Home Artikel Kebangkitan Kembali Theosofi Indonesia

Kebangkitan Kembali Theosofi Indonesia

3081
1

Dalam bukunya, Tren Pluralisme Agama, Dr. Anis Malik Thoha memasukkan  Theosofi sebagai salah satu aliran dalam paham Pluralisme Agama. Mungkin tidak banyak yang mencermati, bahwa saat ini, kaum Theosofi di Indonesia sedang bangkit lagi. Secara terbuka, kelompok ini mengkampanyekan ide-idenya, dengan menerbitkan sebuah majalah bernama THEOSOFI INDONESIA. Ada juga perkumpulan Theosofi, bernama Persatuan Warga Theosofi Indonesia (Perwathin). Pengurus Besarnya  kini beralamat di Jl. Anggrek Nelly Murni, Blok A-104, Jakarta. Alamat redaksi majalahnya di Metro Permata I, Blok I 3/7 Jln Raden Saleh, Karang Mulya, Ciledug.

Tentang Theosofi dan Perhimpunan Theosofi, ditulis dalam majalah ini sebagai berikut: (*) Perhimpunan Teosofi didirikan pada 1875, merupakan suatu badan  internasional yang tujuan utamanya adalah persaudaraan universal berdasarkan pada realisasi bahwa hidup, dalam berbagai bentuk yang berbeda, manusia dan non-manusia, merupakan kesatuan yang tak terbagi; (*) Perhimpunan Teosofi tidak memaksakan kepercayaan apapun pada anggota-anggotanya, yang disatukan karena pencarian kebenaran dan keinginan untuk belajar tentang makna dan tujuan eksistensi dengan melibatkan diri dalam studi perenungan, kemurnian hidup dan pengabdian dengan penuh kasih; (*) Teosofi menawarkan sebuah filsafat, yang membuat hidup jadi lebih dimengerti dan menunjukkan bahwa keadilan dan cinta kasih membimbing alam semesta ini; (*) ajaran-ajarannya membantu mengembangkan kodrat spiritual yang masih laten dalam diri manusia, tanpa ketergantungan dan rasa takut.

Perwathin didirikan pada 31 Juli 1963, dan disahkan sebagai badan hukum oleh pemerintah dengan SK Menteri Kehakiman tgl. 30 November 1963 No J.A/146/23 dan tanggal 7 Desember 1971 No J.A 5/203/5 Berita Negara No 2 tahun 1972 Tambahan Berita Negara RI tgl 7 Januari 1972 No 2.

Disebutkan dalam majalah THEOSOFI, bahwa Perwathin tidak memihak satu aliran apapun juga dan terdiri dari anggota-anggota yang mencari kebenaran. Mereka berusaha memajukan persaudaraan dan mengabdi kepada kemanusiaan. Perwathin bertujuan untuk: (1) Mengadakan inti persaudaraan antar sesama manusia dengan tidak memandang bangsa, kepercayaan, kelamin, kaum atau warna kulit. (2) Memajukan pelajaran mencari persamaan di dalam agama-agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan. (3) Menyelidiki hukum-hukum alam yang belum dapat diterangkan dan kekuatan-kekuatan di dalam manusia yang masih terpendam.

Misi Theosofi untuk berdiri di atas semua agama, dengan jelas digambarkan oleh tokohnya, HP Blavatsky, dalam wawancara yang dimuat di Majalah Theosofi edisi ke-3, yang diterjemahkan oleh Matius Ali. Kata Blavatsky, moto Theosofi ialah : ‘’Tidak ada agama/religi yang lebih tinggi dari kebenaran.’’ Tujuan utama para pendiri Mazhab Theosofi Eklektik, yakni mendamaikan semua agama-agama, aliran-aliran dan bangsa-bangsa di bawah sebuah sistem etika umum, berdasarkan pada kebenaran-kebenaran abadi. Blavatsky juga mengklaim, bahwa Theosofi sudah setua dunia itu sendiri, dalam ajaran dan etika-etikanya, karena Theosofi adalah sistem yang paling universal dan luas diantara semuanya.

Apa sebenarnya arti kata Theosofi, dijelaskan oleh Blavatsky :
‘’Kearifan ilahi (Theosophia) atau kearifan para dewa, sebagai theogonia, asal-usul para dewa. Kata theos berarti seorang dewa dalam bahasa Yunani, salah satu dari makhluk-makhluk ilahi, yang pasti bukan ‘’Tuhan’’ dalam arti yang kita pakai sekarang. Karena itu, Teosofi bukanlah ‘Kebijaksanaan Tuhan’, seperti yang diterjemahkan sebagian orang, tetapi ‘Kebijaksanaan ilahi’ seperti yang dimiliki oleh para dewa.’’

Dengan pandangan dan misi seperti itu, Theosofi tampak bermaksud menjadi pelebur agama-agama atau menjadi kelompok ‘super-agama’ yang berada di atas atau di luar agama-agama yang ada. Hal ini sangat sejalan dengan gagasan Pluralisme Agama. Sebagai misal, Blavatsky juga menyinggung masalah aspek esoterik (batin) dan  eksoterik (luar), yang berasal dari ajaran Ammonius. Istilah eksoterik dan esoterik ini kemudian juga digunakan dalam salah satu aliran dalam Pluralisme Agama, yakni Trancendent Unity of Religion, yang ditokohi antara lain oleh Rene Gueno dan Fritjuof Schuon. Bahwa, agama-agama yang ada hanya berbeda pada level eksoterik, tetapi akan bersatu dalam aspek esoterisnya.

Di Indonesia, gagasan semacam ini juga populer di kalangan pendukung Pluralisme Agama. Nurcholish Madjid, misalnya, dalam salah satu tulisannya, mencatat :
“Sebagai sebuah pandangan keagamaan, pada dasarnya Islam bersifat inklusif dan merentangkan tafsirannya ke arah yang semakin pluralis. Sebagai contoh, filsafat perenial yang belakangan banyak dibicarakan dalam dialog antar agama di Indonesia merentangkan pandangan pluralis dengan mengatakan bahwa setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat roda itu adalah Tuhan, dan jari-jari itu adalah jalan dari berbagai Agama. Filsafat perenial juga membagi agama pada level esoterik (batin) dan eksoterik (lahir). Satu Agama berbeda dengan agama lain dalam level eksoterik, tetapi relatif sama dalam level esoteriknya. Oleh karena itu ada istilah “Satu Tuhan Banyak Jalan”.”  (Buku Tiga Agama Satu Tuhan,  Mizan, Bandung, 1999, hal. xix.)

Munculnya kembali gerakan Theosofi di Indonesia saat ini sejalan dengan maraknya penyebaran paham Pluralisme Agama yang ironisnya juga disebarkan oleh sejumlah cendekiawan dari kalangan kaum Muslim. Di zaman Belanda, Theosofi sempat menjadi gerakan penting di Indonesia yang memiliki pengaruh yang luas di kalangan cendekiawan dan elite-elite negara waktu itu.

Sebuah buku yang ditulis oleh Iskandar P. Nugraha berjudul Mengikis Batas Timur dan Barat: Gerakan Theosofi dan Nasionalisme Indonesia (2001), memberikan gambaran besarnya pengaruh gerakan Theosofi pada tokoh-tokoh nasional di Indonesia. Misalnya, orang tua Soekarno (R. Soekemi) ternyata anggota Theosofi. Hatta juga mendapat beasiswa dari Ir. Fournier dan van Leeuwen, anggota Theosofi. Tokoh-tokoh lain yang menjadi anggota atau dekat sekali hubungannya dengan Theosofi adalah Moh. Yamin, Abu Hanifah, Radjiman Widijodiningrat (aktivis Theosofi), Tjipto Mangoenkoesoemo, Douwes Dekker, Armijn Pane, Sanoesi Pane, dan sebagainya.

Tahun 1909, dalam Kongres Theosofi di Bandung, jumlah anggota Theosofi adalah 445 orang (271 Belanda, 157 Bumiputera, dan 17 Cina). Dalam Kongres itu juga disepakati terbitnya majalah Theosofi berbahaya Melayu “Pewarta Theosofi” yang salah satu tujuannya menyebarkan dan mewartakan perihal usaha meneguhkan persaudaraan. Pada tanggal 15 April 1912, berdirilah Nederlandsch Indische Theosofische Vereeniging (NITV), yang diakui secara sah sebagai cabang Theosofi ke-20, dengan Presidennya D. van Hinloopen Labberton. Tahun 1915, dalam Kongres Theosofi di Yogyakarta, jumlah anggotanya sudah mencapai 830 orang (477 Eropa), 286 bumiputera, 67 Cina).

Anggaran Dasar NITV kemudian disetujui Pemerintah Hindia Belanda tanggal 2 November 1912. Dengan demikian, NITV menjadi organisasi yang sah dan berdasar hukum. Pusatnya di Batavia. Cita-cita yang dicanangkan NITV adalah keinginan untuk memajukan kepintaran, kebaikan, dan keselamatan “saudara-saudara” pribumi, agar dengan bangsa Barat dapat saling berdekatan. Berdasarkan cita-cita tersebut, ternyata NITV mengdnaung cita-cita sama dengan kaum asosiasi, yaitu suatu hubungan yang bersifat paternalistik.

Gerakan Theosofi, seperti dirumuskan oleh ketuanya, Dr. Annie Besant, mempunyai tujuan: (1) Membentuk suatu inti persaudaraan universal kemanusiaan, tanpa membeda-bedakan ras (bangsa), kepercayaan, jenis kelamin, kasta, ataupun warna kulit, (2) Mengajak mempelajari perbandingan agama-agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan, (3) menyelidiki hukum-hukum alam yang belum dapat diterangkan, dan menyelidiki tenaga-tenaga yang masih tersembunyi dalam manusia. Selain memimpin Theosofi, Anni Besant juga memimpin organisasi Freemasonry, Moeslim Bond, Theosofische Wreld Universiteit, The Liberal Catholic Church, dan beberapa organisasi lainnya.

Kisah Gerakan Theosofi dalam merekrut elite-elite bangsa Indonesia, dapat dijadikan sebagai satu telaah yang serius, bagaimana suatu gerakan yang sebenarnya memiliki misi penghancuran aqidah Islam, ternyata begitu memikat banyak elite bangsa. “Persaudaraan universal tanpa memandang batas-batas agama” seolah-olah merupakan sesuatu yang utama dalam kehidupan manusia. Padahal,   Islam telah menegaskan, bahwa persaudaraan sejati haruslah dibangun di atas landasan iman. Innamal mu’minuuna ikhwatun. (al-Hujurat:10).

Penegasan tentang persaudaraan dan kasih sayang bisa disimak juga dalam ayat Al Quran berikut:
“Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan dan Hari Akhir berkasih sayang dengan orang-orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya, sekalipun mereka itu orang tua sendiri, anak, saudara kandung atau keluarga. Mereka itulah yang Allah telah tuliskan keimanan di hatinya dan menguatkannya dengan pertolongan dari-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam sorga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap (limpahan rahmat) Allah. Mereka itulah “hizbullah”. Ketahuilah, bahwa sesunggguhnya “hizbullah” itulah yang pasti menang.”
(al Mujadalah:22).

Persaudaraan tanpa memandang agama sebagai misi penting dari Theosofi juga digambarkan oleh Ketua Theosofische Vereeniging Hindia Belanda, D. Van Hinloopen Labberton pada majalah Teosofi bulan Desember 1912:
“Kemajuan manusia itu dengan atau tidak dengan agama? Saya kira bila beragama tanpa alasan, dan bila beragama tidak dengan pengetahuan agama yang sejati, mustahil bisa maju batinnya. Tidak usah peduli agama apa yang dianutnya. Sebab yang disebut agama itu sifatnya: cinta pada sesama, ringan memberi pertolongan, dan sopan budinya. Jadi yang disebut agama yang sejati itu bukannya perkara lahir, tetapi perkara dalam hati, batin.
    
Mudah-mudahan informasi sedikit tentang Theosofi ini bisa membantu kita dalam memahami fenomena maraknya penyebaran paham penyamaan agama di Indonesia. Banyak istilah dan jargon-jargon indah tentang kebenaran yang ditaburkan oleh orang-orang yang dipandang sebagai “cendekiawan” oleh masyarakat. Bisa jadi, mereka tahu tentang masalah ini, tetapi sengaja mengaburkan pandangan masyarakat Muslim tentang agamanya, atau bisa jadi karena mereka tidak paham dan terjebak pada jargon-jargon indah yang menipu, sehingga meninggalkan kebenaran Islam.

Yang jelas, Allah SWT sudah menjelaskan:
Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian lainnya perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu. (QS Al-An’am:112). (Jakarta, 21 Oktober 2005)

1 COMMENT

Leave a Reply