Home Artikel Dunia Pendidikan dan Misi Kristen

Dunia Pendidikan dan Misi Kristen

1357
0

Untuk beberapa waktu (di sekitar Mei 2003), masalah RUU Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) menjadi perhatian besar masyarakat, karena 10 Juni 2003 merupakan tanggal yang direncanakan untuk mengesahkan RUU tersebut.  Berbagai media massa telah melakukan polling untuk menjaring pendapat masyarakat, meskipun terkadang polling itu seperti sengaja direkayasa untuk memojokkan posisi yang mendukung RUU Sisdiknas.

Yang juga berlangsung seru adalah diskusi melalui jaringan internet. Dari sejumlah email tentang RUU Sisdiknas yang saya terima, ada dua email yang menarik. Satu berjudul RUU Sisdiknas: Sebuah Tuntutan Kekanak-Kanakan, ditulis oleh Augustinus Simanjuntak, dan satunya lagi berjudul “RUU Sisdiknas, Bukti Umat Islam Tidak Dewasa!” ditulis oleh Malik Malaya. (Sayangnya, email yang dirilis oleh sebuah kelompok Dialog antar Agama itu tidak memberikan identitas penulisnya, hanya Malik Malaya mengaku Muslim).

Dalam tulisan pertama terdapat kalimat: “Uraian di atas sekedar gambaran betapa RUU Sisdiknas adalah sebuah tuntutan yang kekanak-kanakan dari sekelompok masyarakat yang menganggap lembaga-lembaga pendidikan Kristen (langsung saja tunjuk) tidak memberikan pendidikan agama yang sesuai dengan imannya bagi siswa atau mahasiswa non Kristen/Katolik selama ini.”

Sedangkan pada email yang kedua, terdapat ungkapan:  “Sungguh menggelikan ketika mendengar bahwa golongan nasrani yang menolak RUU itu dituduh ingin melakukan misi kristenisasi atau misi pemurtadan melalui kurikulum sekolah swasta kristennya. Lho, bukankah memang yang namanya sekolah kristen (berbasis agama kristen) meskipun bukan sekolah teologi sudah sewajarnya menentukan kurikulumnya sendiri, begitu pun dengan sekolah Islam? Lalu apa hak umat Islam mencampuri urusan internal mereka apalagi memaksakan perlunya kurikulum agama islam di sekolah kristen? Ini sama halnya seperti anda tidak mungkin memasang kaligrafi Allah di gereja sebagaimana mereka tidak bisa memasang salib di dalam mesjid.”
Kemelut tentang RUU Sisdiknas memang tidak syak lagi merupakan bagian dari persoalan hubungan antar-agama, khususnya Islam-Kristen di Indonesia. Yang diributkan besar-besaran sejak awalnya adalah soal pendidikan agama (pasal 12 ayat 1).

Kasus ini membuktikan, bahwa soal agama masih menjadi isu yang sangat sensitif di Indonesia.  Karena itu, untuk memahami fenomena kemelut RUU Sisdiknas,  tidak bisa tidak,  perlu meninjau perkembangan sejarah hubungan Islam-Kristen di Indonesia. Sejarah hubungan Islam-Kristen di Indonesia berakar saat datangnya penjajah Belanda dan Portugis. Sejarawan KM Panikkar mencatat: “Yang mendorong bangsa Portugal (untuk menjajah di Asia adalah) strategi besar melawan kekuatan politik Islam, melakukan Kristenisasi, dan keinginan untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah…. Islam adalah musuh dan harus diperangi di mana-mana.” (Bilver Singh, 1998).

Mengutip pengakuan Alb C. Kruyt (tokoh Nederlands bijbelgenootschap) dan OJH Graaf van Limburg Stirum, Aqib Suminto mencatat: “Bagaimanapun juga Islam harus dihadapi, karena semua yang menguntungkan Islam di Kepulauan ini akan merugikan kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Dalam hal ini diakui bahwa kristenisasi merupakan faktor penting dalam proses penjajahan dan zending Kristen merupakan rekan sepersekutuan bagi pemerintah kolonial, sehingga pemerintah akan membantu menghadapi setiap rintangan yang menghambat perluasan zending.” (Aqib Suminto, 1985).Menjelang kemerdekaan, umat Islam yang merasa memiliki andil besar dalam menentang penjajahan, mengajukan usul, agar negara Indonesia merdeka nantinya berdasarkan Islam.  Namun, usulan ini kandas, sehingga tercapai kompromi dalam Piagam Jakarta.  Pada 11 Juli 1945, menghadapi gugatan Latuharhary terhadap Piagam Jakarta, Soekarno menegaskan, bahwa Piagam Jakarta adalah “satu kompromis untuk menyudahi kesulitan antara kita bersama.”
Pada 18-8 1945, tokoh-tokoh Islam menerima kompromi, untuk meninggalkan kesepakatan yang oleh Soekarno dikatakan telah dicapai dengan “berkeringat-keringat”. Prof. Kasman Singodimejo menyebut kesepakatan itu sebagai “Gentlemen’s Agreement” bangsa Indonesia.

Ketika itulah sejarah mencatat, adanya ultimatum pihak Kristen, bahwa kaum Kristen Indonesia Timur menolak bergabung dengan Indonesia jika Piagam Jakarta tetap diberlakukan. Padahal, sampai dengan rapat terakhir BPUPKI tgl 16 Juli 1945, Soekarno masih menegaskan disepakatinya klausul: “Presiden Indonesia haruslah orang Indonesia asli yang beragama Islam.”  Dan pasal 28 tetap berbunyi: “Negara berdasar atas ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Terakhir, ketua BPUPKI yang merupakan aktivis Gerakan Teosofi, yaitu dr. Radjiman Widijodiningrat, menyimpulkan: “Jadi, rancangan ini sudah diterima semuanya… dengan suara bulat diterima Undang-undang Dasar ini.”

Dr. Mohammad Natsir menyebut peristitiwa 18 Agustus 1945 itu sebagai “Peristiwa ultimatum terhadap Republik Indonesia yang baru saja diproklamirkan”. Mengomentari ultimatum pihak Kristen pada tahun 1945 itu, Natsir menulis: “Utusan tersebut tidak untuk mengadakan diskusi tentang persoalannya. Hanya menyampaikan satu peringatan. Titik! Tak perlu bicara lagi. Terserah apakah pesan itu diterima atau tidak. Asal tahu apa konsekuensinya. Itu berupa ultimatum. Ultimatum, bukan saja terhadap warga negara yang beragama Islam di Indonesia. Tetapi pada hakekatnya terhadap Republik Indonesia sendiri yang baru berumur 24 jam itu. Hari 17 Agustus adalah Hari Proklamasi, hari raya kita. Hari raya 18 Agustus adalah hari ultimatum dari umat Kristen Indonesia bagian Timur. Kedua-dua peristiwa itu adalah peristiwa sejarah. Kalau yang pertama kita rayakan, yang kedua sekurang-kurangnya jangan dilupakan. Menyambut hari Proklamasi 17 Agustus kita ber-tahmied. Menyambut hari besoknya, 18 Agustus, kita ber-istighfar. Insyaallah umat Islam tidak akan lupa.”

Menurut Natsir, kaum Kristen sangat konsisten dalam menjalankan ultimatum 18 Agustus 1945. “Sungguhpun tujuh kata-kata itu sudah digugurkan. Tetapi mereka tidak puas begitu saja,” kata Natsir. Di bidang legislatif, kaum Kristen berusaha keras menggagalkan setiap usaha pengesahan Undang-undang yang diinginkan kaum Muslim untuk dapat lebih mentaati ajaran-ajaran agama mereka.

Di masa Orde Baru, ada upaya mencari “titik-temu” atau Gentlemen’s Agreement antara Islam-Kristen melalui Musyawarah antar-umat Beragama pada 30 November 1967. Namun, musyawarah itu gagal, karena pihak Kristen menolak sebuah klausul: “… dan tidak menjadikan umat yang beragama sebagai sasaran penyebaran agama masing-masing.”  Anak kalimat itu dianggap bertentangan dengan perintah Injil: “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada seluruh makhluk. Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum.” (Markus 16:15-16).    

Aturan-aturan pemerintah yang sudah ditetapkan sebagai dasar pijakan untuk menciptakan kerukunan kehidupan beragama di Indonesia juga ditolak. Tahun 1969, pemerintah mengeluarkan SKB No 1/ 1969, antara Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama, yang mengatur pembangunan rumah ibadah di Indonesia. Seorang tokoh Kristen, Prof. Dr. Sahetapy, menyatakan, SKB 1/1969 memasung kebebasan HAM, bertentangan dengan Pancasila, dan UUD 1945, karena itu harus ditolak karena batal demi hukum. Bahkan,  kata Sahetapy, SKB 1/1969 merupakan bentuk “penjajahan terselubung” yang bertentangan dengan makna “kemerdekaan” sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. (FKKI-FKKS, Beginikah Kemerdekaan Kita, 1997).  

“Ultimatum pihak Kristen”, seperti disebutkan Natsir, tetap berjalan saat diluncurkannya RUU No 2/1989 tentang Sisdiknas dan RUU No 7/1989tentang Sistem Peradilan Agama (RUU-PA). Berbagai ancaman diluncurkan, bahwa RUU itu hanya akan mengancam integrasi nasional.
Ketika itu, berbagai tuduhan ditujukan terhadap RUU-PA: bahwa RUUPA bertentangan dengan Pancasila, bertentangan dengan UUD ‘45, dan bertentangan dengan Wawasan Nusantara.

Juga, dituduhkan bahwa RUU-PA merupakan tahapan menuju negara Islam. Bahkan, ada yang menghubung-hubungkannya dengan usaha DI-TII, kegagalan Konstituante, atau ada hubungan dengan aspirasi kelompok ekstrim kanan. Seorang pastor menulis di majalah Katolik: “Tiada Toleransi untuk Piagam Jakarta”. Katanya kemudian, “Apakah kita semua ingin berbudaya dan beradat asing berselubung agama?”

Toh, ketika RUU PA disahkan menjadi UU PA, tidak terjadi hal-hal seperti yang dituduhkan. Siapa yang tidak toleran? Siapa yang tidak dewasa? Umat Islam melihat dan memiliki bukti-bukti kuat, bahwa sekolah-sekolah Kristen menjadi ujung tombak misi Kristenisasi. Dan itu bukan soal sepele. Tahun 1999, Yakoma PGI mengeluarkan satu buku berjudul Gereja dan Reformasi, yang menyebutkan, jumlah orang Kristen (Protestan) di Indonesia sudah lebih dari 20 persen. Dan itu adalah berkat dari “terjadinya pembaptisan-pembaptisan massal di berbagai tempat” (hal. 31-32).

Global Evangelization Movement Database, juga menyatakan, jumlah orang Kristen di Indonesia sudah lebih dari 40 juta. Secara internasional, jumlah umat Kristen setiap tahun meningkat 6,9 persen, sehingga sekarang jumlahnya sudah mencapai 2 milyar jiwa lebih. (Majalah Rohani Populer BAHANA, September 2002).

Mohammat Natsir mencatat soal Kristenisasi ini, “Hanya satu saja permintaan kami: Isyhaduu bi anna muslimuun. Saksikanlah dan akuilah bahwa kami ini adalah Muslimin. Yakni orang-orang yang sudah memeluk agama Islam. Orang-orang yang sudah mempunyai identitas-identitas Islam. Jangan identitas kami saudara-saudara ganggu, jangan kita ganggu-mengganggu dalam soal agama ini…Kami ummat Islam tidak apriori menganggap musuh terhadap orang-orang yang bukan Islam. Tetapi tegas pula Allah SWT melarang kami bersahabat dengan orang-orang yang menganggu agama kami, agama Islam. Malah kami akan dianggap zalim bila berbuat demikian (almumtahinah)…  kalaulah ada sesuatu harta yang kami cintai dari segala-galanya itu ialah agama dan keimanan kami. Itulah yang hendak kami wariskan kepada anak cucu dan keturunan kami. Jangan tuan-tuan coba pula memotong tali warisan ini.”

Sudah lama umat Islam merasakan kepedihan dalam bebagai hal. Tapi, ketika umat Islam meminta, berilah pendidikan agama kepada anak-anak Muslim sesuai dengan agamanya, lalu dituduh kekanak-kanakan, tidak dewasa, dan lain-lain. Ketika pihak lain memberikan ultimatum: tolak ini, tolak itu, kalau tidak kami keluar dari NKRI, itu dipandang sebagai sikap dewasa. Inikah yang namanya dewasa dalam berbangsa dan bernegara?

Umat Islam Indonesia telah lama menerima tampilnya orang-orang Kristen dalam elite pemerintahan –sesuatu yang masih mustahil di negara-negara Kristen Barat-. Tidak wajarkah, di negeri yang mayoritas Muslim, umat Islam meminta: agar setiap Muslim mendapatkan pelajaran agama Islam di sekolah? Apa imbauan seperti ini berlebihan dan kekanak-kanakan? Sungguh sulit dipahami! 

Leave a Reply