Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita kaji masalah ini secara proporsional dan menyeluruh. Baik Irshad maupun pihak penerbit buku dan pihak penyelenggara acara-acaranya di Indonesia, biasanya mendasarkan tindakan mereka – termasuk promosi lesbianisme — pada prinsip kebebasan mengemukakan pendapat (freedom of expression), yang dijamin UUD 1945. Bahwa, kata mereka, setiap warga negara dijamin haknya untuk mengemukakan pendapatnya. Ada yang berpendapat, jika tidak setuju dengan pendapatnya, maka hak untuk mengemukakan pendapat tetap harus dihormati.
Sebagai warga negara Indonesia, kita mafhum dengan prinsip tersebut. Akan tetapi, konstitusi kita, UUD 1945 juga memberikan batasan terhadap prinsip kebebasan tersebut. Pasal 28 (J) UUD 1945 ayat 2 menyebutkan: Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Isi ayat tersebut sama dengan bunyi pasal 70 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM. Jadi,
kebebasan di Indonesia memang dibatasi. Batasnya pun disebutkan, yaitu aturan perundang-undangan yang berlaku, moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum. Karena itu, prinsip kebebasan mutlak tidaklah diakui di bumi Indonesia. Begitu juga, di negara-negara lain, pembatasan-pembatasan terhadap prinsip kebebasan selalu diberikan batasan tertentu, sesuai dengan pertimbangan masing-masing negara.
Kita bisa melihat contoh Amerika Serikat. Meskipun sering dianggap sebagai negara contoh dalam “Kebebasan Beragama”, AS tetap mempunyai batasan-batasan tertentu dalam kehidupan keagamaan. Konstitusi AS memang menjamin Kebebasan Beragama, tetapi AS memberikan batasan lewat The Sherbert Test dimana negara dapat melakukan pembatasan melalui “Compeling a state interest” yaitu pembatasan yang ditujukan untuk mencegah terjadinya kejahatan dalam ajaran agama karena mengganggu ketertiban umum. (Lihat buku: Beragama, Berkeyakinan dan Berkonstitusi: Tinjauan Konstitusional Praktik Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia, (Jakarta: SETARA Institute, 2009), hal. 74).
Bahkan, jauh-jauh sebelumnya, bangsa AS menegaskan identitasnya sebagai sebuah “bangsa Kristen”. Tahun 1811, Mahkamah Agung AS menegaskan: “We are a Christian people.” Itu ditegaskan lagi oleh Mahkamah Agung AS pada tahun 1892, dengan menyatakan: “This is a Christian Nation.” Theodore Dwight Woolsey, memberikan penjelasan, mengapa AS disebut “a Christian Nation”: “In this sense certainly, that the vast majority of the people believe in Christianity and the Gospel…” . Survei antara tahun 1989-1996 menunjukkan, 84-88 persen penduduk AS mengaku Kristen. Tahun 1997, jumlah Muslim di AS diperkirakan sekitar 3,5 juta jiwa. (Lihat, Samuel P. Huntington, Who Are We? The Challenges to America’s National Identity” (New York: Simon&Schuster, 2004), hal. 98-99).
Di Indonesia, dalam urusan keagamaan, kita masih terikat dengan UU No. 1/PNPS/1965, tentang “Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Pasal 1 UU ini menyebutkan: “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agaman yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.”
Pada pasal 2 dikatakan: (1) Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. (2) Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh Organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan Organisasi itu dan menyatakan Organisasi atau aliran tersebut sebagai Organisasi/ aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri DalamNegeri.
Sedangkan pasal 3 menyatakan: Apabila, setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama bersama-sama Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri atau oleh Presiden Republik Indonesia menurut ketentuan dalam pasal 2 terhadap orang, Organisasi atau aliran kepercayaan, mereka masih terus melanggar ketentuan dalam pasal 1, maka orang, penganut, anggota dan/atau anggota Pengurus Organisasi yang bersangkutan dari aliran itu dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun.
Pasal 4 UU No.1/PNPS/1965 kemudian merujuk kepada pasal 156a Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi: “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: (a). yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; (b). dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.”
Jadi, ketentuan dalam UU No.1/PNPS/1965 mencakup tindakan penodaan agama yang dilakukan oleh kelompok/aliran keagamaan dan juga perseorangan. Seperti Ahmadiyah di Indonesia yang telah mendapatkan ketetapan SKB Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung, agar menghentikan kegiatan mereka. Sejumlah orang yang mengaku sebagai nabi juga telah dijebloskan ke penjara atas dasar delik penodaan agama.
*****
Dalam kaitan dengan kebebasan beragama ini, ada sebuah peristiwa besar dan penting. Ketika itu, tahun 2009, sejumlah pihak mengajukan judicial review terhadap UU No. 1/PNPS/1965. Permohonan judicial review itu diajukan oleh 11 (pemohon) yang terdiri dari 7 pemohon LSM yakni Imparsial, Elsam, PBHI, Demos, Setara, Desantara, YLBHI dan 4 pemohon perorangan yakni Abdurahman Wahid, Musdah Mulia, Dawam Rahardjo, dan Maman Imanul Haq yang diwakili oleh 56 advokat dan aktifis bantuan hukum yang tergabung dalam Tim Advokasi Kebebasan Beragama.
Dalam Permohonannya, pemohon meminta kepada Mahkamah Konstitusi untuk mencabut keberadaan lima norma dalam UU Penodaan Agama yakni Pasal 1 mengenai larangan untuk menyebarkan agama yang berbeda dengan penafsiran agama yang dianut di Indonesia. Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 3 dan Pasal 4a UU Penodaan Agama juga memungkinkan untuk dilakukannya hukuman terhadap orang-orang yang dianggap menyebarkan ajaran menyimpang tersebut dengan hukuman pidana selama 5 tahun.
Menurut pemohon, klausul dalam 5 norma yang diatur dalam UU Penodaan Agama adalah bentuk dari diskriminasi yang bertentangan dengan pasal-pasal Hak Asasi Manusia (Pasal 1 ayat (3), pasal 27, pasal 28D, pasal 28E, pasal 28I dan pasal 29 ayat (2) UUD 1945). Berdasarkan kasus-kasus pemidanaan dan pelarangan atas Arswendo Atmowiloto, Lia Aminuddin (Lia Eden), Ardi Husain (pembuat buku Menembus Gelap Menuju Terang yang dianggap sesat), Sumardin Tappayya (sholat bersiul), Yusman Roy (Sholat dwi bahasa) Pemohon menyatakan bahwa hukuman atas keyakinan yang dijatuhkan oleh pengadilan maupun MUI atas sesatnya aliran tersebut adalah bertentangan dengan hak asasi beragama dan hak asasi manusia yang dijamin dalam UUD 1945.
Seperti kita tahu, MK kemudian menolak gugatan/permohonan Abdurrahman Wahid dan kawan-kawan. Karena itu, UU ini masih tetap sah dan berlaku. Bahwa, siapa pun yang melakukan suatu tindak pidana penodaan agama, maka dia bisa dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun. UU No.1/PNPS/1965 itu pun sudah menjelaskan apa yang dimaksudkan dengan penodaan agama, yaitu: melakukan kegiatan keagamaan atau penafsiran yang menyerupai dan menyimpang dari ajaran-ajaran pokok agama-agama yang diakui di Indonesia (Islam, Katolik, Protestan, Hindul, Budha, dan Konghucu).
Karena itu, berbagai kelompok atau aliran yang menyimpang, — seperti Ahmadiyah, Lia Eden — bisa dibawa ke ranah pidana, sebab telah melakukan kegiatan dan penafsiran yang menyerupai dan menyimpang dari ajaran-ajaran pokok suatu agama.
Dalam perspektif inilah, apa yang selama ini dilakukan oleh Irshad Manji dalam menghalalkan lesbianisme, telah memenuhi ketentuan penodaan agama di Indonesia.
Sebab, Irshad Menji dalam beberapa buku dan tulisannya, jelas-jelas telah mempromosikan lesbianisme dan melakukan penafsiran yang menyimpang dari ajaran-ajaran pokok agama Islam.
Sebagai contoh, dalam bukunya, Allah, Liberty, and Love, Irshad Manji telah melakukan penyelewenangan terhadap penafsiran al-Quran tentang kejahatan kaum Luth.
Dikatakannya: Cerita Sodom dan Gomorah—kisah Nabi Luth dalam Islam—tergolong tersirat (ambigu). Kau merasa yakin kalau surat ini mengenai homoseksual, tapi sebetulnya bisa saja mengangkat perkosaan pria “lurus” oleh pria “lurus” lainnya sebagai penggambaran atas kekuasaan dan kontrol. Tuhan menghukum kaum Nabi Luth karena memotong jalur perdagangan, menumpuk kekayaan, dan berlaku tidak hormat terhadap orang luar. Perkosaan antara pria bisa jadi merupakan dosa disengaja (the sin of choice) untuk menimbulkan ketakutan di kalangan pengembara. Aku tidak tahu apakah aku benar.
Namun demikian, menurut Al-Quran, kau pun tidak bisa yakin apakah kau benar. Nah, kalau kau masih terobsesi untuk mengutuk homoseksual, bukankah kau justru yang mempunyai agenda gay? Dan sementara kau begitu, kau tidak menjawab pertanyaan awalku: “Ada apa dengan hatimu yang sesat?” (hal. 133).
Penafsiran Irshad Manji semacam itu, yang berujung pada penghalalan praktik homoseksual dan lesbianisme, tentu saja merupakan penafsiran yang menyimpang dan bertentangan dengan pokok-pokok ajaran Islam yang telah secara jelas mengharamkan praktik perzinaan, homoseksual dan lesbianisme. Contoh bentuk penodaan terhadap Islam, bisa dilihat dalam buku Irshad Manji lainnya yang bertajuk: Beriman Tanpa Rasa Takut: Tantangan Umat Islam Saat Ini, dicantumkan pujian pada sampul depan:”Satu dari Tiga Muslimah Dunia yang Menciptakan Perubahan Positif dalam Islam.”
Dalam buku ini, juga tampak nada-nada penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW dan serangan terhadap al-Quran.
”Sebagai seorang pedagang buta huruf, Muhammad bergantung pada para pencatat untuk mencatat kata-kata yang didengarnya dari Allah. Kadang-kadang Nabi sendiri mengalami penderitaan yang luar biasa untuk menguraikan apa yang ia dengar. Itulah bagaimana ”ayat-ayat setan” – ayat-ayat yang memuja berhala – dilaporkan pernah diterima oleh Muhammad dan dicatat sebagai ayat otentik untuk al-Quran. Nabi kemudian mencoret ayat-ayat tersebut, menyalahkan tipu daya setan sebagai penyebab kesalahan catat tersebut. Namun, kenyataan bahwa para filosof muslim selama berabad-abad telah mengisahkan cerita ini sungguh telah memperlihatkan keraguan yang sudah lama ada terhadap kesempurnaan al-Quran.” (hal. 96-97).
Cerita yang diungkap oleh Irshad Manji itu memang favorit kaum orientalis untuk menyerang al-Quran dan Nabi Muhammad saw. Cerita itu populer dikenal sebagai kisah gharanik. Riwayat cerita ini sangat lemah dan palsu. Haekal, dalam buku biografi Nabi Muhammad saw, menyebut cerita tersebut tidak punya dasar, dan merupakan bikinan satu kelompok yang melakukan tipu muslihat terhadap Islam. Karen Armstrong, dalam bukunya, Muhammad: A Biography of the Prophet juga membahas masalah ini dalam satu bab khusus. [baca juga: Irshad Manji: Kebebasan Akademik dan “Salam Pantat”]
Bentuk penodaan agama oleh Irshad Manji juga tampak pada dukungannya terhadap Salman Rushdie, penulis novel ”The Satanic Verses (Ayat-ayat Setan)”, yang isinya sangat menghina Nabi Muhammad SAW, keluarga, dan sahabat-sahabat beliau. Kisah ”ayat-ayat setan” yang ditulis Irshad Manji itu diangkat juga oleh Salman Rushdie menjadi judul novelnya: The Satanic Verses (Ayat-ayat Setan). Novel yang terbit pertama tahun 1988 ini telah menimbulkan reaksi keras di dunia Islam.
Jika Salman Rushdie telah melakukan kejahatan besar dalam pandangan Islam, maka secara logis, para pendukungnya pun dapat dikategorikan sebagai pelaku tindak kejahatan juga. Kita tentunya mengutuk keras jika ada ilmuwan atau politisi yang menulis secara terbuka dengan menyatakan, bahwa korupsi adalah suatu tindakan yang mulia demi keberlangsungan pembangunan. Bagaimana jika ada orang yang menulis secara terbuka dan memberikan dukungan kepada perzinahan, homoseksual, dan lesbianisme? Orang yang berakal sehat (aqlun saliimun), pasti akan mengatakan, bahwa orang itu lebih jahat daripada pelacur itu sendiri!
Tentu saja, ini adalah pendapat dan opini hukum dan pemikiran. Secara juridis formal, kasus Irshad Manji kita serahkan kepada para ahli dan penegak hukum untuk menilai dan mengambil tindakan yang seadil-adilnya.*/Kuala Lumpur, 16 Juni 2012