Irshad Manji memang lesbian ”nekad”. Logikanya, lesbian tidak bangga dengan kelainan seksual yang dideritanya.
Tapi, aktivis liberal Nong Darol Mahmada pernah menulis artikel di Jurnal Perempuan (edisi khusus Lesbian, 2008) berjudul:Irshad Manji, Muslimah Lesbian yang Gigih Menyerukan Ijtihad. Katanya: ”Manji sangat layak menjadi inspirasi kalangan Islam khususnya perempuan di Indonesia.”
Jika disimak dari kualitas dan prestasi akademik serta kualitas bukunya, Irshad Manji tampak dengan sengaja dibesar-besarkan namanya. Majalah Ms. menobatkan dia sebagai “Feminis Abad ke-21”. Maclean’s memberinya penghargaan Honor Roll di tahun 2004 sebagai “Orang Kanada yang Sangat Berpengaruh”.
Dalam bukunya (edisi Indonesia), Beriman Tanpa Rasa Takut: Tantangan Umat Islam Saat Ini, dicantumkan pujian pada sampul depan:”Satu dari Tiga Muslimah Dunia yang Menciptakan Perubahan Positif dalam Islam.” Dalam buku ini, bisa ditemukan nada-nada penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW dan keraguan terhadap al-Quran.
”Sebagai seorang pedagang buta huruf, Muhammad bergantung pada para pencatat untuk mencatat kata-kata yang didengarnya dari Allah. Kadang-kadang Nabi sendiri mengalami penderitaan yang luar biasa untuk menguraikan apa yang ia dengar. Itulah bagaimana ”ayat-ayat setan” – ayat-ayat yang memuja berhala – dilaporkan pernah diterima oleh Muhammad dan dicatat sebagai ayat otentik untuk al-Quran. Nabi kemudian mencoret ayat-ayat tersebut, menyalahkan tipu daya setan sebagai penyebab kesalahan catat tersebut. Namun, kenyataan bahwa para filosof muslim selama berabad-abad telah mengisahkan cerita ini sungguh telah memperlihatkan keraguan yang sudah lama ada terhadap kesempurnaan al-Quran.” (hal. 96-97).
Cerita yang diungkap oleh Manji itu memang favorit kaum orientalis untuk menyerang al-Quran dan Nabi Muhammad saw. Cerita itu populer dikenal sebagai kisah gharanik. Riwayat cerita ini sangat lemah dan palsu. Haekal, dalam buku biografi Nabi Muhammad saw, menyebut cerita tersebut tidak punya dasar, dan merupakan bikinan satu kelompok yang melakukan tipu muslihat terhadap Islam. Karen Armstrong, dalam bukunya, Muhammad: A Biography of the Prophet juga membahas masalah ini dalam satu bab khusus.
Kisah ”ayat-ayat setan” itu kemudian diangkat juga oleh Salman Rushdie menjadi judul novelnya: The Satanic Verses (Ayat-ayat Setan). Novel yang terbit pertama tahun 1988 ini memang sangat biadab dalam menghina Nabi Muhammad saw, para sahabat, dan istri-istri beliau. Menurut Armstrong, cerita dalam novel Salman Rushdi ini mengulang semua mitos Barat tentang Nabi Muhammad saw sebagai sosok penipu, ambisius, yang menggunakan wahyu-wahyunya untuk mendapatkan sebanyak-banyak perempuan yang dia inginkan. Para sahabat nabi juga digambarkan dalam novel ini sebagai manusia-manusia tidak berguna dan tidak manusiawi. Tentu saja, judul Novel itu sendiri sudah bertendensi melecehkan al-Quran.
Umat Islam yang sangat menghormati dan mencintai Nabi Muhammad saw, tentu saja sangat tersinggung dengan penerbitan Novel Salman Rushdie yang sangat tidak beradab ini. Rushdie diantaranya menggambarkan perempuan-perempuan dengan nama-nama istri-istri Nabi Muhammad saw sebagai penghuni rumah pelacuran bernama ”Hijab”. Rushdie juga menyebut Nabi Muhammad – yang dinamainya ”Mahound” — sebagai “the most pragmatic of prophets.” Penulis novel yang menghina Nabi Muhammad saw seperti Salman Rushdie inilah yang dijadikan rujukan oleh Irshad Manji dalam memunculkan isu tentang “ayat-ayat setan”.
Buku lain yang ditulis Irshad Manji berjudul The Trouble with Islam, mendapatkan sorotan tajam dari berbagai pihak. Editorial Palestine Solidarity Review menulis judul kritiknya: “The Trouble with Irshad Manji”. Diantara kritiknya adalah kerancuan pemikiran Irshad Manji yang berlebihan dalam memuji kebebasan Barat, di mana ia menulis, bahwa hanya di Barat, Muslim mendapatkan kebebasan untuk berpikir, berekspresi, dan sebagainya (enjoy precious freedoms to think, express, challenge and be challenged without fear of state reprisal).
Palestine Solidarity Review menulis kritiknya, bahwa Irshad Manji tampaknya buta terhadap berbagai jenis intimidasi dan diskriminasi yang diderita Muslim di Negara-negara Barat: ” Is she blind to the fact that thousands of Muslims in the U.S. are being intimidated into silence by deportations, detentions, SEVIS registration, racist attacks on the street, and state repression? That Muslim youth are fighting racists and the cops in the street in England and France?”
Di Aceh dicambuk!
Dalam sejarah manusia, perilaku homo dan lesbi lazimnya dianggap menyimpang. Tapi, Indonesia memang unik dan ajaib. Jumlah penduduk Muslimnya sekitar 200 juta orang. Jutaan orang sudah mengantri untuk berhaji! Uniknya, manusia-manusia yang jelas-jelas berperilaku bejat, pemuja setan, pegiat homoseksual dan lesbian, bisa dengan leluasa mengumbar angkara di negeri Muslim terbesar di dunia ini.
Dalam bukunya, yang berjudul Perzinaan, dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia Ditinjau dari Hukum Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), pakar hokum Universitas Indonesia, Neng Djubaedah, mengutip hadits riwayat Abu Dawud yang menyatakan, bahwa pelaku lesbian (musahaqah) harus dikenai hukum rajam. Imam Syafii berpendapat, pelaku lesbian, baik muhshan atau bukan, dijatuhi hukuman rajam, dilempari batu sampai mati. Sementara itu, dalam Qanun Hukum Jinayat Aceh, pasal 33 ayat (1) ada ketentuan: “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan liwath aytau musahaqah, diancam dengan ‘uqubat ta’zir paling banyak 100 (seratus) kali cambuk dan denda paling banyak 1.000 (seribu) gram emas murni atau penjara paling lama 100 (seratus) bulan).” Sedangkan orang-orang yang mempropagandakan homoseksual dan lesbianisme, menurut Qanun Jinayat Aceh tersebut, diancam dengan hukuman cambuk paling banyak 80 kali dan denda paling banyak 1.000 gram emas murni atau penjara paling lama 80 bulan. (ayat 3).
Jadi, sesuai hukum Islam, harusnya pelaku homoseksual atau lesbian dirajam, atau — jika mengikuti Qanun Jinayat di Aceh — dia harus dicambuk paling banyak 100 kali. Malangnya, dalam KUHP pasal 292 ditetapkan: “Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesame kelamin yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.”
Bisa diduga, Irshad Manji tidak akan pergi ke Aceh untuk mempromosikan kelesbianannya atas nama kebebasan. Sebab, di Aceh sudah ditetapkan hukum cambuk bagi promotor atau praktisi homo dan lesbi. Kita memang sulit memahami, mengapa manusia seperti Irshad Manji dipuja-puji dan dipromosikan di Indonesia. Padahal, katanya, Indonesia berdasarkan pada Pancasila, yang memiliki sila kedua: Kemanusiaan yang adil dan beradab. Beradabkah tindakan yang memuja seorang lesbian?
Apa pun status hukumnya, membanggakan perilaku homoseks dan lesbian adalah sebuah kemunkaran yang nyata. Nabi SAW sudah bersabda: “Barangsiaa di antara kalian yang melihat suatu kemunkaran maka hendaklah ia mengubah dengan tangannya; jika tidak mampu maka dengan lisannya; dan jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman.” (HR Muslim).
Feminis Lesbian
Program legalisasi – bidang hukum dan opini – praktik homo dan lesbi biasanya berjalan seiring dengan kampanye kaum feminis atau aktivis Kesetaraan Gender. Menurut feminis lesbian, baik kaum feminis maupun lesbian mempunyai tujuan yang sama, yaitu mendobrak dominasi laki-laki terhadap perempuan. Bunch (1972) menyatakan: “Para lesbian harus menjadi feminis dan berjuang melawan penindasan terhadap perempuan, sebagaimana para feminis harus menjadi lesbian jika mereka ingin mengakhiri supremasi laki-laki (Lesbians must become feminists and fight against woman oppression, just as feminist must become lesbians if they hope to end male supremacy.)
Sejak era 1970-an, dorongan agar aktivis feminis sekaligus menjadi lesbian dikabarkan semaki menguat. Menurut mereka, adalah hal yang aneh, jika ada feminis yang bekerjasama secara politik dengan sesame perempuan, tetapi kemudian ia pulang ke rumah dan tidur dengan laki-laki. Ruth Mahaney mengatakan: “I don’t understand you women. You do your political work with women, but you go home to men… Yeah, why do we?” (Tentang feminis lesbian, lihat: Triana Ahdiati, Gerakan Feminis Lesbian, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2007).
Kedatangan kembali Irshad Manji ke Indonesia tidak bisa dipandang sebagai hal sepele. Sebab, selama ini, kaum lesbi dan pendukungnya telah melakukan berbagai gerakan menuju legalisasi praktik homo dan lesbi di Indonesia. Jurnal Perempuan, edisi Maret 2008, melaporkan, bahwa pada tanggal 6-9 November 2006, 29 pakar HAM terkemuka dari 25 negara berkumpul di Yogyakarta untuk memperjuangkan hak-hak kaum lesbian ini.
Di situ, mereka menghasilkan sebuah dokumen yang disebut: ”Prinsip-prinsip Yogyakarta terhadap Pemberlakuan Hukum Internasional atas Hak-hak Asasi Manusia yang Berkaitan dengan Orientasi Seksual, Identitas Gender dan hukum internasional sebagai landasan pijak yang lebih tinggi dalam perjuangan untuk Hak Asasi Manusia yang paling dasar (baca: kebutuhan seksual) serta kesetaraan gender, yang disebut dengan Yogyakarta Principles.”
Jurnal Perempuan itu juga menulis tentang dokumen tersebut: ”Prinsip-prinsip Yogyakarta ini merupakan tonggak sejarah (milestone) perlindungan hak-hak bagi lesbian, gay, biseksual dan transgender. Menggunakan standar-standar hukum internasional yang mengikat dimana negara-negara harus tunduk padanya.” Salah satu tuntutan para pegiat KKG dan lesbianisme adalah agar perkawinan sesama jenis juga mendapatkan legalitas di Indonesia. ”Pasal 23 Kovenan Hak Sipil dan Politik juga secara terbuka mencantumkan tentang hak membentuk keluarga dan melakukan perkawinan, tanpa membedakan bahwa pernikahan tersebut hanya berlaku atas kelompok heteroseksual,” tulis Jurnal yang mencantumkan semboyan ”untuk pencerahan dan kesetaraan”.
Gadis Arivia, seorang pegiat KKG, dalam artikelnya yang berjudul ”Etika Lesbian” di Jurnal Perempuan ini menulis: ”Etika lesbian merupakan konsep perjalanan kebebasan yang datang dari pengalaman merasakan penindasan. Etika lesbian menghadirkan posibilitas-posibilitas baru. Etika ini hendak melakukan perubahan moral atau lebih tepat revolusi moral.” Lebih jauh, Gadis Arivia menulis tentang keindahan hubungan pasangan sesama perempuan:
”Cinta antar perempuan tidak mengikuti kaidah atau norma laki-laki. Percintaan antar perempuan membebaskan karena tidak ada kategori ”laki-laki” dan kategori ”perempuan”, atau adanya pembagian peran dalam bercinta. Dengan demikian, tidak ada konsep ”other” (lian) karena penyatuan tubuh perempuan dengan perempuan merupakan penyatuan yang kedua-keduanya menjadi subyek dan berperan menuruti kehendak masing-masing. Dengan melihat kehidupan lesbian, kita menemukan perempuan sebagai subyek dan memiliki komunitas yang tidak ditekan oleh kebiasaan-kebiasaan heteroseksual yang memaksa perempuan berlaku tertentu dan laki-laki berlaku tertentu pula.”
Dengan memandang perkawinan sejenis sebagai alternatif membentuk rumah tangga yang bahagia, diantara aktivis feminisme dan Kesetaraan Gender merasa geram dengan tradisi masyarakat dan negara yang hanya mengakui perkawinan heteroseksual. Prof. Siti Musdah Mulia, dosen UIN Jakarta, dalam jurnal yang sama, menuntut agar agama yang hidup di masyarakat juga memberikan pilihan bentuk perkawinan sejenis: ”Dalam hal orientasi seksual misalnya, hanya ada satu pilihan, heteroseksual. Homoseksual, lesbian, biseksual dan orientasi seksual lainnya dinilai menyimpang dan distigma sebagai dosa. Perkawinan pun hanya dibangun untuk pasangan lawan jenis, tidak ada koridor bagi pasangan sejenis. Perkawinan lawan jenis meski penuh diwarnai kekerasan, eksploitasi, dan kemunafikan lebih dihargai ketimbang perkawinan sejenis walaupun penuh dilimpahi cinta, kasih sayang dan kebahagiaan.”
*****
Homoseksual dan lesbian adalah kelainan seksual dan penyakit yang harus diobati. Pakar kedokteran jiwa, Prof. Dr. Dr. Dadang Hawari, dalam bukunya, Pendekatan Psikoreligi pada Homoseksual, (Jakarta: Balai Penerbit FK-UI, 2009), mengungkapkan keprihatinannya dengan semakin merebaknya fenomena homoseksual dan lesbian ini. Menurut Dadang Hawari, penyakit ini bisa diobati: ”Kasus homoseksual tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan melalui proses perkembangan psikoseksual seseorang, terutama faktor pendidikan keluarga di rumah dan pergaulan sosial. Homoseksual dapat dicegah dan diubah orientasi seksualnya, sehingga seorang yang semula homoseksual dapat hidup wajar lagi (heteroseksual).”
Jadi, Irshad Manji yang lesbi, harusnya sadar bahwa dia sakit dan perlu diobati, bukan malah dipuja-puji di sana-sini dan dijadikan narasumber untuk diskusi. Prof. Dadang Hawari memberi nasehat pada kaum homo dan lesbi: ”Bagi mereka yang merasa dirinya homoseksual atau lesbian dapat berkonsultasi kepada psikiater yang berorientasi religi, agar dapat dicarikan jalan keluarnya sehingga dapat menjalani hidup ini dan menikah dengan wajar.”
Pada akhirnya, di zaman yang penuh ”fitnah” ini, baik kita renungkan sebuah sabda Nabi Muhammad SAW: ”Sesungguhnya manusia jika melihat kemunkaran tapi tidak mengingkarinya, maka dikhawatirkan Allah akan menimpakan azab-Nya, yang juga akan menimpa mereka.“ (HR Abu Bawud, at-Tirmidzi, dan Ibn Majah). (Depok, 1 Mei 2012, @husainiadian).