Home Artikel Akhlaq Tiang Da’wah (1)

Akhlaq Tiang Da’wah (1)

789
0

Oleh: Mohammad Natsir (Mantan Ketua Umum Masyumi)

“Aku hanya diutus untuk menyempurnakan keluhuran akhlaq” (HR Malik)

“Wahai Tuhan Kami. Dan bangkitlah diantara mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang menyampaikan kepada mereka kitab itu, dan hikmah, dan membersihkan mereka, karena sesungguhnya Engkaulah yang Gagah, Maha Bijaksana.” (Al Baqarah 129).

Sudah kita jelajahi bagaimana daya tarik lisanul hal dan uswah hasanah di bidang da’wah. Tarikan bahasanya ibarat tarikan magnet (besi berani) terhadap apa saja yang bersifat logam, yang bermutu tinggi atau yang tidak.

Sumber tenaga bagi daya tarik itu tidak lagi terletak pada ilmu, dan tidak pula pada hikmah. Ilmu dan hikmah hanya pembuka jalan. Sumber tenaganya sendiri terletak pada akhlaq pribadi dari pembawa da’wah sendiri.

Akhlaq dengan mempergunakan ta’rif yang lazim, ialah: yakni, sifat yang berurat berakar pada diri seseorang, yang terbit daripadanya amal perbuatan dengan mudah, tanpa dipikir-pikir dan ditimbang-timbang lagi, secara spontan kata orang sekarang.

Baik atau buruknya amal perbuatan yang terbit secara spontan itu tergantung pada baik atau buruknya akhlaq pribadi yang bersangkutan. Lisanul hal yang baik dan uswah hasanah yang menarik hanya bisa terbit dari akhlaq yang baik dan mulia, kahlaqul karimah. Begitu pula sebaliknya.

Adapun yang dibawakan seorang mubaligh adalah wahyu Ilahi dan Sunnah Rasul. Yakni barang yang hak dan murni, yang sebenarnya sudah mengandung daya dan kekuatan sendiri, ibarat singa yang bisa dilepaskan, sanggup mencari dan menaklukkan mangsanya sendiri.

Akan tetapi sebelum dia dapat dilepaskan, yakni sebelum isi dari da’wah itu dapat dihidangkan dan diperkenalkan secara mendalam, mata orang, pada taraf pertama lebih banyak tertuju kepada apa yang dapat dilihat dan didengar  dari hal ihwal dan sifat pribadi yang membawanya.

Penilaian orang terhadap akhlaq pribadi pembawa da’wah itu, sebagian besar mempengaruhi, malah bisa menentukan, apa akan terbukakah pintu bagi isi da’wah yang disampaikannya atau tidak.

Umpamanya bagi seorang kaisar Romawi, Heraclius, sesudah dia mendengar dari Abu Sufyan, yang dikala itu belum masuk Islam, malah diantara para pemimpin Quraisy yang paling gigih memusuhi Rasulullah saw bagaimana sifat-sifat Muhammad saw beserta pengikut-pengikutnya, sudah merasa cukup untuk mengambil kesimpulan:

“…Bila semua yang engkau terangkan itu benar, niscaya ia (Muhammad saw) akan menguasai bumi yang ada di bawah telapak kakiku ini. Aku sudah tahu bahwa seorang Nabi akan datang, tapi aku tidak sangka, bahwa dia akan dibangkitkan dari kalanganmu (bangsa Arab). Sekiranya aku sampai ke tempatnya, pasti akan kuperlukan menemuinya. Dan bila aku berhadapan dengan dia, akan kubasuh kedua telapak kakinya.”[1]

Yang diterangkan oleh Abu Sufyan kepada Heraclius, dalam menjawab satu rentetan pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan secara kategoris oleh Raja Romawi itu kepadanya, antara lain ialah bahwa:

Muhammad saw tampil sebagai Rasul dari kalangan kaumnya sendiri, tidak ada diantara nenek moyangnya yang menjadi raja, tidak ada sebelumnya diantara kaumnya yang menyampaikan ajaran-ajaran seperti yang dibawakan oleh Muhammad saw

Pengikut-pengikutnya pada umumnya terdiri dari orang-orang awam yang miskin

Tidak seorangpun dari pengikutnya yang murtad lantaran tumbuh benci kepada agama itu sesudah dimasukinya

Pengikutnya tidak berkurang, malah kian hari kian besar jumlahnya

Tidak pernah Muhammad saw kedapatan berdusta

Tidak pernah ia mengkhianati janji

Yang diajarkannya ialah supaya menyembah Allah semata-mata, dengan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun, melarang menyembah berhala, menyuruh menegakkan shalat, mengeluarkan zakat dan hidup bersih lahir dan batin.

Bagi seorang Heraclius yang berfikir secara kritis, pengetahuan tentang akhlaq pribadi Muhammad saw (serta hal ihwal para pengikutnya) yang diperoleh dari fihak lawannya sendiri, yang demikian itu baginya sudah cukup untuk sampai kepada kesimpulan seperti yang diucapkannya itu.

Dengan demikian pintu sudah terbuka, dan kebenaran sudah sampai, yakni diterima.

Adapun apakah pengakuan kepada kebenaran itu oleh seseorang, selanjutnya juga akan  menjelma menjadi hidayah bagi dirinya, yang menuntun amal perbuatan dan tindak tanduknya, seterusnya, ini tidak lagi terletak dalam kekuasaan pembawa da’wah. Ini terletak di luar “wilayah da’wah” seperti yang pernah kita kemukakan terdahulu.[2]

Hutang pembawa da’wah, sebagaimana juga pembawa risalah adalah menyampaikan sehingga sampai, dalam arti yang demikian itu. Dan hutangnya juga, sekurang-kurangnya menjauhkan diri dari sisi pribadinya sendiri segala sifat-sifat dan tingkah laku yang dapat merintangi sampainya kebenaran yang dibawakanya.

Soalnya bagi seorang mubaligh ialah bahwa satu kali dia melangkahkan kaki ke dalam gelanggang da’wah, maka semua mata dan telinga di sekitarnya tertuju kepada pribadinya, kepada tingkah lakunya, kepada sifat dan tabiatnya, ringkasnya kepada apa yang disebut “hidup pribadinya”.

Boleh dikatakan bahwa semenjak itu, dia sebenarnya tidak lagi mempunyai hidup pribadi dalam arti yang lazim dipakai untuk orang lain. Semenjak itu dia menjadi “milik masyarakat”, seorang “public person” dalam arti yang luas. Dia tidak bisa bersikap, turut saja perkataanku, jangan pedulikan bagaimana aku dan apa yang aku lakukan si samping itu! Tidak! Andaikata ada sesuatu fungsi lain dimana yang bersangkutan bisa bersikap begitu, kedudukan sebagai seorang pendukung da’wah tidak mengizinkan berpendirian demikian.

Mau tak mau gerak gerik dalam hidup pribadinya bukan saja diperhatikan, tetapi juga langsung dijadikan orang bahan perbandingan dengan apa yang dianjurkannya dan yang dilarangnya sebagai mubaligh.

Apa yang dilihat dan didengar orang dari hidup pribadinya itu bisa menambah kekuatan daya panggilnya sebagai pembawa da’wah tapi bisa pula melumpuhkan daya panggilnya, yakni bila lain yang tampak dari yang terdengar.

Begitu pembawaan dari tugasnya.

Da’wah dan akhlaqul karimah adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan antara satu sama lain, kalau da’wah hendak berhasil. Banyak hal-hal yang sulit yang tak dapat diatasi dengan semata-mata ilmu yang kering, dapat diatasi dengan akhlaq. Sebaliknya banyak kesulitan baru yang bisa timbul bila da’wah tidak didukung oleh akhlaq.

Salah satu contoh:

Suatu hal yang karakteristik (bersifat khusus) dari pekerjaan seorang mubaligh ialah bahwa ia melakukan tugasnya dalam rangka dan suasana kemerdekaan berfikir, yang diakui dan ditegaskan oleh Risalah sendiri, sebagaimana telah dikemukakan dalam bab Fiqhud Da’wah yang terdahulu.

Seorang mubaligh yang menerima kemerdekaan berfikir dan mengatakan pendapat sebagai salah satu hak asasi, dan salah satu qaidah agama, tidak usah merasa kecil hati atau hilang kesabaran, apabila dalam melakukan tugasnya ia melihat ada berbagai perbedaan pendapat di kalangan umat Islam sendiri tentang masalah agama. Yakni berupa perbedaan –perbedaan pendapat yang disebut ikhtilaf. Baik di bidang hukum fiqh ataupun dalam soal-soal yang sudah menyinggung bidang aqidah, ada yang ringan dan ada yang berat.

Sudah tentu sebagai seorang mubaligh, ia tidak bisa menghindarkan diri daripada menentukan posisinya di tengah-tengah persimpangsiuran faham dan pendapat itu. Ia seorang tempat bertanya. Dia dilarang kitman, menyembunyikan kebenaran yang dia sudah ketahui.

“Dan janganlah kamu samarkan yang benar dengan yang salah, dan (Janganlah) kamu sembunyikan kebenaran padahal engkau ketahui.” (Al Baqarah 42).

Tidak ada gunanya dia bersikap pura-pura tak tahu, dia meniru-niru siasat burung unta yang terkenal itu: yakni menyurukkan kepalanya dalam pasir, supaya jangan kelihatan bahaya datang.

Tidaklah selaras pula dengan tugasnya, bila ia mencoba-coba menutup rapat semua jalan bagi perbedaan faham itu sama sekali dengan alasan supaya semuanya hidup rukun, damai dan tenang.

Air yang dibiarkan tergenang dalam tebat atau balong terus menerus, tidak dialirkan, tidak ditambah, tidak dikurangi, tentu saja tenang. Tenang tapi tidak ada yang bisa hidup di dalamnya, kecuali benih dari segala macam penyakit.

Bukan “ketenangan” yang semacam itu yang dikehendaki Risalah Muhammad saw. Risalah menghendaki pembersihan, menghendaki perkembangan…

Untuk ini, Risalah mewajibkan tafakkur, tadabbur, tafaqquh fid din, tafaqquh fiddunya al mutathawwirah, membukakan pintu ijtihad atas garis-garis yang tertentu, dan dengan perlengkapan alat-alat yang diperlukan untuk itu. Terkenal antara lain dalam rangka ini percakapan Rasulullah saw dengan Muadz bin Jabal, di waktu Muadz akan berangkat untuk memimpin pemerintahan daerah Yaman :…*  (Dikutip dari buku Mohammad Natsir, Fiqhud Da’wah, Yayasan Capita Selecta dan Media Da’wah, 2008).n.


[1] Shuwarun min Hayatir Rasul, Amien Dwaidar. Andaikata Heraclius sampai bertemu dengan Rasulullah saw, tentulah dia tidak akan dibiarkan memberi penghormatan semacam itu, satu perhormatan antara sesama manusia, yang walau bagaimanapun tidak dibenarkan oleh Islam.

[2] Sebagaimana diketahui, di waktu melihat bahwa para pembesar Romawi di kalangan istana menentang sikapnya itu, Heraclius khawatir akan kehilangan kekuasaannya lalu dia mundur. Tapi surat Rasulullah saw disimpannya baik-baik, tidak dirobeknya, sebagaimana dituntut oleh pembesar-pembesar istananya. Haus kepada kekuasaan duniawi juga menabirnya dari kebenaran yang sudah tampak olehnya, sebagaimana juga ketakutan dan ejekan dan cemooh orang telah menghambat Abu Thalib paman Rasulullah, untuk menerima seruan Muhammad saw. Meskipun demikian kekuasaan Heraclius tidak urung berkurang jua justru lantaran sikap yang maju mundur itu. Kaisar Najasyi yang sudah masuk Islam dengan yakin melepaskan diri dari kekuasannya, dan menghentikan pembayaran upeti kepada kerajaan Romawi. Tatkala Heraclius ditanya kenapa dia tidak bertindak terhadap Kaisar Najasyi, dia menjawab: “Seseorang menghajatkan agama, lalu dia pilih mana yang cocok. Demi Allah kalaulah tidak hendak tetap memegang kerajaanku, pasti aku akan berbuat seperti yang dilakukan oleh Najasyi.” (Zaadul Maad III). Dalam pada itu apa yang diamalkan oleh Heraclius menjadi kenyataan juga. Islam berkembang juga sampai ke bumi yang pernah berada di bawah telapak kakinya itu (Syam), dan lebih luas lagi dari itu.

Leave a Reply