebahagiaan bagi kehidupan dunia tapi tidak mengantarkan kebahagiaan akhirat maka ilmu ini bukan termasuk ilmu yang di maksud al-Ghazali karena tidak ada artinya memperoleh kebahagiaan dunia tetapi memperoleh kesengsaraan di akhirat. Penekanan al-Ghazali terhadap ilmu jalan akhirat ini tidak berarti al-Ghazali mengabaikan atau meremehkan ilmu-ilmu yang dibutuhkan untuk kemaslahatan dunia atau ilmu-ilmu duniawi. Selama ilmu-ilmu dunia ini satu arah dengan tujuan mencapai kebahagiaan akhirat, maka ilmu ini merupakan ilmu yang bermanfaat. Al Ghazzali berkata :

Agama tidak teratur kecuali dengan teraturnya dunia, karena sesungguhnya dunia itu adalah ladang akhirat. Dunia adalah alat yang menyampaikan kepada Allah ‘Azza wa Jalla bagi orang yang mengambilnya (dunia) sebagai alat dan persinggahan, bukan bagi orang yang menjadikannya sebagai tempat menetap dan tanah air.[2]

Hal-hal utama dalam pendidikan dapat kita bagi dalam tiga elemen utama, yaitu yang mendidik (guru), yang dididik (murid), dan cara mendidik (metode). Oleh karena itu kunci keberhasilan proses pendidikan sangat tergantung pada kesiapan guru mengajar, kesiapan murid menerima pelajaran, dan penggunaan metode yang tepat. Di dalam Ihya’ ‘Ulumuddin al-Ghazali memang tidak secara langsung menyinggung tentang ketiga hal ini. Namun demikian, uraiannya tentang adab murid dan guru, cukup menggambarkan beberapa pemikirannya tentang konsep pendidikan yang merefleksikan pandangannya terhadap ketiga elemen penting tersebut. Berikut ini adalah beberapa konsep pendidikan al-Ghazali dan analisis singkat relevansinya dalam sistem pendidikan saat ini.

Kriteria Akhlak dalam Belajar

Al-Ghazali menyebutkan adab murid yang pertama adalah bahwa seorang murid harus membersihkan jiwanya dari akhlak tercela sebelum belajar. Ia menekankan hal ini karena berpandangan bahwa menuntut ilmu adalah suatu bentuk ibadah, yaitu ibadah hati (bathin), sebagaimana sabda Rasulullah SAW :

Menuntut Ilmu itu fardhu bagi setiap muslim (HR. Ibnu Majah)

Pada dasarnya setiap hal yang diwajibkan Allah kepada manusia merupakan ibadah, sedangkan menuntut ilmu diwajibkan (fardhu) bagi setiap muslim, maka dari itu menuntut ilmu adalah ibadah. Al-Ghazali mengibaratkan menuntut ilmu dengan shalat. Jika shalat, yang merupakan ibadah lahir, harus didahului dengan membersihkan badan (wudhu), maka demikian pula halnya ibadah batin ini (menuntut ilmu) juga perlu dimulai dengan membersihkan jiwa dari berbagai bentuk kekotoran. Karena ilmu tidak akan masuk ke dalam jiwa yang kotor sebagaimana tidak diterimanya shalat jika dilakukan dalam keadaan tidak suci yang menunjukkan bahwa untuk belajar perlu ada persiapan kejiwaan.

Di sini juga al-Ghazali mengisyaratkan suatu bentuk seleksi yang bukan hanya berdasarkan kecerdasan intelektual tetapi seorang murid juga harus memiliki suatu kriteria akhlak sebelum mendapat pelajaran atau diterima sebagai seorang murid. Hal ini berbeda dengan sistem pendidikan yang berlaku saat ini yang menghilangkan aspek akhlak dalam pendidikan dan hanya fokus pada aspek intelektual. Sistem pendidikan seperti ini akan menghasilkan lulusan dengan yang pengetahuan tinggi tapi pengetahuannya tidak membawa kebaikan, malah berpotensi membawa kerusakan di dalam masyarakat.

Mengenai pentingnya kriteria akhlak, al-Attas menyebutkan bahwa dalam seleksi penerimaan mahasiswa di tingkat pendidikan tinggi kriteria akhlak (perilaku) merupakan sesuatu yang harus menjadi pertimbangan. Ini berarti penerimaan mahasiswa di pendidikan tinggi tidak seharusnya berlandaskan pada prestasi-prestasi akademik formal saja.

Regarding entrance the higher level of education, it is not sufficient merely for an individual to allowed to qualify on the basis of good results in formal scientific subjects, as is practised today everywhere. No doubt personal conduct is recognized as important in many education systems, but their notions of personal conductare vague and not really applied effectively in education…[3]

Menurut al-Attas, meskipun sistem seleksi berbasis akhlak (perilaku) itu belum, atau belum banyak, dipraktikkan sampai saat ini, namun sistem seleksi itu bukanlah sesuatu yang sulit atau tidak praktis. Hal ini perlu mendapat perhatian, karena alumni pendidikan tinggi adalah orang-orang yang akan memegang jabatan penting di masyarakat, sehingga baik-buruknya perilaku mereka akan berdampak besar terhadap kemaslahatan masyarakat banyak.

Meminimalkan Pengaruh Luar yang Dapat Mengganggu Konsentrasi Belajar

Di dalam adab murid kedua, al-Ghazali menyebutkan bahwa seorang murid hendaknya meminimalkan keterkaitan dirinya dengan kesibukan dunia. Hal ini dinilai akan mengganggu konsentrasi belajar karena bila terlalu banyak mengerjakan urusan lain di luar pelajaran membuat murid menjadi terpecah pikirannya. Dalam suatu analogi, al-Ghazali menyebutkan bahwa pikiran yang terpecah karena berbagai urusan ibarat sungai-sungai kecil yang terpencar-pencar sebelum sampai ke ladang (tujuan) telah habis dulu di tengah jalan karena telah habis diserap tanah atau menguap ke udara.

Konsep pendidikan yang berusaha membatasi interaksi murid dengan dunia luar seperti ini dapat kita temukan di dalam lembaga pendidikan seperti pesantren atau di dalam lembaga pendidikan modern dikenal sebagai boarding school (sekolah berasrama). Di dalam pendidikan seperti ini murid-murid relatif terisolasi dari keadaan luar yang dapat mengganggu konsentrasinya dalam belajar. Urgensi pendidikan model ini semakin terasa seiring dengan makin tidak amannya murid-murid sekolah dari berbagai gangguan yang ada di sekitarnya. Gangguan ini bisa berupa gangguan keamanan seperti perkelahian, kriminalitas, dan sejenisnya atau juga gangguan terkait aktivitas yang tidak penting namun banyak menyita waktu seperti jalan-jalan di mall, pesta-pesta, nongkrong, main games, dan lain sebagainya. Selain itu juga terdapat gangguan yang mempengaruhi fikiran seperti berbagai informasi yang merusak seperti yang bisa ditemukan di televisi, internet, permainan elektronik, majalah, koran, atau orang-orang di sekitarnya. Di antara semua gangguan tersebut, teknologi merupakan gangguan yang harus diwaspadai secara khusus karena tidak semua orang menyadari bahwa perkembangan teknologi terkini, khususnya teknologi informasi dan komunikasi, telah memberikan banyak masalah terhadap kegiatan pendidikan.[4]

Kepercayaan dan Penghormatan Penuh Kepada Guru

Di dalam adab murid ketiga disebutkan bahwa seorang murid harus mempercayai gurunya layaknya kepercayaan pasien kepada dokter. Seorang murid juga tidak boleh sombong dan ia hendaknya selalu menghormati gurunya. Bagaimanapun juga, kelebihan guru terhadap murid terletak pada banyaknya pengalaman. Meskipun bisa jadi ada murid yang sangat pintar, tetapi bagi al-Ghazali pengalaman guru lebih tinggi derajatnya dari kepintaran murid. Itu sebabnya seorang murid tidak boleh membantah gurunya dan harus mengikuti semua perintah gurunya. Bahkan menurut al-Ghazali pendapat guru yang salah masih lebih baik daripada pendapat muridnya yang benar.

Di dalam pendidikan modern pendapat seperti ini terkesan tidak demokratis dan dianggap terlalu mendewakan guru. Namun jika ditelaah lebih dalam, hal ini merupakan hal penting dijaga karena untuk menjaga kewibawaan guru. Murid yang mendebat guru dengan cara yang berlebihan (tidak sopan) sehingga mempermalukan guru di hadapan murid-murid yang lain akan menghancurkan semua kepercayaan murid-murid terhadap otoritas guru dalam mengajar. Jika hal ini sampai terjadi proses pengajaran tidak lagi berjalan efektif karena murid-murid sudah kehilangan kepercayaan kepada gurunya. Meskipun seorang murid benar dalam hal ini, tapi ia telah menghancurkan sebuah sistem belajar yang sulit untuk diperbaiki.

Tidaklah tepat mengatakan bahwa dengan kepercayaan dan penghormatan murid terhadap guru ini al-Ghazali telah mengabaikan kemungkinan guru berbuat semena-mena terhadap murid. Karena di samping murid, menurut al-Ghazali guru juga harus memiliki adab. Jika seorang murid saja dituntut suatu kriteria akhlak yang tinggi sebelum menempuh pendidikan apalagi halnya bagi pengajar. Di dalam adab guru yang pertama al Ghazzali menyebutkan bahwa seorang guru hendaknya menyayangi murid-muridnya seperti orang tua menyayangi anak-anaknya. Sementara di dalam adab kedua, disebutkan pula seorang guru hendaknya merupakan seorang yang meneladani Rasulullah dan tidak meminta upah dalam pengajarannya. Dengan demikian, sikap semena-mena tersebut kecil kemungkinannya muncul dari seorang guru yang memiliki kriteria adab seperti tersebut di atas.

Proses Pendidikan Dilakukan dengan Kasih Sayang

Al-Ghazali menilai kedudukan guru lebih tinggi dari kedudukan orang tua karena seorang gurulah yang memberi manfaat bagi kebahagian akhirat seseorang sedangkan orang tua berjasa bagi kehidupan dunianya. Dengan demikian jika dalam pergaulan dengan seorang anak dengan orang tua dilakukan dengan kasih sayang, maka lebih-lebih lagi jika pergaulan itu dilakukan antara guru dengan murid. Hal ini juga ditegaskan oleh hadits Rasulullah SAW:

Sesungguhnya aku bagimu adalah seperti orang tua kepada anaknya.

(H.R. Abu Dawud, An Nasa‘i, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibah dari hadits Abu Hurairah)

Al-Ghazali memandang Rasulullah adalah guru bagi para sahabat dan beliau mengibaratkan hubungan dirinya dengan para sahabat seperti hubungan antara anak dan orang tua. Oleh karena itu tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa guru adalah juga orang tua bagi murid-muridnya.

Di dalam sistem pembelajaran modern saat ini sifat kasih sayang antara guru dan murid ini terasa semakin berkurang. Salah satu sebabnya adalah karena kecenderungan sekolah yang semakin berorientasi bisnis. Ini membuat hubungan antara guru dan murid lebih terkesan sebagai hubungan antara penjual dan pembeli. Guru hanya merasa berkewajiban memberi ilmu karena untuk itulah ia dibayar. Sedangkan murid merasa bahwa ia memiliki hak untuk mendapat ilmu dari guru karena merasa bahwa ia telah menunaikan kewajibannya membayar uang sekolah.

Jika konsep pendidikannya adalah konsep yang mengedepankan kasih sayang maka proses pendidikan akan bersifat menyeluruh. Menyeluruh di sini adalah dalam pengertian bahwa seorang guru tidak cukup hanya memperhatikan atau bertanggung jawab pada perkembangan belajar muridnya secara intelektual saja, tetapi juga memperhatikan perkembangan akhlak murid tersebut. Seorang murid harus senantiasa diingatkan dan dinasehati bahwa tujuan belajar adalah mendekatkan diri kepada Allah dan bukan untuk mencari kedudukan atau kekayaan dunia. Disamping itu guru berkewajiban mencegah muridnya dari berlaku buruk, dan apabila murid melakukan perbuatan tercela maka seorang guru berkewajiban mengingatkannya. Namun demikian, hal ini sebaiknya dilakukan dengan cara tidak langsung atau terang-terangan, dan juga dengan cara baik atau kasih sayang karena hal ini akan mengurangi potensi pembangkangan dan sakit hati murid akibat teguran tersebut.

Tahapan-Tahapan dalam Belajar

Di dalam adab murid keenam disebutkan bahwa belajar seharusnya dilakukan secara bertahap. Kebertahapan dapat berarti :

a.       Proses pendidikan dimulai dari mempelajari yang paling penting bagi murid. Ilmu yang paling penting adalah ilmu fardhu ‘ain. Ilmu fardhu ‘ain adalah prioritas pertama setiap pelajar. al-Ghazali mencela orang yang menyibukkan diri dengan ilmu fardhu kifayah tetapi melupakan ilmu fardhu ‘ain.

b.      Dimulai dari yang paling mudah karena memulai belajar dari yang paling mudah memberikan semangat dan menghindarkan diri dari rasa putus asa.[5] Oleh karena itu dalam mendidik guru hendaknya menyesuaikan penyampaian pelajaran sesuai dengan kecerdasan atau daya tangkap murid. Al-Ghazali melarang seorang guru memaksakan suatu pelajaran yang tidak bisa dicapai atau belum siap diterima oleh muridnya.

c.       Mengikuti urutan ilmu karena ilmu itu memiliki urutan, dalam pengertian suatu ilmu baru bisa dipahami jika sudah dikuasai ilmu yang lain, atau kita sebut dengan ilmu prasyarat. Dalam kasus-kasus tertentu, untuk memahami suatu ilmu seseorang harus memahami dulu ilmu prasyarat.

d.      Seorang murid harus menghindarkan diri mendengar perselisihan atau beda pendapat di antara ahli ilmu. Dalam satu bidang ilmu seorang murid apalagi pemula sebaiknya berpegang pada pendapat gurunya saja. Mengambil suatu ilmu pada beberapa orang pada saat yang bersamaan dapat membingungkan murid sehingga kemajuan belajarnya menjadi terhambat.

2.            Penutup

Dari uraian tersebut di atas dapat kita ambil beberapa hal penting. Pertama, kerusakan ilmu bermula dari rusaknya niat dalam menuntut ilmu. Jika ilmu dipelajari bukan untuk mencari keridhaan Allah maka akan lahir orang-orang yang berakhlak yang rendah serta memiliki kecenderungan berlebihan kepada kehidupan duniawi. Hal ini dapat menimpa siapapun, baik mereka yang mempelajari ilmu syariah maupun bukan-syariah.

Kedua, ilmu harus diletakkan pada tempat yang sesuai. Oleh karena itu setiap orang perlu memahami kedudukan setiap ilmu. Penggolongan ilmu yang dilakukan oleh al-Ghazali memberikan sebuah panduan derajat masing-masing. Karena ilmu itu sangat luas dan tidak mungkin dipelajari seluruhnya maka setiap orang harus bisa menetapkan ilmu-ilmu mana yang menjadi prioritasnya sesuai dengan keadaannya masing-masing. Konsep ilmu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah semakin memperjelas ilmu mana yang yang didahulukan sehingga seorang Muslim telah menunaikan perintah Nabi SAW yang menyebutkan bahwa menuntut ilmu itu merupakan kewajiban bagi setiap Muslim.

Ketiga, bahwa al-Ghazali telah merumuskan beberapa konsep pendidikan yang sebenarnya masih relevan bahkan dibutuhkan untuk memperbaiki kelemahan pendidikan zaman sekarang. Diantaranya adalah pentingnya kriteria akhlak bagi para pelajar, meminimalkan pengaruh luar yang dapat mengganggu konsentrasi belajar, kepercayaan dan penghormatan kepada guru, sikap kasih sayang dalam proses pendidikan, serta pentingnya  tahapan dalam belajar.

3.            Daftar Pustaka

Al-Qur’anul Karim

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, 1993. Islam and Secularism, Kuala Lumpur, ISTAC.

 

Al-Ghazali, 2003. Ihya’ ‘Ulumuddin, diterjemahkan oleh Mohd. Zuhri, Muqoffin Muctar, Muqorrobin Misbah, Semarang, Penerbit Asy Syifa.

Al-Kilani, Majid Irsan, 2007. Misteri Masa Kelam Islam dan Kemenangan Perang Salib, Bekasi, Penerbit Kalam Aulia Mediatama.

Al-Qaradhawi, Yusuf, 2000. Menghidupkan Nuansa Rabbaniah dan Ilmiah, Jakarta, Pustaka al-Kautsar.

Elliot, Stephen N. et al., Educational Psychology : Effective Teaching, Effectife Learning, McGraw Hill, Third Edition

Hart, Michael, 1978. 100 Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, Jakarta, PT Dunia Pustaka Jaya.

Naisbitt, John, et. al., 1999. High Tech High Touch : Pencarian Makna di Tengah Perkembangan Pesat Teknologi, Bandung, Penerbit Mizan.


[1] Pembahasan tema ini diambil dari pembahasan kitab ihya’ ‘Ulumuddin bab ke-5 mengenai adab (tata kesopanan) guru dan murid. Lihat : Al-ghazali, Ihya’ ‘Ulumuddin, diterjemahkan oleh Mohd. Zuhri, Muqoffin Muctar, Muqorrobin Misbah, Semarang : Penerbit Asy Syifa, 2003, hal 149-181

[2] Al-ghazali, Ihya’ ‘Ulumuddin, diterjemahkan oleh Mohd. Zuhri, Muqoffin Muctar, Muqorrobin Misbah, Semarang : Penerbit Asy Syifa, 2003, hal 43

[3] S.M.N. Al-Attas, Islam and Secularism , Kuala Lumpur : ISTAC, 1993, hal. 165

[4] John Naisbitt menguraikan secara panjang lebar bahwa perkembangan teknologi yang pesat seperti saat ini telah memberikan banyak masalah kepada manusia yang seringkali tidak disadari. Meskipun penelitian Naisbitt hanya mengupas persoalan teknologi di Amerika, namun pola-pola yang sama sebenarnya sudah bisa dilihat di negara kita. Lihat : John Naisbitt, et. al. High Tech High Touch : Pencarian Makna di Tengah Perkembangan Pesat Teknologi, Bandung : Penerbit Mizan, 1999

[5] Stephen N. Elliot, dkk. menyebutkan hasil penelitian yang menunjukkan keterkaitan antara tingkat kesulitan materi pelajaran dengan motivasi belajar. Pelajaran yang terlalu sulit cenderung akan melemahkan motivasi belajar siswa. Lihat : Elliot, Stephen N. et al., Educational Psychology : Effective Teaching, Effectife Learning, McGraw Hill, Third Edition, hal 346

Leave a Reply