Home Artikel Kolonialisme dan Kudeta Kebudayaan

Kolonialisme dan Kudeta Kebudayaan

1784
0

Oleh: Arif Wibowo

 

Pilihan untuk Dunia Islam bukanlah Muhammad dan Kristus, Bukan pula Muhammad atau Kristus. Tetapi, hanya Kristus. Kristus atau hancur dan mati. Islam (penyerahan kepada Tuhan) yang sebenarnya adalah menyerah kepada Kristus. Barulah boleh hidup bebas (Alexander Willem Idenburg, Gubernur Jendral Hindia Belanda 1909)

Islam, di abad XIX menjadi inspirasi utama perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Baik yang berskala besar seperti Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Padri (1821-1837), Perang Aceh (1873-1904) sampai perlawanan yang berskala kecil dalam pemberontakan petani di Cilegon. Kejadian ini menyebabkan Belanda mengubah gaya politik kolonialnya dengan melakukan politik etis yang meliputi educatie, emigratie dan irrigatie (pendidikan, perpindahan dan pengairan). Kerstening politiek (politik pengkristenan) merupakan bagian tidak terpisahkan dari politik etis. Sehingga kaum etisi mendapat sokongan penuh dari partai-partai agama di Belanda[1]. Pengkristenan Nusantara tetap merupakan panggilan rakyat Kristen Eropa (Belanda)[2].

Kisah Sadrach yang Gagal

Setidaknya ada dua macam penetrasi Kristen ke dalam masyarakat Jawa, yakni penerjemahan Alkitab dan pemakaian kebudayaan Jawa. Penerjemahan pertama kali dilakukan oleh Johannes Emde di tahun 1811[1]. Sedangkan yang mempelopori pemakaian budaya Jawa dalam penginjilan adalah Coenraad Laurens Colen. Konsep Colen inilah yang kemudian berkembang dan disebut inkulturasi[2]. Nama-nama seperti Paulus Tosari, Matius Niep, Sadrach, Ngibrahim Tunggul Wulung adalah buah dari inkulturasi dalam penginjilan.

Dari deretan nama tadi, Kyai Sadrach merupakan sosok yang paling populer. Ia adalah seorang guru ngelmu (pinisepuh). Dalam mengenalkan kristen kepada masyarakat, Sadrach menyebut gereja nya dengan masjid, dengan gaya bangunan masjid pada umumnya. Terletak di halaman rumah pendeta yang disebut imam. Sebelum upacara dimulai, sebuah bedhug dipukul dan diakhiri dengan ritual slametan. Bagi Sadrach, Bible adalah norma hidup yang mirip dengan pitutur (nasehat) dan wewaler (larangan, pantangan) orang Jawa dan syariat pandangan Islam (Aritonang : 2005,99). Bagi Frans Lion Cachet, seorang pendeta Calvinis asal Belanda (1835-1899) Kristen Sadrach adalah kafir dan ajarannya merupakan racun, karena membangun Kristen yang tidak mempunyai tempat untuk Kristus. Sadrach bukan fenomena tunggal, sebab di Jawa Timur juga ada Ngibrahim Tunggul Wulung, yang memaknai kekristenannya menyerupai muslim dan akhirnya dikafirkan oleh para pendeta Calvinis yang membaptiskannya.

Kegagalan kristen versi Sadrach dan Tunggul Wulung yang dianggap berkepercayaan ganda, separo kristen dan separo Islam, disebabkan integrasi yang sangat kaut pandangan metafisika Islam ke dalam masyarakat Jawa. Selain itu menjadi kristen saat itu bagi orang Jawa adalah aib terbesar dalam hidup. Di masyarakat ia akan menyandang gelar wong jawa ilang jawane, atau jawa wurung landa durung (hilang jawanya, tapi belanda juga belum). Oleh karena itu apa yang dilakukan Sadrach maupun Ngabdullah Tunggul Wulung bisa jadi untuk menghindari resistensi sosial masyarakat sekitar.

Inkulturasi dan Kudeta Kebudayaan

Sepertinya, Van Lith, misionaris Katolik ordo Yesuit, belajar dari kasus Sadrach. Setelah korespondensi panjang dengan Sadrach, dan pengamatan mendalam di lapangan, Van Lith merubah pola penginjilannya dari penginjilan kepada individu menjadi penginjilan kolektif dalam bentuk sekolah. Dengan mendidik anak-anak Jawa sejak kecil, diharapkan akan menghasilkan kekatolikan/kekristenan yang murni. Seiring dicanangkannya politik etis di bidang educatie (pendidikan) di kalangan pribumi, Kolese Xaverius berubah menjadi sekolah calon guru.

Dalam mencari murid yang berkualitas, Van Lith aktif melakukan kunjungan kepada para bangsawan kraton dan priyayi, untuk menyekolahkan anaknya di Kolese Xaverius. Semua murid yang masuk awalnya adalah muslim dan menjadi katolik ketika lulus. Tidak cukup menjadi guru, beberapa murid Kolese Xaverius melanjutkan pendidikannya ke jenjang imamat. Sehingga bila dilihat dari banyaknya jumlah imam pribumi yang dihasilkan menurut Steenbrink usaha Van Lith ini paling sukses di dunia untuk kegiatan serupa.

Dalam kolese Xaverius, identitas kejawaan sangat ditekankan, sedangkan segala hal yang berbau Islam dihilangkan. Bahasa Melayu, yang dianggap identik dengan Islam tidak diajarkan, cukup dua bahasa yaitu bahasa Jawa dan bahasa Belanda. Dengan demikian diharapkan proses integrasi kekatolikan dan kejawaan dapat berjalan sempurna. Van Lith juga mendidik para muridnya untuk serius mengkaji budaya Jawa, hasil kajian dari para muridnya diterbitkan dalam jurnal St Claverbond yang diterbitkan di Belanda. Artikel itu ditulis antara lain oleh H. Caminada tentang cara orang Jawa menentukan hari baik dan hari buruk dan Takhayul Jawa dalam Ngelmu Tujuh, H. Fontane tentang cara orang Jawa menyelenggarakan pesta, A. Soegijapranata tentang orang Jawa dan agama yang dipeluknya, J. Dieben tentang ilmu rasa, C. Tjiptakoesoema tentang ngelmu Jawa. Beberapa artikel yang ditulis non Jesuit antara lain tulisan August tentang arti nama bagi orang Jawa dan A.D. Nitihardjo tentang pesta sepasaran/lima hari kelahiran anak.[1]

Satu karya tulis dari pastur Jesuit yang dianggap mampu menangkap inti dari kebudayaan Jawa, yaitu disertasi dari Petrus Joshepus Zoetmulder yang terbit di tahun 1935. Dalam disertasinya yang berjudul Pantheisme en Monisme In de Javaansche Soeloek-Litteratuur Piet Zoetmulder dianggap mampu mengungkap inti pandangan ketuhanan masyarakat Jawa melalui telaahnya terhadap serat centhini dan pelbagai karya sastra suluk Jawa. Menurut Dick Hartoko, meskipun penelitian ilmiah (mengenai kebudayaan Jawa) tidak pernah berhenti. Tetapi ini tidak menggoyahkan patokan-patokan yang ditancapkan oleh Dr. Zoetmulder setengah abad yang lalu.[2]

Dalam pandangan Zoetmoelder doktrin manunggaling kawula gusti sama sekali tidak terkait dengan konsep wihdatul wujud yang menjadi diskursus kontroversial kalangan ahli tasaswuf Islam. Manunggaling kawula gusti dalam budaya Jawa adalah suatu bentuk pandangan monistis yang berasal dari ajaran Atman Hindu. Bahkan pada karya sastra yang eksplisit corak ke Islamannya pun akan dianggap sebagai Islam yang telah terpengaruh alam religius India maupun lewat alam religius Hindu Jawa.[3]

Tetap Berlangsung Hingga Kini

Inkulturasi, pada perkembangan tidak hanya untuk kalangan internal, tapi juga untuk membentuk konsep tentang Jawa. Sehingga kita dapat melihat, saat ini pandangan Zoetmulder menjadi mainstream dalam banyak penelitian mengenai agama Jawa atau kebudayaan Jawa. Beberapa buku tentang Jawa pada periode berikutnya masih mengacu pada kerangka berpikir Zoetmulder bahkan lebih menspesifikkan lagi tentang apa yang disebut sebagai agama Jawa. Dan keseriusan ini terbukti mampu penghasilkan nama-nama besar yang dalam berbagai sisi kebudayaan Jawa, seperti Bagong Kusudiharjo di bidang tari Jawa, SH Mintarja dengan novelnya, Api di Bukit Menoreh, YB Mangunwijaya di bidang arsitektur dan pemberdayaan Masyarakat. Dikalangan antropolog ada nama Niels Mulder, penulis buku Mistisisme Jawa, Ideologi di Indonesia, Frans Magnis Suseno, Etika Jawa, Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Juga ada Sindhunata, Anak Bajang Menggiring Angin. Di tingkat nasional kita mengenal Prof. Drijarkara, yang terkenal dengan konsep Indonesia bukan negara agama tapi juga bukan negara sekular, WJS Poerwadarminto dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Oleh karena itu jika wajah sinkretik menjadi wajah utama muslim Jawa, terpinggirkannya walisanga oleh Syekh Siti Jenar dan anggapan bahwa aqidah kejawen Manunggaling Kawulo Gusti versi kebatinan dianggap sebagai wakil resmi muslim Jawa, tidak lain dan tidak bukan adalah buah dari gerakan jangka panjang orientalisme dan missionarisme di Jawa. Setidaknya, bila masyarakat tidak berhasil terkristenkan, paling tidak mereka akan jauh dari agamanya, sebuah wasiat suci Samuel Zwemmer untuk para penginjil.

Dakwah Minus Strategi Budaya, Sebuah Kritik

Melihat karakter budaya Jawa, pihak kolonialis Belanda yang memandang Islam sebagai kekuatan subversif telah melakukan berbagai upaya untuk memisahkan antara kelompok Islam dengan masyarakat adat Jawa. Untuk membatasi lingkup Syari’ah Cornellis van Vollenhaven memperkenalkan teori Het Indische Adatrecht. Yakni hukum Islam baru mempunyai kekuatan berlaku kalau sudah diterima hukum adat.[1] Sementara itu dukungan besar-besaran diberikan kepada kegiatan missionaris dan zending.

Dalam bidang di luar kebudayaan Muhammadiyah cukup gigih dalam melawan arus kristenisasi. Aktivisme Muhammadiyah ini meliputi kegiatan di bidang pendidikan, pelayanan kesehatan, membangkitkan kemandirian ekonomi dan banyak kegiatan sosial lainnya. Bagi Muhammadiyah, Al Qur’an dan Sunnah sudah cukup, tinggal bagaimana mengamalkan. Hanya sayangnya menurut Kuntowijoyo, pada perkembangan selanjutnya Muhammadiyah tidak hanya melakukan Ijtihad, Tajdid, Rasionalisasi, Demistifikasi dan Perbaikan Etos Kerja[2] tapi juga Idiocracy. Idiocracy adalah gejala konservatisme di lingkungan Muhammadiyah yang menganggap Muhammadiyah sebagai madzhab tersendiri yang anggotanya tidak kurang taqlidnya terhadap Muhammadiyah[3] Proses idiocracy ini menyebabkan Muhammadiyah menolak sesuatu yang bukan berasal dari dirinya, semisal barzanji, tahlil, puji-pujian dan lain sebagainya. Sehingga keagamaannya menurut Kuntowijoyo bersifat kering. Muhammadiyah juga muncul sebagai gerakan puritan yang antisimbol. Banyak simbol Jawa, Islam Tradisional dan kebudayaan modern yang terlibas

Pemurnian aqidah Muhammadiyah. Padahal dengan bekal konsep Ijtihad, tajdid, rasionalisasi dan demistifikasi Muhammadiyah punya potensi menjadikan barzanji, manaqib, tahlilan, dan wayang senilai dengan teater, puisi, maupun lagu.

Sementara itu dari kalangan Nahdhiyin, akibat proses Idiocracy Muhammadiyah kemudian membakukan budaya islam tradisionalnya menjadi sebuah ritual wajib. Tradisi Barzanji, Manaqib, pembacaan Burdah dan tahlilan serta yasinan telah dipisahkan dari konsep awal terbentuknya tradisi tersebut. Sehingga perdebatan yang terjadi bukan lagi masalah fungsi praksis dari tradisi tersebut akan tetapi sudah memasuki tataran teologis. Hal ini nampak dari idiom bid’ah, bid’ah khasanah dan yang semisalnya.

Di tengah kemandegan wacana dialektika positif islam dan budaya Jawa ini, pihak kristen menemukan momentumnya pasca pemberontakan G 30 S PKI. Menurut Alwi Shihab,

Periode antara tahun 1965, ketika kudeta yang dilancarkan oleh Partai Komunis Indonesia gagal total, dan tahun 1971 dianggap oleh gereja sebagai masa yang penuh berkah bagi pertumbuhan agama Kristen di Indonesia. Orang-orang Indonesia dalam jumlah besar berbondong-bondong memeluk agama Kristen karena Gereja menawarkan perlindungan bagi mereka yang dicurigai terlibat dalam kegiatan komunisme di Indonesia.[1]

Anggota Partai Komunis Indonesia rata-rata berasal dari kelompok Islam Abangan. Dalam pengertian identitas kejawaan mendahului identitas Keislaman. Maka ketika mereka memiliki trauma dengan kelompok Islam tradisionalis maupun modernis dalam konflik horizontal di sekitar tahun 1965, maka uluran tangan gereja mereka sambut dengan terbuka. Apalagi dengan strategi unkulturasi, mereka masih di beri ruang untuk mengekspresikan ke Jawa annya. Dari hari ke hari interaksi itu makin nampak dan menunjukkan tren yang positif. Sementara di kalangan ummat Islam justru budaya Jawa saat ini dihadapkan vis a vis dengan budaya Islam dalam bentuk konfrontatif. Wacana bid’ah telah menjadi hegemoni yang mematikan proses kreatif Islamisasi budaya Jawa. Proses ini secara jangka panjang menurut hemat saya justru merugikan dakwah itu sendiri. Wallahu ’alam bish showab. [Arif Wibowo]

 


[1] Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid V, (Jakarta : Balai Pustaka, 1993) hal. 77
[2] O Hashem, Menaklukkan Dunia Islam,  (Surabaya : YAPI, 1968) hal. 25
[3] Alwi Shihab, Membendung Arus, Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen (Bandung : Mizan, 1998) hal. 25
[4] Alwi Shibab, Ibid, hal. 49
[5] Anton Haryono, Awal Mulanya adalah Muntilan, Misi Yesuit di Yogyakarta 114 – 1940,  (Yogyakarta : Kanisius, 2009) hal. 218-219
[6] Zoetmulder, P.J,  Manunggaling Kawula Gusti, Pantheisme dan Monisme Dalam Sastra Suluk Jawa, (Jakarta : Gramedia, 1990) hal. vii.
[7] P.J. Zoetmulder, Ibid, hal. 370
[8] Anwar Harjono, Dr. SH, 1995, Indonesia Kita, Pemikiran Berwawasan Iman Islam, Gema Insani Press, Jakarta.
[9] Ijtihad, cita-cita kemajuan (the idea of progress, sejarah yang selalu bergerak maju), Tajdid, secara populer Muhammadiyah merumuskan keinginan gerakannya untuk memberantas TBC (Taqlid, Bid’ah dan Churafat), Rasionalisasi, pemberantasan tachayul, Mistifikasi, yang cenderung pada kesalehan diri diubah menjadi untuk kepentingan orang banyak, Etgos Kerja, orang-orang Muhammadiyah pada mulanya adalah para pelaku bisnis.
[10] Kuntowijoyo, Pengantar dalam Buku Alwi Shihab, hal XVII – XXV
[11] Alwi Shihab, Ibid. hal 173

Leave a Reply