Oleh : Budi Handrianto (Peneliti INSISTS)
Pemimpin yang baik, dalam perspektif Islam, adalah yang adil. Itu rumus dasar. Dan kaum Muslim sangat beruntung. Sebab, mereka diberi keteladanan kepemimpinan yang sangat agung dari Sang Nabi, Muhammad SAW: “Sesungguhnya terdapat dalam diri Rasulullah suri teladan yang baik bagi siapa yang mengharap rahmat Allah dan kebahagiaan di hari akhir dan banyak menyebut Allah.” (QS Al-Ahzab : 21).
Kehebatan Sang Nabi dalam soal kepemimpinan, dikagumi lawan, apalagi kawan. Tidak hanya kaum muslimin, orang-orang nonmuslim pun menyatakan kekaguman atas kehebatannya dalam memimpin umat manusia. Will Durant menulis dalam bukunya The Story of Civilization sebagai berikut, “Jika kita mengukur kebesaran dengan pengaruh, dia (Muhammad SAW) adalah seorang raksasa sejarah. Ia berjuang meningkatkan tahap ruhaniah dan moral suatu bangsa yang tenggelam dalam kebiadaban karena panas dan kegersangan gurun. Dia berhasil lebih sempurna dari pembaharu mana pun. Belum pernah ada orang yang begitu berhasil mewujudkan mimpi-mimpi seperti dia.”
Keadilan Rasulullah SAW dalam memimpin telah dicatat sebagai untaian butiran mutiara sejarah. Rasulullah SAW tidak pandang bulu dalam menerapkan hukum dan menegakkan keadilan. Ketika seorang wanita kaya dan keturunan bangsawan mencuri dengan tegas diputuskan, wanita itu dihukum potong tangan. Bahkan ketika famili kerabat wanita itu meminta tolong kepada Usamah bin Zaid, seorang di antara sahabat yang paling dicintai Rasulullah SAW untuk mohon keringanan hukuman, beliau pun marah.
Lalu, Rasulullah SAW berpidato, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya tidak lain yang membinasakan orang-orang terdahulu sebelum kalian adalah jika ada orang terpandang di antara mereka mencuri mereka membiarkannya. Dan jika orang yang lemah di antara mereka mencuri mereka menetapkan hukuman atasnya. Demi Zat yang Muhammad berada di tangan-Nya, sekiranya Fatimah binti Muhammad mencuri, pasti akan aku potong tangannya.”
Keadilan Rasulullah SAW juga disertai sikap belas kasihan pada satu kondisi dan menerapkan ketegasan di waktu lain. Dalam Perang Badar, Rasulullah SAW pernah mengampuni seorang kafir Quraisy bernama Abu Azza Jamahi yang tertawan dan beranji tidak akan bergabung kembali dengan pasukan kaum musyrikin menentang Islam. Namun dalam perang Uhud ia ikut barisan kaum musyrikin dan kembali tertawan. Akhirnya beliau SAW pun menjatuhkan menghukum mati untuk Jamahi.
Rasulullah SAW sangat berhati-hati dan memperhatikan kaumnya dalam memimpin. Ketika meluruskan barisan menghadapi peperangan, seorang sahabat bernama Sawad bin Ghaziyah tertonjok perutnya oleh tongkat Nabi. Sawadpun meminta “keadilan” Rasulullah saw. “Wahai Rasulullah, engkau telah menyakitiku dengan tongkatmu. Aku minta pembalasan dari engkau.” Nabi saw pun tak segan-segan membuka jubahnya dan menyuruh Sawad membalas memukulnya. Namun apa yang terjadi, Sawad memeluk dan mencium pundak Rasulullah sambil menangis tersedu-sedu.
Sawad berkata, “Wahai Rasulullah. Peperangan sebentar lagi dimulai. Tak lama lagi aku akan menghadapi musuh yang tangguh. Aku tidak tahu apa takdir Allah nanti. Namun, jika aku tewas dalam pertempuran, aku sudah puas karena telah memeluk dan mencium pundakmu.”
Demikian pula ketika beliau saw hendak wafat, beliau meminta qishas dari para sahabatnya yang selama beliau memimpin pernah disakiti. Ukasyah bin Muhshan yang pernah terpukul tongkat Nabi pun menguji beliau dengan meminta qishas. Tapi akhirnya Ukasyah memeluk dan mencium punggung Nabi seraya berkata, “Ya Allah, mudahkanlah bagi kami sekalian memperoleh syafaatnya dengan kemuliaan dan keagungan-Mu.”
Rahasia
Meskipun memimpin negara hanya 10 tahun, namun Rasulullah SAW berhasil meletakkan dasar-dasar keimanan, keadilan dan kejayaan Islam untuk diteruskan kepada para khalifah penggantinya. Bahkan prestasinya yang tidak pernah bisa ditandingi peradaban lainnya sampai sekarang, beliau telah berhasil menciptakan generasi terbaik yaitu generasi para sahabat yang mulia. Prestasi kaum muslimin lainnya telah diungguli orang peradaban modern saat ini, sedangkan kecemerlangan Nabi membentuk generasi sahabat yang bertaqwa memiliki akhlak mulia, tidak mungkin diulangi kembali oleh siapapun.
Prof. Yunahar Ilyas menyebutkan rahasia kesuksesan kepemimpinan Rasulullah saw. Pertama, Rasulullah mempunyai track record yang baik. Sejak kecil beliau mempunyai kepribadian mulia. Beliau SAW dari masa kanak-kanak, remaja, dewasan dan seterusnya selalu menjadi teladan. Tidak ada satu noda hitam dalam kehidupan beliau hingga kaumnya sendiri member gelar Al-Amin (terpercaya). Al-Quran pun mengabadikan akhlak beliau, “Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS Al-Qalam : 4)
Kedua, kepemimpinan beliau selalu dibimbing oleh wahyu. Jika ada pertanyaan turun ayat Al-Quran menjawabnya. Jika ada kejadian atau peristiwa, turun pula ayat untuk meresponnya. Pemimpin yang ingin meneladani Rasulullah SAW, jadikanlah Al-Quran dan sunah Nabi sebagai panduan kepemimpinannya.
Ketiga, Rasulullah SAW selalu bermusyarawah dengan para sahabatnya, terutama sahabat senior yaitu Abu Bakar As-shiddiq dan Umar bin Khattab. Nabi SAW pernah bersabda, “Jika kalian berdua sepakat dalam satu hasil permufakatan (musyawarah) maka aku tidak akan bertentangan dengan kaian berdua.”
Rasulullah saw juga mengambil pendapat ahli strategi perang Hubab bin Munzir dalam menentukan lokasi logistik saat perang Badar dan meninggalkan pendapat pribadinya. Rasulullah SAW menuruti hasil musyawarah para sahabatnya saat menjemput musuh pada Perang Uhud. Namun, saat Perjanjian Hudaibiyah — karena ini masalah wahyu dari Allah — beliau menolak pendapat banyak sahabatnya.
Keempat, Rasulullah memimpin umatnya dengan terjun langsung ke lapangan sehingga apa yang dirasakan umatnya, ikut pula ia rasakan. Ketika umatnya menderita, beliaupun ikut menderita. Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. Beliau dalam mengatur urusan umat tidak hanya di belakang meja, namun juga mengimplementasikannya bersama para sahabat di lapangan.
Kelima, Rasulullah saw dalam memimpin senantiasa konsisten antara ucapan dan tindakan. Tidak ada beda antara kata dan perbuatan. Sebelum mengajarkan sesuatu, Nabi SAW melakukannya lebih dahulu. Nabi disiplin dan adil dalam menegakkan hukum, tanpa pandang bulu. Dengan demikian maka para sahabat dan umat yang dipimpinnya mendengarkan dan mengikuti apa yang diperintahkannya. Sami’na wa atha’na.
Ini rumus pemimpin ideal dari Rasulullah SAW: “Pemimpin yang bijaksana adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian. Kalian selalu mendoakannya dan ia selalu mendoakan kalian. Pemimpin yang jahat adalah yang kalian benci padanya dan dia pun membenci kalian, kalian mengutuknya dan iapun mengutuk kalian….” (HR Muslim). (***)