Oleh : Arif Wibowo (Peneliti Pusat Studi Peradaban Islam, Solo)
Pendahuluan
Jawa dalam pandangan banyak peneliti merupakan sebuah etintas budaya tersendiri di Indonesia. Hal itu dapat dilihat dari bahasa, bentuk kesenian, arsitektur, aneka ritual dan pandangan teologinya, yang secara signifikan berbeda dari suku atau komunitas lain di Indonesia. Prof. Sartono Kartodirjo dalam kata pengantarnya untuk buku Dennys Lombard yang berjudul Nusa Jawa: Sebuah Silang Budaya, menyatakan bahwa Jawa adalah salah satu peradaban tersendiri.
Bahwa secara geografis Pulau Jawa dipandang sebagai suatu kesatuan adalah wajar, maka secara logis dapat digarap sebagai satu unit studi. Namun sesungguhnya konsep kesatuan itu diperkuat oleh proses sejarah, yang menempatkan pulau Jawa sebagai sentrum suatu jaringan lalu lintas transportasi maritim sejak masa prasejarah. Jalannya sejarah selanjutnya menciptakan konsentrasi hubungan internal dan eksternal pulau, sehingga Jawa menjadi unit regional. Apabila kita memandang Jawa sebagai suatu kompleks historis, dalam proses rekonstruksi, pandangan holistik mempermudah menciptakan gambaran kesatuan. Berdasarkan rekonstruksi itu Jawa dapat dilegitimasikan sebagai suatu unit regional yang mengkerangkai peradaban.[1]
Sebagai sebuah peradaban, kajian tentang Jawa telah menarik minat banyak pemerhati, meski hingga saat belum ada kesepakatan tentang definisi Jawa itu sendiri di kalangan para peneliti. Hal ini dikarenakan begitu kompleksnya unsur yang menjadi pembentuk budaya Jawa.
Menurut Lombard, Jawa mengalami tiga periodisasi sejarah (1) zaman modern (dengan proses westernisasi); (2) zaman Islamisasi, (3) Zaman Hindu-Budha.[2] Periodisasi ini sendiri bukan tidak menyisakan masalah. Bagaimana dengan sejarah Jawa pra–Hindu-Budha, dimana wujud asli kebudayaan Jawa sebenarnya tidak pernah dapat dideskripsikan?
Kalau kita mengacu pada kajian Geertz dalam Religion of Java (1960), wujud masyarakat Jawa bisa dipilah dalam tiga kategori: Santri, Abangan dan Priyayi.[3] Menurut Geertz, yang benar-benar Islam hanyalah kaum santri, sedangkan kelompok abangan lebih menganut tradisi Hindu dan Buddha. Pandangan ini sesungguhnya sudah dibantah oleh banyak ahli kebudayaan Jawa. Mark Woodward misalnya menyatakan bahwa mistisisme Jawa merupakan saduran dari tasauf Islam.[4] Andrey Muller pula berpendapat bahwa mistisisme Jawa yang bercorak sinkretis dan berbasis Hindhu Budha hanyalah eksklusif budaya kraton dan bukan budaya umum masyarakat Jawa dalam konteks yang luas.[5]
Artikel ini bermaksud merunut kembali sejarah proses Islamisasi masyarakat dan kebudayaan Jawa yang sebelumnya dikuasai oleh agama Hindu dan Buddha. Dibahas juga bagaimana peran penjajah Balanda dalam mengcounter proses ini sehingga menghasilkan corak pemikiran dan kepercayaan yang justru mencerminkan proses de-Islamisasi, yang pengaruhnya bahkan masuk ke dalam kajian tentang Jawa atau Javanologi.
Hindhu dan Budha di Jawa
Sampai saat ini Hindu dan Buddha masih sering dipandang sebagai variabel utama dalam kebudayaan Jawa. Salah satu karya yang paling penting dalam membentuk pandangan ini adalah disertasi Petrus Joshepus Zoetmulder yang terbit di tahun 1935 berjudul Pantheisme en Monisme in de Javaansche Soeloek-Litteratuur. Menurut Dick Hartoko, meskipun penelitian ilmiah (mengenai kebudayaan Jawa) memang tidak pernah berhenti, tetapi ini tidak menggoyahkan patokan-patokan yang ditancapkan oleh Zoetmulder setengah abad yang lalu.[6]
Disertasi ini dianggap mampu mengungkap inti pandangan ketuhanan masyarakat Jawa melalui telaahnya terhadap Serat Centhini dan pelbagai karya sastra suluk Jawa. Dalam pandangan Zoetmoelder doktrin manunggaling kawula gusti sama sekali tidak terkait dengan konsep wihdatul wujud yang menjadi diskursus kontroversial kalangan ahli tasawuf Islam. Manunggaling kawula gusti dalam budaya Jawa adalah suatu bentuk pandangan monistis yang berasal dari ajaran Atman Hindu. Bahkan pada karya sastra yang eksplisit corak keIslamannya pun akan dianggap sebagai Islam yang telah terpengaruh alam religius India maupun lewat alam religius Hindu Jawa.[7]
Pendapat ini dengan tegas dibantah oleh Al Attas, sebab menurutnya Hindu dan Buddha di Indonesia berwatak elitis. Perkembangan dan pengajarannya hanya berkutat di sekitar istana, sebab, masih menurut Al Attas, para pendeta Budha tidak terdiri dari rakyat pribumi tapi rakyat India Selatan yang datang untuk mendapatkan kesunyian dan kedamaian serta untuk maksud perenungan dalam biara-biara.[8] Sedangkan doktrin Manunggaling Kawula Gusti, yang oleh Zoetmoelder dan para akademisi dianggap doktrin metafisika orang Jawa, pada kenyataannya tidak pernah menjadi sistem keimanan masyarakat banyak. Masih kata Al Attas, doktrin Atman yang diinterpretasikan sebagai Brahmana yang terpendam dalam wujud individual (monisme), yang dihadirkan dalam aneka bentuk puisi tidak dimaksudkan untuk telinga-telinga najis orang kebanyakan[9]
Menurut Slamet Muljana, inti dari kebudayaan Jawa adalah pemujaan leluhur dan pemujaan arwah leluhur itu sendiri bukan merupakan agama bagi rakyat, tetapi bagian unsur penting dari ibadahnya.[10]
Bangunan-bangunan besar Candi Borobudur dan Prambanan selama ini juga dijadikan sebagai argumen dasar dalam menunjukkan kokohnya eksistensi agama Budha dan Hindu Jawa. Padahal, kedua bangunan itu sesungguhnya lebih mencerminkan pertarungan antar elite kekuasaan pada saat itu. Pada masa Dinasti Syailendra, kaki tangan kerajaan Sriwijaya Palembang di Jawa membangun Borobudur.[11] Akan tetapi, para penguasa lokal yang beragama Hindu Syiwa memandang keluarga Syailendra sebagai penjajah asing yang baru saja menancapkan pengaruhnya. Pada tahun 856 M, Syailendra berhasil dikalahkan. Untuk mengenang kemenangan ini Rakai Pikatan membangun candi Prambanan sebagai monumen kemenangan kekuasaan Hindu atas kekuasaan Budha[12]
Yang paling menderita di era kebudayaan candi ini tentu saja rakyat jelata dari kasta Sudra dan Paria. Para petani, peternak dan pedagang kecil yang termasuk dalam kasta tersebut dipaksa untuk melakukan kerja bakti membangun candi yang memakan waktu puluhan tahun. Akibatnya mata pencaharian mereka terbengkalai, begitu juga kehidupan keluarga mereka. Untuk menghindari kewajiban kerja bakti tersebut, penduduk akhirnya memilih untuk eksodus keluar dari pusat-pusat pembangunan candi.[13] Menurut Denys Lombard pembangunan gedung-gedung batu berskala besar sempat dihentikan karena kerajaan Budha dan Hindu mengalami kemunduran. Dan kemunduran tersebut karena mereka ditinggalkan rakyatnya sendiri yang lebih memilih eksodus ke kota-kota pelabuhan dan sekitarnya[14]
Kekuasaan Budha diambil alih oleh elit Hindu. Namun ketakutan (horror) masyarakat masih bertahan. Dalam perkembangan selanjutnya, Agama Hindu, Budha dan aneka kepercayaan lokal telah berkembang seiring dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat. Dan hal tersebut lambat laun juga telah mengubah wajah ajaran Hindu dan Budha menjadi Syiwa Budha Bhairawa Tantra. Kepercayaan Syiwa-Budha Bhairawa Tantra ini menghasilkan bentuk ritual yang disebut sebagai upacara Pancamakara atau lebih dikenal dengan upacara Ma-lima. Menurut S. Wojowasito, bentuk upacara dari sekte ini sangat mengerikan.[15] Ritual ma lima terdiri dari matsiya (memakan ikan gembung beracun), manuya (minum darah dan memakan daging gadis yang dijadikan kurban), madya (meminum minuman keras hingga mabuk), mutra (menari sampai ekstase), dan maithuna (ritual seks massal di tanah lapang yang disebut setra).[16]
Ritual mengerikan seperti ini juga di lakukan ketika penobatan Adityawarman sebagai seorang raja. Adityawarman adalah seorang Raja dari kerajaan Melayu yang juga merupakan menantu raja Majapahit. Dia menerima penobatannya di tengah-tengah lapangan bangkai. Sambil duduk di atas timbunan bangkai, sang raja tertawa sambil meminum darah, menghadapkan kurban manusia yang berbau busuk. Anehnya, bagi Adityawarman bangkai tersebut sangat semerbak baunya.[17] Prosesi ini sangat jelas tergambar dalam patung Adityawarman di museum nasional yang terlihat tengah memegang cawan darah, gelas anggur dan ratusan tengkorak yang mengalungi hampir semua bagian tubuhnya.
Ada istilah yang sangat populer di kalangan masyarakat Jawa, yakni aja nglakoni ma lima (jangan melakukan perbuatan ma lima). Pada awalnya, istilah ini bermaksud sebagai seruan para ulama kepada masyarakat Jawa untuk tidak lagi melakukan ritual Bhairawa Tantra, sebab ritual itu tidak hanya jahat kepada Tuhan tapi juga jahat pada manusia. Istilah aja nglakoni ma lima kemudian diartikan sebagai aja madat, aja madon, aja minum, aja main lan aja maling (jangan menghisap candu, jangan berzina, jangan mabuk, jangan berjudi dan jangan mencuri). Inilah yang menjadi acuan dasar moralitas manusia Jawa setelah masyarakat ini mengalami Islamisasi.
(Baca selengkapnya di Jurnal Islamia, ‘Pembebasan Nusantara: Antara Islamisasi dan Kolonisasi’, Vol.VII, No. 2, 2012).
[1] Sartono Kartodirdjo, “Pengantar,” dalam Dennys Lombard, Nusa Jawa : Silang Budaya 1, Batas-Batas Pembaratan, (Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal. Xiv.
[2] Ibid., hal. xv
[3] Meski sudah banyak di kritik, namun sampai saat ini, kategorisasi Geertz ini masih dijadikan acuan dalam bidang studi anthropologi keagamaan masyarakat Jawa Ayzumardi Azra, “Pengantar” dalam Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa (Tangerang: Pustaka Alvabet, 2009) hal. xii
[4] Mark R. Woodward, Islam Jawa, Kesalehan Normatif Versus Kebatinan (Yogyakarta: LKiS, Yogyakarta, 2008), hal. 3
[5] Andre Moller, Ramadhan di Jawa, Pandangan Dari Luar (Jakarta: Nalar, 2005), hal. 3
[6] Zoetmulder, P.J. Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti, Pantheisme dan Monisme Dalam Sastra Suluk Jawa (Jakarta: Gramedia, 1990),
[7]. Ibid. hal. . vii.
[8] Syed Naquib Al Attas, Dilemma Kaum Muslimin (Surabaya: Bina Ilmu, 1986) hal. 166
[9]Ibid, hal. 165.
[10] Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara (Yogyakarta: LKiS, 2005) hal. 247-253
[11] Paul Michel Munoz, Kerajaan-Kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia (Perkembangan Sejarah dan Budaya Asia Tenggara, Jaman Prasejarah – Abad XVI) , (Yogyakarta : Media Abadi, 2009) hal. 318
[12] Munoz, Kerajaan-Kerajaan Awal Kepulauan Indonesia, hal. 321-323
[13] Ahmad Manshur Suryanegara, Api Sejarah, Jilid. I, (Bandung : Salamadani, 2009) hal. 55
[14] Dennys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya 2 : Jaringan Asia (terj). (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2008) hal. 189
[15] Wojowasito,S, Sedjarah Kebudajaan Indonesia, Indonesia Sedjak Pengaruh India, (Jakarta : Penerbit Siliwangi, 1952) hal. 148
[16] Rasyidi, Islam dan Kebatinan (Jakarta : Bulan Bintang, 1967) hal. 95
[17] Wojowasito, Sedjarah Kebudajaan Indonesia, hal. 149