Dalam sebuah wawancara dengan satu media nasional, tokoh NU KH Hasyim Muzadi mengritik aktivitas beberapa pihak di Indonesia yang menyebarkan opini bahwa Indonesia adalah bangsa yang tidak toleran. Kyai Hasyim menggunakan istilah, bahwa mereka telah “memakai pisau asing, untuk menusuk bangsa sendiri.”
Awal Juni 2012 lalu, Kyai Hasyim menyebarkan rilisnya, yang merespon rekomendasi Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss, 23 Mei 2012, berkaitan dengan isu intoleransi agama di Indonesia. Mantan Ketua Umum PBNU itu menyatakan, bahwa intoleransi agama di beberapa negara Eropa lebih buruk daripada di Indonesia. Ia menyebut kasus-kasus keagamaan yang terjadi di Swiss, Perancis, dan beberapa negara yang sudah melegalkan perkawinan sesama jenis.
Penyataan KH Hasyim Muzadi itu sangat penting untuk disimak. Kyai Hasyim berani melawan arus opini yang selama ini disebarkan oleh berbagai pihak di Indonesia, bahwa Indonesia adalah negara yang intoleran. Biasanya yang dituding tidak toleran adalah umat Islam. Salah satu contoh intoleransi itu – menurut mereka — adalah sikap umat Islam yang tidak bisa menerima kehadiran aliran-aliran sesat dan merusak agama.
Tugas dakwah
Banyak pihak – yang hanya berpegang kepada pemahaman konsep HAM sepihak – memaksa kaum Muslim untuk menghormati hal-hal yang sesat dan munkar. Tentu, hal semacam itu sebenarnya juga melanggar HAM umat Islam dalam menjalankan agamanya, sebab salah satu ajaran penting dalam Islam adalah prinsip ”amar ma’ruf nahi munkar” (menegakkan kebanarn dan meruntuhkan kemunkaran).
Al-Quran, hadits Nabi SAW, dan ijma’ dari salafusshalih, menekankan pentingnya kedudukan amar ma’ruf nahi munkar dalam menentukan tegak dan selamatnya agama Islam. Dalam hal kemunkaran dengan segala bentuknya, umat Islam tidak diijinkan memberikan ruang toleransi, sebagaimana sisabdakan Rasulullah SAW : ”Jika engkau melihat kemunkaran, maka cegahlah dengan tanganmu. Jika tidak mampu, bisa dengan lidahmu, jika tidak mampu juga maka cukup dengan hati, meski ini selemah-lemahnya iman.” (HR Muslim). Begitu strategisnya perang melawan kemunkaran , Allah mengabadikan dalam Al-Quran kisah amanat Luqman kepada anaknya : “ Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari perbuatan yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS Luqman: 17).
Jika Umat Islam membiarkan, apalagi berkompromi, bahkan mendukung kemunkaran dan menolak amar ma’ruf, maka Allah akan mendatangkan azab dalam wujud pemimpin yang jahat Allah tidak mengabulkan segala doa dari orang-orang baik: “Hendaklah kamu beramar ma’ruf dan bernahi munkar; jika tidak, maka Allah akan menguasakan kalian pada orang-orang yang paling jahat di antara kalian; kemudian orang-orang yang baik-baik di antara kalian berdo’a dan tidak dikabulkan (do’a mereka). (HR. al-Bazzar).
Mengapa kemunkaran bisa menjadi idola; menjadi kenikmatan hidup; dan menjadi bagian hidup? Fenomena ironis ini terjadi akibat manusia terbuai dan kemudian menghamba kepada hawa nafsu, menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS Al-Jatsiyah: 23)
Dewa HAM
Beberapa waktu lalu, terjadi kasus penolakan umat Islam terhadap aktivitas Irshad Manji, tokoh lesbian dan juga Lady Gaga, seorang penyanyi yang akrab dengan simbol-simbol setan dan pendukung kuat homoseksual. Menyusul gagalnya konser Lady Gaga, beberapa pihak segera menuduh, bahwa Indonesia merupakan negara yang tidak toleran. Lagi-lagi, yang digunakan sebagai senjata untuk menilainya adalah Hak Asasi Manusia (HAM).
Dalam Pasal 1 Deklarasi Universal HAM (DUHAM) 10 Desember 1948, dinyatakan: ”All human beings are born free and equal in dignity and rights”. Instrumen inilah yang dijadikan dasar legitimasi bagi kubu pemuja Irshad Mandji dan Lady Gaga dalam membuka ruang toleransi terhadap praktik kemunkaran dengan berlindung di balik tameng kebebasan. Mereka memahami bahwa dalam semua instrumen HAM khususnya DUHAM maupun UUD 1945 telah menjamin kebebasan setiap orang untuk berekspresi dan berapresiasi tanpa batas.
Tak dapat disangkal bahwa HAM dalam berbagai kajian, diskusi maupun dalam struktur kelembagaan, telah dipuja oleh sebagian kalangan sebagai konsep yang berlaku secara universal dan absolut. Semua nilai dan tatanan yang berlaku di tingkat nasional, regional dan lokal harus tunduk dan menyesuaikan diri dengan HAM. Alhasil, pendewa HAM memang telah menjadikan HAM sebagai kitab suci baru yang mensupremasi hukum, agama dan pranata sosial lainnya. .
Namun dalam perkembangannya, absolutisme dan universalitas HAM mengalami tentangan dari gerakan partikularistik dan relativisme HAM. Jadi konfigurasi pemahaman norma HAM kontemporer tidak hanya melembagakan hak yang tidak dapat dikesampingkan (non derogable rights), tetapi juga mengakomodasi prinsip HAM yang dapat dikesampingkan bahkan dapat dibatasi (derogable rights). Sebenarnya, norma pembatasan HAM dimaksud, diperintahkan sendiri oleh artikel 29 ayat 2 DUHAM.
Sejak norma HAM diformalkan dalam sistem hukum kita, prinsip pembatasan telah dilembagakan dalam Pasal 28 J ayat 2 UUD 1945, dengan redaksi yang mengambil over rumusan artikel 29 ayat 2 DUHAM : “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Pembatasan HAM dan kebebasan, lebih dipertegas lagi dalam Pasal 73 UU No 39/1999 tentang HAM: “Hak dan kebebasan yang diatur dalam undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa”
Berdasarkan uraian di atas sudah sangat jelas bahwa tidak ada HAM dan kebebasan tanpa pembatasan. Termasuk dalam hal ini adalah kebebasan berekspresi dan berapresiasi. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 140/PUU-VII/2009 tertanggal 12 April 2010, Majelis Hakim MK menegaskan bahwa HAM bukanlah kebebasan mutlak tanpa batas. Ini berarti perbuatan yang berupaya untuk melahirkan sebuah pemahaman melalui penafsiran terhadap kebebasan yang berujung pada kebablasan dan demoralisasi, tidak dapat ditoleransi sebagai kebebasan mtlak karena sudah jelas bertentangan dengan prinsip HAM itu sendiri.
Dengan demikian, kebebasan berekspresi dan berapresiasi sebagaimana yang tampak dari kasus Irshad Manji, Lady Gaga, dan kasus-kasus lainnya — dalam persfektif HAM — ternyata harus tunduk pada aturan hukum di semua tingkatan. Mereka tentu tidak hanya boleh mengklaim ketundukannya pada hukum internasional tetapi juga harus menghormati aturan hukum yang berlaku di setiap negara bahkan pada tingkat masyarakat yang memiliki sistem nilai sendiri .
Dalam hal ini, Irshad Mandji dan Lady Gaga serta para pendukungnya juga harus menghormati sistem nilai dan norma yang membatasi kebebasan di setiap tempat (partikularistik relative HAM). Khusus di Indonesia, norma hukum yang membatasi kebebasan berekspresi dan berapresiasi, minimal dua aturan hukum yaitu UU N0 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan UU N0 44 /2008 tentang Pornografi.
Perlu dipahami bahwa pengaturan tentang HAM sebagai pranata hukum, ditopang oleh dua karakteristik dasar yang selalu melekat yaitu hak disatu sisi dan kewajiban disisi yang lain. Jadi HAM yang tergali dari filsafat keseimbangan mempromosikan dua pranata yaitu hak dan kewajiban yang bersifat melekat secara timbal balik. Hal ini dirumuskan dalam Pasal 28J ayat 1 UUD 1945 Jo Pasal 1 angka 2 UU N0 39 tahun 1999 HAM.
Dalam hal ini kewajiban hak asasi sebagaimana amanat Pasal 28 J ayat 1 UUD 1945 jo Pasal 1 angka 2 UU No 39/1999 tidak hanya bersifat individual yaitu kewajiban menghormati hak asasi orang lain, tetapi juga kewajiban yang bersifat kolektif yaitu kewajiban menghormati aturan hukum, ketertiban umum, moral/kesusilaan dan agama. Sayangnya, dalam implementasinya, pemuja kebebasan biasanya mendegradasi kewajiban asasi dan lebih menonjolkan HAM yang berimplikasi melembaganya sikap toleransi terhadap kemunkaran.
Para pemuja kebebasan di Indonesia mungkin terlupa, bahwa posisi agama di negara-negara Barat sangatlah berbeda dengan posisi agama di Indonesia. Masyarakat Barat mengalami trauma sejarah dan teologis, yang berujung kepada semangat membuang nilai-nilai agama dalam kehidupan. Agama dianggap sekedar aksesoris yang tidak perlu hadir dalam pranata kehidupan formal. Dalam persfektif Barat yang liberal, orang ateis atau asusila merupakan fenomena biasa, Agama mau pun kesusilaan tidak dipandang penting lagi. Jika perlu disingkirkan dalam kehidupan, karena dianggap sebagai penghalang kebebasan.
Ini tentu berbeda dengan sikap umat Islam, yang menjadikan agama sebagai bagian dari kehidupannya, dalam seluruh aspek kehidupan. Karena itu, seyogyanya, kita berhati-hati dalam menerapkan prinsip HAM dalam kehidupan umat Islam, sehingga kita tidak salah paham. Wallahu a’lam bish-shawab. (***).