Oleh: Nashruddin Syarief (Kandidat Doktor Pendidikan Islam- Universitas Ibn Khaldun Bogor)
“Leaderhip, from the Islamic perspective, is not just about managing changes; but more importantly, to manage as a whole with full realization of what is permanent and unchangeable. Leadership is a “trust” (amanah) and with that comes “responsibility” (taklif) and “accountability” (mas’uliyyah).”
Konsep dasar tentang kepemimpinan dalam perspektif Islam itu dirumuskan oleh Prof. Syed Muhamamd Naquib al-Attas dan Prof. Dr. Wan Mohammad Nor Wan Daud dalam buku mereka: The ICLIF Leadership Competency Model (LCM) an Islamic Alternatif (Kuala Lumpur: The Intrernational Centre for Leadership in Finance (ICLIF), 2007). Menurut dua pakar pemikiran Islam itu, kepemimpinan bukanlah semata-mata soal bagaimana memenej perubahan, tapi kepemimpinan adalah amanah (trust). Dari konsep amanah inilah, lahir konsep kewajiban dan tanggung jawab.
“Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban,” begitu pesan penting Rasulullah SAW. Karena itulah, soal kepemimpinan dalam Islam, adalah soal agama, soal amanah, soal pertanggungjawaban kepada Allah SWT. Bukan semata-mata soal kuasa, tahta, harta, dan tanggung jawab kepada sesama manusia.
Bisa dikatakan, pemimpin ideal merupakan dambaan setiap insan, meskipun tak mudah menjumpainya. Al-Qur`an menyebut Nabi Ibrahim ‘alaihi al-salâm sebagai sosok pemimpin ideal tersebut. Dalam QS al-Nahl : 120-122, Allah SWT berfirman: Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan), (lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah, Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus. Dan Kami berikan kepadanya kebaikan di dunia. Dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang shaleh.
Kepemimpinan Ibrahim as ditegaskan langsung oleh Allah SWT dalam ayat di atas dengan menyebutnya sebagai ummah. Maksud lafazh ini, sebagaimana dijelaskan oleh shahabat Ibn Mas’ud dan Ibn ‘Umar adalah ‘pemimpin yang dijadikan teladan dan mengajarkan kebaikan kepada manusia’ (Tafsir Ibn Katsir QS. 16 : 120). Kepemimpinannya ini menyebabkannya sukses di dunia dan akhirat. Ia menjadi orang yang terpilih dan ditunjuki oleh Allah swt kepada jalan kebenaran.
Nabi Ibrahim as disebut sebagai imam, karena memiliki tiga kriteria utama, yaitu:
Pertama, qânit li Allâh; tunduk kepada Allah swt. ‘Allamah ar-Raghib al-Ashfahani menjelaskan dalam Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur`an bahwa qânit yang asal katanya qunût berarti luzûm al-tâ’ah ma’a al-khudû’; senantiasa taat dan tunduk. Tidak pernah menyimpang dan membantah titah-Nya, apalagi sampai meragukan dan mengingkari keberadaan-Nya. Ibrahim as jauh dari sifat skeptis, relativis, gnostis, dan pluralis dalam berkeyakinan pada Allah swt. Demikian juga jauh dari sikap culas dan maksiat dari perintah dan larangan-Nya.
Kedua, hanîf; lurus dalam jalan kebenaran. Makna asal dari hanîf/hanaf ini, sebagaimana dikemukakan ar-Raghib, sama dengan janaf yakni mail; berbelok atau menyimpang. Cuma bedanya, hanîf/hanaf menyimpang dari kesesatan menuju kebenaran, sementara janaf menyimpang dari kebenaran menuju kesesatan (rujuk QS. al-Baqarah [2] : 182). Pengertian hanîf ini diperkuat dengan penegasan Allah swtdalam ayat di atas: wa lam yaku min al-musyrikîn; tidak pernah termasuk orang-orang yang menyekutukan Allah. Maka dari itu, dengan tegas al-Hafizh Ibn Katsir menyatakan bahwa maksud hanîf adalah ‘menyimpang dari syirik menuju tauhid’.
Makna hanîf seperti diuraikan Ibn Katsir itu sangat bertentangan dengan makna “hanif” — misalnya — dalam buku Fiqih Lintas Agama (hlm. 26-28) yang dikatakan sebagai istilah yang bermakna “generik” dan jauh dari sikap sektarian dan komunalistik. Jika umat Islam sudah merasa diri paling benar, menurut buku ini, berarti sudah tidak hanîf lagi. Ini adalah tafsir hanif yang keliru.
Yang benar, hanif adalah kejujuran dan keterusterangan untuk hanya mengakui Allah SWT sebagai satu-satunya Tuhan, dan mengakui ad-Dinul Islam sebagai jalan kebenaran, meski harus berbeda dan berselisih dengan orang lain yang berbeda keyakinan dan agama (QS al-Mumtahanah : 4). Maka dari itu, tujuh ayat yang menyatakan hanîf dalam al-Qur`an selalu disertai dengan pernyataan muslim dan ‘tidak termasuk golongan musyrik’ (QS. Al-Baqarah :135. Ali ‘Imran: 67, 95. Al-An’am : 79, 161. An-Nahl : 120, 123).
Ketiga, syukur. Maksud kata ini, sebagaimana dijelaskan ar-Raghib, adalah ‘mengakui nikmat dan memperlihatkannya’. Mengakui nikmat adalah dengan hati, sementara memperlihatkannya dengan lisan dan amal perbuatan. Nabi Ibrahim as seorang yang bersyukur kepada nikmat-nikmat Allah SWT, artinya hatinya senantiasa mengakui keagungannya, lisannya tidak pernah kering dari pengakuan akan nikmat-nikmat-Nya dan amalnya tidak pernah menyimpang dari tuntunan-Nya. Sosok pemimpin seperti Ibrahim as ini jelas jauh dari sifat zalim, korup, dan permusuhan. Nikmat berupa sumber daya alam yang melimpah pasti akan dipergunakan sebagaimana peruntukannya, bukan malah dijadikan lahan korupsi. Nikmat jabatan juga tidak digunakan untuk memperkaya diri dengan melupakan rakyatnya, tetapi akan digunakan untuk mengabdi dengan penuh amanah.
Ketiga kriteria di atas menggambarkan sosok pemimpin yang berkarakter kuat; lurus dalam aqidah dan mantap dalam ibadah dan akhlaq.
Ujian berat
Pemimpin lahir dari proses ujian yang berat. Allah SWT menegaskan dalam QS al-Baqarah : 124, Ibrahim as dijadikan pemimpin karena ia telah berhasil melalui proses ujian yang berat. Kalaupun Ibrahim as meminta agar keturunannya juga dijadikan para pemimpin, Allah SWT tetap menegaskan bahwa mereka harus berhasil melewati ujian-ujian terlebih dahulu dengan tidak gagal (baca: zalim): Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim”.
Shahabat Ibn ‘Abbas ra menjelaskan, Allah SWT telah menguji Ibrahim dengan tahârah; lima di kepala dan lima di badan. Di kepala: mencukur kumis, berkumur-kumur, menghirup air ke hidung, menggosok gigi, dan bersisir rambut. Di badan: memotong kuku, mencukur bulu kemaluan, khitan, mencabut bulu ketiak, dan mencuci bekas buang air dengan air (Tafsir Ibn Katsir). Meski demikian, menurut para ulama tafsir, tidak berarti bahwa ujian Nabi Ibrahim as itu hanya tahârah saja, ini hanya sebagian ujiannya saja. Para ulama tafsir umumnya menafsirkan kalimât yang merupakan bentuk ujian dalam QS al-Baqarah : 124 di atas dengan ‘semua perrintah dan larangan’.
Jika dirujukkan pada ayat-ayat al-Qur`an yang menceritakan tentang Ibrahim as, Allah swt telah menguji Ibrahim dengan berbagai ujian yang berat, yaitu: Pertama, Berkorban dengan diri sendiri ketika harus berhadapan dengan ayah dan kaumnya yang musyrik, bahkan sampai harus menghadapi hukuman dibakar hidup-hidup [QS. Al-Anbiya : 51-69]. Kedua, berkorban dengan keluarga ketika harus meninggalkan anak istrinya di Bakkah [QS Ibrahim:37. Ketiga, berkorban dengan anak ketika harus menyembelih Isma’il [QS. As-Shaffat : 102-107]; dan keempat, berkorban dengan harta dan tenaga ketika harus membangun Masjidil-Haram [QS. Al-Baqarah : 125-127].
Keyakinan
Hanya sedikit yang mampu lulus dari ujian-ujian seperti yang diberikan Allah SWTkepada Ibrahim as. Jika dirumuskan dengan singkat, ciri kepemimpinan Ibrahim as dibangun dengan konsep dasar yang kuat, yaitu keimanan yang kokoh dan semangat pengorbanan yang tinggi. Keimanan yang kokoh mampu mengantarkan Ibrahim ke tingkat pengorbanan yang agung. Demi idealisme, menegakkan kalimah Tauhid, Ibrahim rela diaci-maki kaumnya; ikhlas berhadapan dengan keluarganya sendiri; dan tak surut langkah saat Raja dan kaumnya mengusirnya. Demi keyakinan, Ibrahim berani melangkah ke dalam kobaran api.
Karena itulah, keyakinan (conviction) akan kebenaran dan ketinggian cita-cita wajib dimiliki seorang pemimpin. Sebab, hanya dengan keyakinan, seorang mampu meraih cita besar. Penyair legendaris Pakistan, Dr. Mohammad Iqbal menulis dalam puisinya Bal-e-Jibril, tentang bahaya pendidikan Barat modern yang berdampak terhadap hilangnya keyakinan kaum muda Muslim terhadap agamanya.
Hilangnya keyakinan dari diri seorang manusia, kata Iqbal, adalah lebih buruk dari perbudakan. Keyakinanlah, yang telah menjadikan seorang Ibrahim dengan tenang memasuki kobaran api. Keyakinanlah, yang memungkinkan seorang mampu mencapai derajat yang tinggi berupa pengorbanan diri. Iqbal mengingatkan: “Wahai Anda, yang telah jadi korban peradaban modern! Ingatlah, hilang keyakinan lebih buruk dari perbudakan! “Conviction enabled Abraham to wade into the fire; conviction is an intoxicant which makes men self-sacrificing; Know you, oh victims of modern civilization! Lack of conviction is worse than slavery.”(Mazheruddin Siddiqi, The Image of the West in Iqbal, (Lahore: Baz-i-Iqbal, 1964).
Ya, hilang keyakinan, hilang kepemimpinan; dan itu lebih buruk dari perbudakan! (***)