Gender isn’t something we are born with, and not something we have, but something we do/something we perform. (West dan Zimmerman 1987) (Butler 1990)
Itulah gender. Ia tidak lagi bermakna jenis kelamin biologis, tetapi sudah berganti menjadi makna yang baru sama sekali, yakni jenis kelamin sosial. Seseorang bisa menjadi masculine atau feminine tergantung peran sosial yang dimainkannya.
Istilah “gender” sebenarnya mempunyai pengertian yang beragam dan relatif. Setiap feminis memiliki pandangan pribadi sendiri tentang gender. Kebanyakan kaum feminis memaknai gender sebagai hasil penjabaran sosial tentang jenis kelamin biologis. Mereka menolak pandangan bahwa gender dibangun berdasarkan jenis kelamin biologis, bahkan pandangan ini dianggap melebih-lebihkan perbedaan biologis dan membawa perbedaan tersebut kedalam domain yang tidak relevan. Menurut kaum feminis, seharusnya tidak ada alasan biologis untuk mengharuskan perempuan menjadi lembut dan laki-laki harus tegas. Maka sebagai hasil konstruksi sosial, gender tidak bersifat alami dan karenanya bersifat lentur dan bisa berubah. (Penelope Eckert and Sally McConnell-Ginet, 2003:10).
Anne Fausto-Sterling menguatkan bahwa definisi tentang kategori biologis “male” dan “female” secara mutlak diputuskan sosial. “Pelabelan seseorang sebagai laki-laki atau perempuan adalah keputusan sosial. Kita dapat menggunakan pengetahuan ilmiah untuk membantu kita membuat keputusan, tapi hanya keyakinan kita tentang gender -tidak dengan ilmu- yang dapat mendefinisikan jenis kelamin kita”, katanya. (Penelope Eckert and Sally McConnell-Ginet, 2003:10-11).
Dalam perkembangannya, istilah teknis ‘gender’ yang telah didefinisikan sebagai konstruksi budaya, belakangan ini secara tajam berlawanan dengan jenis kelamin (sex) sebagai karakteristik biologis sebagaimana diakui Pamela Sue Anderson. (Pamela Sue Anderson, 1998:6).
Dari beragam uraian tentang definisi istilah ”gender” di atas, dapat disimpulkan bahwa pemaknaan ”gender” sebagai konstruk sosial sarat dengan nilai, ideologi, ambisi dan kepentingan kelompok tertentu. Konsep gender yang dibentuk secara sosial dimaksudkan untuk tidak melihat perempuan sebagai kebalikan dari laki-laki yang lebih cocok untuk melahirkan anak, mengasuh, dan merawat. Maka kategori biologis male dan female ditentukan secara sosial dari peran yang diambil dari setiap manusia. Namun dalam isu LGBT, gender dihubungkaitkan dengan orientasi seksual yang bersifat temporal dan kondisional. LGBT tidak lagi dikaitkan dengan masalah jenis kelamin (sex) yang bersifat alami dan permanen.
Konsep gender disosialisasikan kepada masyarakat melalui program Pengarusutamaan Gender (PUG). Pengarusutamaan gender merupakan bentuk pemaksaan konsep gender dan ideologi jenis kelamin yang masih bersifat kontroversial kedalam semua lini kehidupan. Sementara budaya lokal dan penafsiran keagamaan (untuk tidak mengatakan agama) sebagai dua faktor penghambat program PUG. Padahal gender sendiri adalah budaya yang sifatnya transnasional dan dipaksakan untuk dikonsumsi bangsa Indonesia.
Wacana kesetaraan gender dan isu diskriminasi terhadap perempuan kerap dihembuskan seiring mempromosikan perempuan untuk berperan di ranah publik. Padahal semestinya berperan di mana pun, boleh jadi merupakan konstruksi sosial sebuah masyarakat sesuai dengan nilai-nilai yang dianutnya. Menentukan peran adalah pilihan hidup yang tidak seharusnya dicampuri oleh pihak mana pun. Gender sebagai pemaknaan sosial yang diberikan kepada laki-laki dan perempuan tidak seharusnya menghilangkan keberagaman kultur dalam masyarakat dengan membentuk satu sistem sosial baru yang harus diikuti oleh semua perempuan lintas bangsa.
Dengan demikian gender sebagai hasil konstruksi sosial yang berdasarkan pada relativisme seharusnya membiarkan berbeda setiap budaya yang dikonstruk oleh masyarakat, selama tidak menimbulkan kerugian mendasar dari salah satu jenis kelamin.
Gender: dari Jenis Kelamin Biologis ke Sosial
Istilah “Gender” yang diartikan sebagai klasifikasi jenis kelamin yang dikonstruk secara sosial, bukanlah makna original dari istilah ini. Gender pada awalnya digunakan untuk merujuk kepada pembagian jenis kelamin kata benda dalam grammatika bahasa Inggris. Kemudian pada tahun 1955, seorang seksolog Jhon Money, memperkenalkan istilah sex untuk merujuk kepada klasifikasi biologis laki-laki atau perempuan, dan memperkenalkan istilah gender untuk merujuk kepada perbedaan perilaku berdasarkan jenis kelamin. Dengan usulan beliau, istilah “gender” mengalami perubahan makna dari jenis kelamin (sex) kepada peran sosial (social role) dan akhirnya menjadi identitas gender. Sebelum munculnya usulan ini, jarang sekali kata “gender” digunakan melainkan sebagai kategori gramatikal. Namun, pemaknaan kata gender yang diberikan oleh Jhon Money tidak menyebar luas sehingga tahun 1970-an, yaitu ketika teori feminis menguraikan perbedaan antara jenis kelamin biologis dan konstruk sosial gender. (Demography, vol. 31, No. 4)
Dipengaruhi gerakan perempuan, pada tahun 1970-an kaum feminis Amerika menyesuaikan kata “gender” dan menukar maknanya. Para ilmuwan sosial feminis menggunakan “gender” untuk menolak gagasan bahwa perbedaan jenis kelamin dalam perilaku, temperamen dan intelektual dipandang sebagai alami atau kodrat. (Joanne Meyerowitz, 2008: 1354-5)
Ringkasnya bahwa pemaknaan ulang kata gender bukan tanpa tujuan dan tidak bebas nilai, tetapi ia juga membawa misi dan agenda tertentu. Maka tujuan di balik pemaknaan ulang istilah ‘gender’ di antaranya untuk: 1) meruntuhkan asumsi bahwa karakteristik laki-laki dan perempuan lebih ditentukan secara biologis. 2) konsep gender diarahkan untuk menyamai, menyaingi bahkan merebut peran laki-laki di ranah publik maupun domestik. Sebab selama ini perempuan cenderung dikategorikan sebagai simbol yang lemah dan tergantung. 3) konsep gender yang dibentuk secara sosial dimaksudkan untuk tidak melihat perempuan sebagai kebalikan dari laki-laki yang lebih cocok untuk melahirkan anak, mengasuh, dan merawat.
Penutup
Draf Rancangan Undang-Undang Keadilan dan Kesetaraan Gender tidak lepas dari ideologi gender yang transnasional. RUU ini tidak berhubungan langsung dengan peningkatan hajat hidup kaum wanita di Indonesia.
Oleh karena itu tidak mengherankan jika dalam draft RUU KKG belum ada indikasi untuk memperjuangkan hajat hidup kaum wanita yang berkenaan dengan kodrat jenis kelamin biologisnya. Seperti memperjuangkan cuti kerja bergaji minimal setahun, mengharuskan pemerintah pusat dan daerah membangun fasilitas menyusui di mall, terminal, tempat kerja dan fasilitas publik lainnya. (nursing room for breastfeeding mothers), memperjuangkan masa kerja yang lebih fleksibel bagi ibu-ibu yang berkarier, memperjuangkan subsidi bulanan bagi ibu kurang mampu yang mempunyai bayi hingga usia lima tahun, memperjuangkan tersedianya persalinan yang mudah, aman, sehat dan murah, serta memperjuangkan subsidi bagi ibu yang ditinggal mati suaminya, minimal selama masa iddah.
Uraian di atas semoga dapat membuka pikiran komisi VIII DPR RI yang sedang membahas RUU KKG untuk tidak terkesima dengan ideologi transnasional seperti paham kesetaraan gender dan feminisme. Cukuplah peristiwa yang mencoreng komisi VIII DPR RI saat berkunjung di Australia tidak memperburuk citra komisi ini dengan tetap membahas apalagi mengesahkan RUU yang menyesatkan ini. Sebab masih banyak permasalahan bangsa yang membutuhkan penanganan yang lebih serius. Sementara korban ketidakadilan, pemiskinan dan pembodohan tidak saja kaum perempuan. Karena orang dizalimi, menjadi miskin dan bodoh bukan semata-mata karena keperempuanannya. Dan memang kejahatan tidak berjenis kelamin. Pelakunya adalah nafsu keserakahan yang bisa menghinggapi siapa saja. Ia bisa menimpa orang-orang semacam “The Iron Lady” Margaret Thatcher, Miranda Goeltom, Angelina Sondakh, Sherny Konjongiang, Maria Pauline, Nunung Nurbaiti, atau sejenis George Bush, Muhammad Nazaruddin, Sjamsul Nursalim, eddy tansil, dst. Akankah UU dan kegiatan pembangunan di Indonesia tetap mengikut konsep seksisme dan ideologi jenis kelamin?!