Home Headline Islam: Toleransi Tanpa Pluralisme

Islam: Toleransi Tanpa Pluralisme

6801
0

Islam Toleransi Tanpa Pluralisme

Jika sekarang ini ada kepala negara Islam mengirim surat meminta Tony Blair agar masuk Islam tentu dianggap pelecehan dan intoleransi. Bukan hanya karena mustahil Blair sudi, tapi doktrin postmodern dan teologi global “mengharamkan” hal itu. Doktrin pluralisme agama melarang menganggap agama orang lain salah, dan agama sendiri paling benar, karena itu dianggap benih terorisme dan fundamentalisme.

Pluralitas agama, kultur dan budaya adalah sunnatullah, tapi pluralisme adalah doktrin peradaban Barat postmodern yang mencoba membangun persamaan dari perbedaan dan bahkan cenderung menghilangkannya. Sumber utamanya adalah filsafat relativisme Nietzche, tokoh filosof Barat postmo. Filsafat kemudian menjalar ketengah-tengah diskursus teologi Kristen. Ketika doktrin extra ecclesiam nulla salus  (diluar gereja tidak ada keselamatan) tidak dapat dipertahankan lagi, maka para teolog Kristen membuat kreasi teologis yang disebut teologi inklusif. Artinya semua agama selamat dalam pelukan Kristen.

Namun gereja masih dianggap belum “maju” jika belum sesuai dengan doktrin relativisme Nietzche. Orang-orang seperti Wilfred Cantwell Smith, John Hicklah dan para pemikir Kristen pakar teori Comparative Religion kemudian meneruskannya menjadi upaya peleburan perbedaan yang disebut doktrin inkuslifisme.  (Agama) yang satu – dalam konteks pluralisme agama – mengakui (kebenaran agama) yang lain.  Ide inilah yang kemudian berubah menjadi pluralisme. Truth claim diharamkan dan semua dapat mengakui (kebenaran) semua. Tidak ada agama yang lebih benar dari agama lain. Sebab kebenaran itu adalah relatif, yang absolut hanya Tuhan. Disini hak asasi untuk beragama dan berkeyakinan seakan-akan dibela dan dijunjung tinggi. Sikap-sikap seperti itu disebut sikap pluralis. Tapi benarkah Islam sejalan dengan doktrin pluralisme seperti itu?

Islam vs Pluralisme

Jika cara berfikir seperti itu diterapkan kedalam sejarah pemiikiran dan peradaban Islam, tentu Islam bertentangan dengan makna pluralisme seperti itu. Surat-surat Nabi mengajak raja Romawi, Persia, Ethiopiadan lain-lain masuk Islam bertentangan dengan doktrin pluralisme. Jika doktrin pluralisme agama harus mengakui kebenaran agama lain, Islam hanya mengakui Islam yang paling benar disisi Allah (Sesungguhnya al-Din (yang diterima) disisi Allah adalah Islam). Jadi Islam adalah agama yang ekslusif dan tidak pluralis.

Biasanya cendekiawan Muslim pembela doktrin pluralisme agama menggunakan al- al-Ma’idah, 69 dan al-Baqarah 62 untuk menjustifikasi doktrin itu. Dalam al-Ma’idah, 69 berbunyi “Sesungguhnya orang-orang mu’min, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja yang [diantara mereka]yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih”.  (bandingkan al-Baqarah 62).

Ayat diatas difahami sebagai membenarkan agama-agama Yahudi, Kristen dan Sabean. Bahkan mereka memasukkan agama-agama lain yang serupa dengan Sabean, seperti Hindu, Buddha, Konghucu dan sebagainya dalam kategori ini. Alasannya karena Sabean adalah agama penyembah bintang-bintang alias agama musyrik.

Jika dilihat dari sibaq dan siyaq ayat tersebut maka penafsiran itu menjadi tidak tepat. Sebelumnya (pada al-Ma’idah 65) disebutkan bahwa “Jika orang-orang ahlul kitab beriman dan bertaqwa (kepada Allah)  akan Kami hapuskan dosa mereka dan akan Kami masukkan surga”. Kata jika (law anna) adalah pra-kondisi yang berarti bahwa ahlul kitab itu tidak beriman kepada Allah SWT. Selanjutnya (pada ayat 67) disebutkan bahwa ahlul kitab itu tidak berarti apa-apa jika tidak menjalankan apa yang ada dalam Kitab Taurat dan Injil. Sudah tentu ini bukan Taurat dan Injil (Bible) yang ada sekarang. Sebab kitab-kitab itu tidak asli lagi. Jika yang dimaksud adalah Bible maka implikasinya bahwa Trinitas dalam Bible itu diterima al-Qur’an. Padahal pada ayat ke 71 dan 73  disebutkan bahwa ahlul kitab yang percaya Trinitas adalah kafir. Apa yang dimaksud ayat itu adalah ajaran-ajaran Taurat dan Injil yang membawa konsep tauhid.

Oleh sebab itu, kajian al-Baydhawi menunjukkan bahwa ayat itu merujuk kepada ahlul kitab sebelum datangnya Islam. Dan karena kedatangan Islam, agama-agama itu dibatalkan (mansukh). Ini berarti agama Kristen, Yahudi, Sabean dsb itu kini telah mansukh. Ini diperkuat oleh al-Tabari bahwa surat al-Baqarah 62 dan Ali Imran 69 itu telah di mansukh oleh surah Ali Imran ayat 85 “Barangsiapa memeluk agama selain Islam ….”. Pendapat ini merujuk kepada Ibn Abbas dan diperkuat oleh al-Qasimi, Wahbah Zuhayli dan mufassir-mufassir lainnya. (Lihat Hikmat Ibn Bashir ibn Yasin, al-Tafsir al-Sahih, mausu’ah al-Sahih al-al-Masbur min al-Tafsir bi al-Ma’thur, 2 jld, jld 1, Dar al-Ma’athir, Madinah, 1999, 169).

Selanjutnya, mengenai pemahaman bahwa orang-orang Sabean penyembah bintang-bintang, alias musyrik yang disebut bersamaan dengan Yahudi dan Nasrani juga diakui kebenarannya oleh al-Qur’an asal percaya pada Tuhan dan hari akhir serta berbuat baik. Pendapat ini memiliki kelemahan premis minornya. Ternyata menurut al-Tabari tidak begitu. Penganut Sabean adalah orang yang percaya pada Yahudi dan Nasrani shalat limawaktu dan menghadap kiblat. Jadi bukan musyrik. (Lihat Hikmat Ibn Bashir, al-Tafsir al-Sahih, hal. 169)

Maka dari itu menurut Ibn Taymiyyah beriman kepada Allah dan hari akhir itu termasuk konsekuensi-konsekuensi lainnya yang berarti masuk Islam. Kecuali mereka yang hidup sebelum datangnya Islam.

Lalu mengapa dalam ayat itu disebut “sesungguhnya orang-orang beriman” yang kemudian diikuti “yang beriman kepada Allah”? Apakah ini merujuk kepada orang yang percaya kepada agama apa saja atau orang Islam saja?  Yang dimaksud “orang-orang beriman” dalam ayat itu menurut ibn Qutaybah adalah orang-orang yang mengaku beriman tapi sebenarnya tidak alias munafiq.( Ibn Qutaybah, Ta’wil Mushkilat al-Qur’an, ed. Sayyid Ahmad Safar, Kairo: Maktabah Dar al-Turath, 1973, 482).

Jadi, jika pluralisme diartikan sebagai pengakuan kebenaran agama lain, Islam jelas menolak pluralisme. Logikanya, jika Islam mengakui kebenaran agama lain, mengapa Islam mengajak agama lain masuk Islam. (al-Nahl 126). Mengapa pula Nabi sendiri mengirimsurat meminta Raja Romawi Heraclitus, Raja Persia Ebrewez, RajaEthiopia masuk Islam.

Jika pluralisme melarang adanya klaim kebenaran atau menganggap agamanya paling benar sendiri. Tentu Islam tidak masuk kategori agama yang pluralistis. Apa yang dibawa Islam adalah melengkapi kitab-kitab yang datang sebelumnya. Bahkan lebih dari itu Islam juga menyalahkan penyelewengan yang dilakukan pengikut kitab-kitab (ahlul kitab).

Islam Menjunjung Toleransi

Meskipun Islam tidak mengandung ajaran yang pluralistis, namun Islam adalah agama yang memiliki toleransi tinggi. Ayat-ayat Ali Imran 20, al-Kafirun 2-6   menunjukkan bahwa Islam adalah ekslusif tapi tidak memaksa manusia untuk mengikutinya. Al-Nahl 126 juga menunjukkan cara-cara yang beradab dalam berdakwah, tidak ada paksaan dan kekerasan ataupun tipu daya. Masih banyak lagi ayat-ayat toleransi dalam al-Qur’an.

Ajaran toleransi ini bukan hanya terdapat dalam teks, tapi juga diterapkan dalam kehidupan dakwah umat Islam. Pada awal Islam, suku-suku di jazirah Arab masuk Islam secara sukarela, karena argumentasi, karena kagum pada pribadi Nabi, karena konsep Tauhid dalam Islam dan lain sebagainya.

Pada periode Umar bin Khattab, umat Islam menguasai Yerussalem tanpa peperangan. Umat Islam datang dan menguasai tapi tidak menghancurkan. Islam malah menjadi penengah pertikaian antara sekte-sekte Kristen yang sering terjadi di dalam Kanisah al-Qiyamah. Dalam sejarahnya Yerussalem mengalami kehidupan keagamaan yang paling damai ketika dibawah kekuasaan Islam. Islam, Kristen dan Yahudi hidup berdampingan secara damai.

Di Cordoba ummat Islam juga hidup damai dengan orang-orang Kristen dan Yahudi. Tapi sesudah kerajaan Bani umayyah jatuh, orang-orang Kristen Barat mengusir umat Islam secara biadab. Mereka tidak mempunyai ajaran toleransi. Bahkan orang-orang Kristen yang dekat dengan orang-orang Islam dirazia oleh tim inquisisi Kristen.

Demikian pula ketika Islam masuk kePersiakekaisaran disana sangat lemah dan tercabik-cabik, sehingga kedatangan Islam memberikan solusi bagi persoalan politik disana. Pada tahun 700 an ketika Qutaibah bin Muslim menjabatGubernur Khurasan,iadengan damai meluaskan kawasan Muslim keBukhara, Samarqand, dan ke Timur hingga mencapai perbatasan Cina.

Dalam catatan sejarah Cina periode dinasti Tang (713-742), misalnya tertulis begini: “Mereka (orang-orang Islam) datang ke pusat Kerajaan laksana banjir, dan membawa hadiah kitab suci yang disimpan di ruangan tersendiri di dalam istana. Kitab itu dipandang sebagai standar dan sumber hukum yang dipandang suci. Sejak masa ini, ajaran-ajaran agama dari negeri asing ini menjadi bercampur dengan ajara-ajaran agama pribumi dan dipraktekkan dalam kehidupan rakyat secara terbuka diseluruh wilayah Imperium Tang”.

Orientalis pakar sejarah asal Perancis, Du Halde, mencatat bahwa orang Islam menetap di Cina selama lebih 6 abad tidak ada kegiatan dakwah yang mencolok, kecuali hubungan perkawinan. Mereka adalah saudagar kaya yang menyantuni anak kaum penyembah api yang miskin. Ketika terjadi kelaparan di Chantong mereka menyantuni lebih dari 10.000 anak miskin, sehingga ketika anak-anak itu dewasa mereka menjadi Muslim.  Semua itu berjalan tanpa paksaan dan masyarakat tidak merasa keberatan. Pada tahun 1323-1328, anak Timur Khan cucu Kubilay Khan, bernama Ananda, menggantikan ayahnya dan masuk Islam. Ia lalu membangun 4 masjid diPeking.

Begitulah, meskipun Islam adalah agama missi, tapi ia tetap berpegang pada prinsip la ikraha fi al-din (tidak ada paksaan dalam memeluk agama). Peperangan memang terjadi antara bala tentara Islam dan daerah yang dimasuki mereka. Namun  Islam tidak memerangi penganut agama lain agar mereka masuk Islam.

Rahmat Islam

Islam adalah agama yang memberi rahmat bagi penduduk alam semesta. Ini tidak berarti bahwa Islam mengakui kebenaran agama apapun diseluruh dunia. Rahmat Islam terdapat pada ajaran-ajarannya yang universal, yang sesuai dengan fitrah manusia.  Menurut Ibn Taymiyyah Allah menurunkan fitrah pada alam dan pada manusia, dan melengkapi kedua fitrah itu dengan fitrah yang diturunkan (fitrah munazzalah) yakni al-Qur’an. Dan pada ketiga fitrah itu Allah meletakkan ayat-ayat, yaitu ayat kauniyyah, ayat qauliyyah dan ayat nafsiyyah.

Rahmat Islam adalah kekayaan konsep-konsepnya yang mencerminkan sebuah pandangan hidup. Didalamnya terdapat ruang-ruang bagi ilmu pengetahuan, etika, estetika, logika, metafisika, sains, teknologi, teologi dsb. Karena itulah maka konsep-konsep asing dapat terakomodasikan dalam peradaban Islam, sehingga bangsa selain Islam dapat dengan mudah memanfaatkan konsep-konsep Islam bagi kepentingan kebudayaan mereka.

Pandangan hidup Islam telah membuka wawasan dan prinsip-prinsip baru bagi kehidupan bangsa Eropah. Kemampuan umat Islam menterjemahkan filsafat dan sains Yunani membawa rahmat bagi kebangkitan Barat. Proses dari Yunani ke Arab kemudian ke Latin merupakan fakta sejarah bahwa peranan Islam bagi bangunnya peradaban Barat tidak dapat diragukan lagi. .

Demikian pula Islam masuk ke Spanyol, Persia, India dan Mesir membawa cara pandang terhadap dunia yang khas. Islam tidak datang ke suatu Negara untuk menjajah dan menguras kekayaan alam Negara itu, seperti yang dilakukan bangsa Barat kenegara-negara Islam. Islam memakmurkan Negara yang telah dikuasainya dan tidak membawanya pulang ke Arab misalnya. Oleh sebab itu, istilah yang tepat untuk serangan Islam adalah al-fath, pembukaan dan bukan penjajahan.

Kedatangan pandangan hidup Islam ke dunia Melayu (Asia Tenggara) telah membawa perubahan konsep waktu, konsep ada, konsep hidup dsb. kepada masyarakat yang animistis dan dinamistis waktu itu. Yang pasti Islam masuk ke dunia Melayu tanpa peperangan. Peperangan yang ada hanyalah peperangan konsep, konsep teologi agama-agama Hindu, animisme dan dinamisme dengan mudah dikalahkan oleh konsep universal Islam. Jadi, Islam bertentangan dengan prinsip pluralisme agama, tapi memiliki rasa toleransi yang tiada bandingannya.

By: Hamid Fahmy Zarkasyi