GUNUNG Eyjafjallajokull. Mungkin hampir tidak ada orang Indonesia yang mengenal nama gunung ini. Membaca dan menghafal namanya pun tidak mudah. Tapi, gunung berapi yang letaknya di Islandia, jauh di utara Inggris, ini sejak Kamis (15 April 2010) menjadi sangat terkenal di seluruh dunia, terutama di daratan Eropa. Gara-gara gunung Eyjafjallajokull meletus, hampir seluruh daratan Eropa dibuat kelabakan. Inggris termasuk negara yang menderita cukup parah.
Inggris sendiri sebenarnya tidak punya gunung berapi yang aktif. Tetapi, debu yang disemburkan oleh Gunung Eyjafjallajokull, tertiup angin menyelimuti ruang udara Inggris. Maka, demi keamanan, seluruh penerbangan di Inggris kemudian dihentikan. Saya juga turut menjadi korban. Harusnya saya balik ke Indonesia pada hari Ahad, 18 April, akhirnya harus dijadwalkan ulang pada Hari Selasa, 20 April. Tapi, lagi-lagi, hari perjalanan balik saya juga dibatalkan. Ruang udara Inggris dinyatakan masih belum aman. Gara-gara musibah itu, ada sekitar 150 ribu warga Inggris di luar negeri yang tertunda kepulangannya. Kerugian materi sulit dihitung. British Airways mengumumkan, setiap hari, mengalami kerugian £ 5-6 juta.
Ketika ditanya kepada maskapai penerbangan, apa ada kepastian jadwal pulang, mereka mengatakan, ini adalah ”The Act of God”. Jadi, tidak ada yang bisa melawan tindakan Tuhan. Ketika ada musibah, nama Tuhan kemudian dibawa-bawa. Apalagi, bagi perusahaan tertentu, kata-kata ”The Act of God” menjadi penting agar penumpang tidak menuntut macam-macam. Bagi kaum muslim, setiap musibah yang sudah terjadi, akan diyakini sebagai takdir Allah. Setiap musibah pasti ada hikmahnya.
Kesempatan batal pulang ke tanah air saya manfaatkan untuk sejumlah kegiatan. Hari Ahad, 18 April, saya dan Dr. Hamid Zarkasyi, memenuhi undangan makan malam oleh seorang muslim asal India. Ia seorang doktor bidang fisika. Kami merencanakan shalat magrib berjamaah di East London Mosque, sebuah masjid terbesar di kawasan Whitechapel, London. Kami tiba tepat saat iqamat dikumandangkan. Alhamdulillah, saya masih kebagian tempat shalat, karena jamaah berlomba menempati ruang shalat yang tersisa.
Saya cukup terkejut dengan pemandangan yang saya lihat. Yang hadir shalat magrib berjamaah sekitar 1.000 an orang. Ruang utama masjid, beranda, dipenuhi jamaah. Bahkan, banyak jamaah yang harus shalat di ruang bawah. Kabarnya, setiap hari, jamaah shalat lima waktu selalu melimpah. Kala zhuhur dan ashar, sekitar 500-an jamaah yang ikut shalat. Yang spektakuler adalah saat shalat Jumat. Diperkirakan, jumlahnya mencapai sekitar 12.000 orang. Bahkan sering sampai meluber ke trotoar. Padahal, masjid ini sudah dibuat bertingkat empat, plus satu ruang bawah tanah. Ketika Syekh Sudais dari Arab Saudi datang ke tempat ini, yang shalat Jumat sampai meluber ke jalan raya, sehingga jalan raya harus ditutup.
Masjid ini tampaknya dikelola dengan profesional. Kami makan di salah satu restoran India yang menyewa tempat kepunyaan masjid. Kawasan ini memang dikenal sebagai salah satu basis Muslim ”IPB” (India, Pakistan, Bangladesh). Yang terbanyak adalah populasi asal Bangladesh. Kabarnya, yang sangat mengagumkan adalah semangat mereka dalam berinfak. Mereka bukanlah orang-orang kaya. Saya dengar, ada yang rela menyumbang untuk masjid ini dengan mengorbankan uang makan sehari-hari. Dalam bulan Ramadhan, infak semakin melimpah, mencapai puluhan milyar rupiah dalam sebulan. Karena itulah, masjid ini terus mengadakan perluasan. Bahkan sebagian areal milik Yahudi sudah dibeli oleh masjid ini. Saat berada di kawasan ini, memang seperti tidak berada di Inggris. Tidak terasa bahwa kaum muslim di seluruh Inggris hanya sekitar tiga persen jumlahnya. Entahlah, sebenarnya berapa data yang sebenarnya. Saya hanya memikirkan, mengapa di London ini banyak masjid yang jamaahnya sampai melimpah. Saya dengar banyak masjid mengadakan shalat Jumat sampai dua kali, karena tidak mampu menampung jamaah.
Hari Senin (19 April 2010), saya juga memanfaatkan waktu kosong untuk mengunjungi British Museum. Ini kabarnya museum terbesar di Inggris. British Museum mulai dibuka untuk umum tahun 1759. Museum ini memang sangat luar biasa besarnya. Benda-benda bersejarah yang dipamerkan juga banyak yang menarik. Bisa dikatakan, hampir semua peradaban di dunia, baik yang sudah mati maupun yang masih eksis, bisa dilihat koleksinya di museum ini. Selama lebih dari dua jam saya berkeliling di museum ini, hanya sempat menelusuri sejarah peninggalan zaman Babilonia, Asyria, Mesir kuno, Yunani, Romawi, dan Eropa zaman pertengahan dan zaman modern.
Salah satu objek yang menarik adalah sejumlah ”mummi” zaman Mesir kuno yang dikatakan umurnya sudah ribuan tahun. Yang membuat saya heran, panjang ukuran mummi itu terbilang pendek, hanya sekitar 160-an cm. Fakta ini semakin memperkuat ketidakbenaran teori evolusi Charles Darwin. Berbagai patung dan relief yang menggambarkan manusia-manusia di zaman Yunani kuno pun menunjukkan bahwa manusia dulu tetap sama persis dengan manusia sekarang.
Sejak kecil saya sudah diajarkan tentang teori evolusi bahwa manusia itu juga berevolusi. Katanya, manusia modern (Homo sapiens) hidup sekitar 50.000 tahun lalu.
Para pendukung teori evolusi mengatakan bahwa makhluk itu merupakan missing link (mata rantai yang hilang) dari ras manusia. Namun, akhir-akhir ini, kabarnya, keberadaan manusia purba juga sebenarnya diragukan. Mungkin karena pengaruh film-film tentang manusia dan hewan purba, maka bayangan tentang manusia purba itu benar-benar ada. Wallahu a’lam. Yang jelas, dengan melihat langsung patung dan lukisan manusia kuno zaman Yunani serta mummi dari Mesir tersebut, saya semakin paham bahwa manusia sebenarnya tetaplah manusia. Manusia modern sejatinya sama saja dengan manusia zaman dulu. Pada 12 Februari 2010 dua ilmuwan Amerika Serikat (AS), Prof. Jerry Alan Fodor dari Rutgers University dan Prof. Massimo Piattelli-Palmarini dari the University of Arizona, meluncurkan sebuah buku berjudul What Darwin Got Wrong, yang isinya mengkritik teori penyesuaian diri dan mutasi genetis secara acak ala Darwin yang menghasilkan sifat-sifat yang sesuai untuk bertahan hidup pada lingkungan tertentu.
Karena manusia tetap manusia yang memiliki fitrah tertentu, maka bisa dipahami jika ajaran Tauhid yang dibawa oleh para Nabi adalah bersifat universal untuk seluruh manusia. Sebagai kelanjutan ajaran semua Nabi, agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw juga diturunkan untuk semua manusia. Sebab Nabi Muhammad saw diutus untuk semua manusia, bukan hanya untuk orang Arab saja. Maka, jika wanita muslimah diperintahkan mengulurkan kerudungnya agar menutupi dadanya, perintah itu berlaku kepada semua wanita Muslimah, kapan pun, bangsa apa pun, dan di mana pun dia tinggal. Sebab, yang namanya perempuan, bangsa apa pun, dan kapan pun dia hidup, juga seperti itu. Banyak patung masa Yunani kuno yang berusia ribuan tahun, yang menunjukkan, ternyata wanita Yunani kuno itu juga sama saja dengan wanita zaman modern sekarang ini.
Karena itulah saya tidak sependapat dengan sebagian cendekiawan yang menganggap bahwa perintah mengenakan jilbab berlaku parsial, kondisional dan temporal. Ada tokoh yang berpendapat bahwa Al-Quran tidak memberikan batasan yang jelas tentang aurat wanita. Saya tidak sependapat dengan pendapat tersebut. Sebab, Islam bersifat universal, dan hukum Islam juga bersifat universal. Bukti-bukti yang ada di British Museum itu menunjukkan, bahwa manusia tetaplah manusia. Manusia bukan monyet, tidak berasal dari monyet, dan tidak akan menjadi monyet, kecuali yang memang dikutuk oleh Allah menjadi monyet.
Beberapa hari sebelumnya, Kamis (15 April 2010), saya juga sempat berkunjung ke kampus Charles Darwin, yaitu Edinburg University. Darwin mulai kuliah di kampus ini pada Oktober 1825. Darwin juga pernah mengajar di University College London (UCL), sehingga ada satu gedung di kampus itu yang kini diberi nama Darwin Building. Jadi, Charles Darwin memang cukup dihormati di Inggris. Padahal, teori Darwin tentang evolusi kini sudah banyak mendapat tantangan. Bahkan, menurut seorang warga Indonesia, di sekolah-sekolah di Inggris, selain teori evolusi, juga diajarkan teori yang mengkritiknya. Tahun 2009 lalu, di sebuah kota di Selatan Inggris, dibuat pameran besar-besaran untuk tentang teori evolusi. Sebab, mereka mulai terdesak. Kini, para pengkritik teori evolusi semakin banyak menemukan bukti-bukti baru yang menggugurkan teori Darwin tersebut.
Harun Yahya, misalnya, dalam bukunya, Atlas of Creation, memaparkan ratusan bukti penemuan fosil-fosil kuno hewan dan tumbuhan yang berumur jutaan tahun, dan ternyata sama persis dengan spesies sejenisnya. Kepada teman dari Indonesia yang bercerita tentang pameran teori Darwin di Inggris itu, saya katakan dengan bercanda bahwa, ”Sebenarnya, teori Darwin itu mungkin tidak salah; tapi itu hanya berlaku untuk dia saja. Mungkin hanya Darwin saja yang asalnya dari monyet. Manusia lain tidak.”
Secara keilmuan, sebenarnya teori evolusi Darwin memang tidak dapat dipastikan kebenarannya. Pada sisi lain, ada penjelasan tentang proses penciptaan manusia yang diberikan oleh Al-Quran. Karena teori Darwin itu sendiri masih bersifat dugaan – bukan fakta ilmiah – maka seyogyanya setiap muslim tidak dibingungkan oleh informasi yang diberikan oleh Darwin dan para pengikutnya. Saya ingat, saat masih belajar di SMA, saya sampaikan kritik kepada guru Biologi, tentang teori evolusi yang diajarkan dalam pelajaran Biologi. Saya tunjukkan buku yang mengkritik teori tersebut. Guru Biologi tersebut menjawab, bahwa ini masalah ilmu pengetahuan, bukan masalah agama. Tentu saja, jawaban itu sangat tidak memuaskan saya.
Di British Museum itu juga, saya sempat membeli sebuah buku berjudul The Bible in the British Museum, Interpreting the Evidence, karya T.C. Mitchell, (London: British Museum Press, 2008). Penulis buku ini menyeleksi 72 dokumen, terutama yang berasal dari Asia Barat, yang diproduksi sekitar 2.000 SM sampai 100 M. Kajian tentang teks Bibel termasuk hal yang lumayan ‘jlimet’. Buku ini menggambarkan, saat ini ada lebih dari 5.000 manuskrip Perjanjian Baru – baik berisi sebagian atau keseluruhan – yang sangat bervariasi. Disebutkan, “It was thus widely accepted by the end of nineteenth century that among the manuscripts of the New Testament there existed many variant readings, the result of scribal errors in transmission, and that it was reasonable to study these intensively to try to arrive at a text as near as possible to that original written.”
Satu hari sebelum kepulangan ke Indonesia, saya sempat membeli sebuah buku di London berjudul The Oxford Handbook of Biblical Studies (Oxford: Oxford University Press, 2006). Buku cukup tebal, lebih dari 900 halaman. Harganya lumayan, £ 27.5 (Sekitar Rp 370 ribu). Menyimak berbagai metodologi studi Bibel, sebagaimana dipaparkan dalam buku ini, saya melihat ada pengaruh terhadap metode studi Al-Quran yang menggunakan pendekatan konteks sejarah, sebagaimana misalnya, yang dipelopori oleh Barukh Spinoza, seorang pemikir Yahudi liberal. Teman saya, Adnin Armas, sudah pernah menerbitkan buku dengan judul Metodologi Studi Bibel dalam Studi Al-Quran. Insyaallah nanti buku semacam ini perlu ditulis lagi dengan lebih jelas, dengan memberikan perbedaan karakter teks dan metodologi penafsiran yang berbeda antara Bibel dan Al-Quran.
Saya memang cukup berminat atas kajian perbandingan antara teks Bibel dan Al-Quran, karena ini merupakan masalah yang sangat penting. Saya beberapa kali diundang untuk hadir dalam seminar di Perguruan Tinggi Islam, membahas tentang Tafsir dan hermeneutika, yang tentu saja, harus membahas tentang sifat dan hakekat teks Kitab Suci. Sejumlah buku telah terbit di Indonesia yang secara ceroboh menyetarakan kedudukan teks Bibel dengan teks Al-Quran. Salah satunya pernah kita bahas dalam CAP, yaitu buku yang berjudul Arah Baru Studi Ulum Al-Quran: Memburu Pesan Tuhan di Balik Fenomena Budaya (2008), karya seorang doktor lulusan UIN Yogya, yang secara terang-terangan menghujat Al-Quran.
Kajian perbandingan tentang teks Bibel dan Al-Quran sangat penting, agar seseorang tidak terjebak kepada penyamaan sifat dan kedudukan antara teks Bibel yang oleh kaum Kristen diakui sebagai ”teks sejarah dan teks manusia” dan Al-Quran yang oleh kaum Muslim diakui sebagai ”teks-Tuhan” (Kalamullah). Sayang, waktu terlalu sempit untuk melihat langsung koleksi manuskrip-manuskrip Bibel di British Museum tersebut.
Keluar dari British Museum, matahari bersinar sangat terang. Banyak sekali orang duduk-duduk di halaman museum, merasakan panasnya sinar matahari. Bagi saya, hal seperti itu sudah sangat biasa. Katanya, bagi orang Inggris, hal seperti itu termasuk barang langka. Suhu di London hari-hari itu cukup tinggi, sekitar 17-18 derajat Celcius, suhu yang cukup nyaman bagi kebanyakan orang Indonesia. Masih ada waktu menjelang sore, kami berjalan-jalan menuju kampus School of Oriental and African Studies yang terkenal dengan singkatan SOAS. Karena tidak dapat memasuki perpustakaannya, saya hanya masuk ke toko buku.
Ternyata, banyak buku yang harus dibeli juga. Salah satu yang saya beli sebuah buku karya Scott Siraj al-Haqq Kugle, berjudul Homosexuality in Islam: Critical Reflection on Gay, Lesbian, and Transgender Muslims, (Oxford: Oneworld Publications, 2010). Sebagaimana sejumlah pendapat yang menghalalkan praktik homoseksual di Indonesia, buku ini pun memberikan cara baru dalam penafsiran kisah Luth. Menurutnya, kisah Luth bukanlah berkaitan dengan masalah homoseksual. Menurut penulis, para ahli hukum Islam telah salah paham dalam soal ini. ”Jurists who have interpreted the story to be about homosexual act have missed the point,” tulisnya. Pada akhirnya, dia mendesak agar syariat Islam diubah agar sesuai dengan perkembangan zaman. Ia mengusulkan perlunya ada syariat yang selalu berkembang (evolving shariah), agar syariat Islam bisa menerima praktik homoseksual. Kata penulis lagi, “Just as building the shari’a was an historical process, the creation of fallible human minds, hands, and hearts, so the shari’a should be open to continual reform and re-creation. A renewed and evolving shari’a is politically necessary project.”
Inilah salah satu upaya yang keliru dalam mereformasi Islam. Penulis buku ini, sebagaimana banyak pemikir liberal lainnya, selalu berpikir tentang kewajiban agama untuk mengikuti perkembangan zaman. Ia tidak mengakui ada hukum syariat Islam yang tetap dan tidak berubah (tsawabit). Ia tidak mengakui ada hal-hal yang qath’iy dan telah menjadi Ijma’ kaum muslimin dalam banyak hal. Salah satu yang sudah terlalu jelas hukumnya dan tidak pernah ada khilafiah di antara para ulama, adalah keharaman praktik dan perkawinan homoseksual. Mungkin buku ini tidak lama lagi akan diterjemahkan dan diterbitkan di Indonesia.
Memang, jika sudah ada “penyakit dalam hati”, apa saja bisa dilakukan, termasuk mengakal-akali Al-Quran agar sesuai dengan zaman. Padahal, selama di Inggris, saya menyaksikan, banyak sekali kaum muslim yang tetap kokoh dalam keislamannya; tidak tergoda untuk ikut-ikutan minum wine atau ikut-ikutan pergaulan bebas. Saya menyaksikan sejumlah keluarga ilmuwan dan para profesional, yang mengaku “awam dalam agama”, tetapi aktif dalam kegiatan Masjid; aktif shalat berjamaah; istri dan anak-anaknya berjilbab. Bahkan, seoran dosen di salah satu universitas di Inggris mengaku heran, pernah menjumpai alumnus sebuah perguruan tinggi Islam di Indonesia yang berpikiran liberal dan memandang semua agama adalah sama-sama benar.
Banyak pelajaran yang dapat dipetik dalam perjalanan 22 hari di Inggris. Insya Allah, lengkapnya akan segera diterbitkan dalam sebuah buku. [hidayatullah.com]