Home Artikel Islamisasi Nusantara: Bukan Asal-Asalan

Islamisasi Nusantara: Bukan Asal-Asalan

802
0

Judul Buku   : Historical Fact and Fictions
Penulis        : Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas
Penerbit      : Universiti Teknologi Malaysia (UTM)
Tahun        : 2011
Halaman     : xviii+170

Bagi majalah Media Hindu (edisi Oktober 2011), keberadaan Indonesia menjadi Negara mayoritas Muslim, patut disesali. Dalam laporan utamanya, Media ini menulis: “Kembali ke Hindu, Bila Indonesia Ingin Berjaya Kembali Seperti Majapahit”. Menurut majalah ini, Islam dianggap sebagai agama yang menggusur nilai-nilai budaya bangsa, sehingga menghambat kemajuan Indonesia. “Namun atas dasar pendapat tersebut di atas, mustahil suatu bangsa menjadi maju apabila meyoritas rakyatnya masih menganut agama yang faktanya menggusur budaya dan nilai-nilai luhur bangsa.”

Lalu, disimpulkan: “Kembali menjadi Hindu adalah mutlak perlu bagi bangsa Indonesia apabila ingin menjadi Negara Adidaya ke depan, karena hanya Hindu satu-satunya agama yang dapat memelihara & mengembangkan Jatidiri bangsa sebagai modal dasar untuk menjadi negara maju.”

Suara-suara sumbang yang menyesali pengislaman Nusantara bukanlah hal baru. Bahkan, sejak era penjajahan, berbagai suara dan upaya untuk mengecilkan kebaradaan dan peran Islam di negeri dan kawasan ini sudah dilakukan. Jangan heran! Meskipun Indonesia berpenduduk mayoritas Muslim, simbol-simbol negara dan simbol-simbol sejarah, selama ini diusahakan untuk jauh dari warna Islam.

Di dalam Tafsir al-Azhar, yang ditulis tahun 1960-an, Prof. Hamka, sudah menyinggung upaya pengecilan peran Islam dalam sejarah dan kehidupan kenegaraan: “Diajarkan secara halus apa yang dinamai Nasionalisme, dan hendaklah Nasionalisme diputuskan dengan Islam. Sebab itu bangsa Indonesia hendaklah lebih mencintai Gajah Mada daripada Raden Patah.”

Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas adalah ilmuwan Muslim yang berpuluh tahun sangat gigih berusaha mematahkan dominasi kaum orientalis dalam pendidikan sejarah di wilayah Melayu ini. Sejak tahun 1970-an, al-Attas sudah bertungkus-lumus berupaya membongkar rekayasa sistematis untuk mengecilkan sejarah Islam. Prof. S.M.N. al-Attas merangkum pendapat para orientalis dan kaum kolonial: “Banyak sarjana yang telah memperkatakan bahwa Islam itu tidak meresap ke dalam struktur masyarakat Melayu-Indonesia; hanya sedikit jejaknya di atas jasad Melayu, laksana pelitur di atas kayu, yang andaikan dikorek sedikit akan terkupas menonjolkan kehinduannya, kebudhaannya, dan animismenya. Namun menurut saya, paham demikian itu tidak benar dan hanya berdasarkan wawasan sempit yang kurang dalam lagi hanya merupakan angan-angan belaka.”  (Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu,  (Bandung: Mizan, 1990).

Nama S.M.N. al-Attas selama ini sudah identik sebagai pendekar dalam sejarah Melayu. Sejak tahun 1980-an, bukunya, Islam and Secularism, sudah diterjemahkan dalam puluhan bahasa. Buku ini sudah menjelaskan proses Islamisasi di wilayah Nusantara. Bukunya yang lain, Islam dalam Sejarah Kebudayaan Melayu, juga mengklarifikasi dan mengkritik sejumlah pendapat para orientalis tentang perkembangan Islam di Nusantara.

Kini, Prof. S.M. Naquib al-Attas sudah menginjak umur 80 tahun.  Lahir di Bogor, tahun 1931, Naquib al-Attas adalah cucu seorang ulama besar di Bogor, Abdullah bin Muhsin al-Attas, yang juga guru sejumlah ulama terkenal di Jabodetabek, seperti KH Abdullah Syafii, dan sebagainya. Tapi, di usianya yang sudah sangat lanjut itu, Prof al-Attas masih berhasil menerbitkan sebuah buku yang luar biasa, berjudul Historical Fact and Fictions. Sama dengan buku Islam dalam Sejarah Kebudayaan Melayu, seolah menegaskan pendapatnya selama ini, buku Historical… ini pun bergambar sampul kaligrafi “ayam jago”, sebagai simbol awal kehidupan baru.

Buku ini memang fantastis, melihat ketajaman analisis dan kekayaan referensi yang digunakannya. Melalui buku ini, al-Attas berhasil membalik berbagai pandangan umum tentang sejarah Islam dan Melayu yang sudah dianggap mapan, sebagaimana yang selama ini diteorikan oleh sejarawan lain. Bahkan, menurut al-Attas, mungkin inilah satu bentuk interpretasi sejarah yang belum pernah dikenal sebelumnya. (hal.xi).

Al-Attas, misalnya, mengungkap keberhasilan para pendakwah Islam (ia gunakan istilah “misionaris Islam”) dalam mengangkat dan mengislamkan bahasa Melayu, sehingga menjadi bahasa persatuan di wilayah Nusantara. “The spread of the new and vibrant Malay language and literature as a vehicle of Islam and knowledge presently used by more than two hundred million people in the Malay Archipelago is one of the most important factors in the creation of nationhood, the other factor being the religion of Islam itself.” (hal. xvi).

Analisis al-Attas itu menarik. Bisa dipahami, jika penggunaan bahasa Melayu ini sempat ditolak oleh kaum Kristen. J.D. Wolterbeek dalam bukunya,  Babad Zending di Pulau Jawa,  mengatakan: “Bahasa Melayu yang erat hubungannya dengan Islam merupakan suatu bahaya besar untuk orang Kristen Jawa yang mencintai Tuhannya dan juga bangsanya.”  

Senada dengan ini, tokoh Yesuit Frans van Lith (m. 1926) menyatakan: “Melayu tidak pernah bisa menjadi bahasa dasar untuk budaya Jawa di sekolah-sekolah, tetapi hanya berfungsi sebagai parasit. Bahasa Jawa harus menjadi bahasa pertama di Tanah Jawa dan dengan sendirinya ia akan menjadi bahasa pertama di Nusantara. (Seperti dikutip oleh Karel A. Steenbrink, dalam bukunya, Orang-Orang Katolik di Indonesia. Lihat juga buku Van Lith, Pembuka Pendidikan Guru di Jawa, Sejarah 150 th Serikat Jesus di Indonesia (2009).

Peran bahasa Melayu dan agama Islam dalam pengislaman dan pernyatuan Nusantara ini diperjelas lagi oleh Prof. al-Attas dalam buku terbarunya ini. Penjelasan al-Attas ini sekaligus menepis anggapan yang dibangun selama ini, bahwa Majapahit di masa Gajah Mada-lah yang berhasil menyatukan Nusantara.

Salah satu kesimpulan penting dari buku Historical Fact and Fictions adalah, bahwasanya penyebaran Islam di Nusantara ini utamanya bukan dilakukan oleh pedagang, tarekat sufi, atau kaum Syiah, secara sambilan. Dengan bukti-bukti yang kuat dari karya para penulis Muslim klasik, sumber-cumber Cina dan Eropa, al-Attas sampai pada kesimpulan bahwa Islamisasi di Nusantara ini dilakukan dengan cara yang sistematis, terencana, konsisten, dan dilakukan oleh para misionaris Islam yang hebat.

Sejak awal, sangat mungkin, mereka sudah langsung diutus oleh Nabi Muhammad saw dan para khalifah sesudah beliau. Islamisasi di wilayah yang terdiri atas ribuan pulau dan bersuku-suku bukanlah sebuah pekerjaan sambilan dan asal-asalan, sebagaimana digambarkan dalam buku-buku sejarah di sekolah-sekolah selama ini. Kata S.M.N al-Attas, “the spread of Islam by these Arab missionaries in the Malay world was not a haphazard matter, a disorganized sporadic affair … It was a gradual process, but it was planned and organized and executed in accordance with timelines and situation.” (hal. 32). Wallahu a’lam bil-shawab. (***)

Leave a Reply