Home Berita 50 tahun Mencari Ilmu dan Bahagia

50 tahun Mencari Ilmu dan Bahagia

1999
0

50 tahun Perjalanan Mencari Ilmu dan Bahagia itulah tema yang diangkat dalam acara Tasyakuran dan Launching buku Dr Adian Husaini, acara yang diadakan di kampus Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor, Sabtu kemarin (26/12) menjadi berbeda karena selain dihadiri oleh para tokoh juga teman – teman lama serta keluarga Adian Husaini.

Dalam sambutannya Prof Dr Didin Hafidhuddin menyampaikan mari “Kita doakan semoga umur Sr Adian Husaini sampai 100 tahun,” Prof Didin kemudian mengutip hadits Nabi bahwa sebaik-baik manusia adalah yang memberi kemanfaatan pada orang lain.

Ia melanjutkan bahwa Pasca Sarjana UIKA memberi apresiasi dakwah bil qalam (dakwah dengan tulisan). “Dakwah kalam cepat habis. Dakwah bil qalam dakwah yang panjang,”terangnya. Imam Syafii umurnya hanya 54 tahun, tapi karena banyak karya tulisnya dan punya murid yang pinter-pinter dikenang dan menjadi teladan sampai sekarang. Begitu juga Imam Maliki, Hanafi dan Hambali

“Pak adian di samping ceramah-ceramah juga menulis. Ia adalah santri angkatan kedua di pesantren Ulil Albab,”terang kiyai Didin. Pesantren Ulil Albab adalah pesantren kampus di lingkungan UIKA yang didirikan oleh tokoh-tokoh Islam Mohammad Natsir, KH Sholeh Iskandar dan lain-lain pada 5 Juli 1987. Ketika Ulil Albab berdiri, mayoritas santrinya adalah mahasiswa-mahasiswa Insitut Pertanian Bogor.

KH Sholeh Iskandar tahun 80-an saat itu melihat bahwa banyak mahasiswa-mahasiswa fakultas umum saat itu punya keinginan kuat untuk belajar Islam. Sehingga didirikan Pesantren Ulil Albab, yang merupakan pesantren mahasiswa pertama di Indonesia.

Dalam acara muhasabah 50 tahun itu, Dr Adian Husaini juga meluncurkan lima bukunya, yaitu: 10 Kuliah Agama Islam, Liberalisasi Islam di Indonesia, Kerukunan Beragama dan Kontroversi Penggunaan Kata ‘Allah’ dalam Agama Kristen, 50 Tahun Perjalanan Meraih Ilmu dan Bahagia, serta Mewujudkan Indonesia Adil dan Beradab.

Khusus buku terakhirnya yaitu Mewujudkan Indonesia Adil dan Beradab, cendekiawan Islam ini akan mengadakan roadshow untuk bedah bukunya. “Tanggal 13 Januari ini akan diadakan bedah buku di Surabaya dan Gus Sholah (KH Sholahudin Wahid) sebagai pembahasnya. Dan setelah itu di Bali. Juga nanti di Jakarta,”terang Adian.

Doktor bidang Peradaban Islam lulusan ISTAC-IIUM Malaysia itu berharap pandangan yang ia tuangkan dalam bukunya bisa menjadi rujukan dalam penyelesaian persoalan umat yang kini mengemuka. “Karya-karya ini diharapkan bisa menjadi sumbangan dalam pendidikan agama karena tantangan umat ke depan akan jauh lebih berat,” ungkap Adian

Dalam bukunya 50 Tahun Perjalanan Meraih Ilmu dan Bahagia, Adian menjelaskan perjalanannya mencari ilmu mulai dari keluarga, semasa remaja di pesantren, kuliah di IPB hingga kuliah di Istac Malaysia. Semasa sekolah di SMA ia merasakan kehidupan pesantren yang kumuh dan airnya kotor. “Kadang minum air mentah dan sampai kena penyakit kudisan. Tapi ibu saya berpesan semakin menderita nanti semakin berhasil,”terangnya mengingat nasihat ibunya.

Dalam perjalanan mencari ilmu keislaman Adian tidak bisa melupakan jasa KH Didin Hafidhuddin, Ustadz Abdurrahman al Baghdadi, Ustadz Abbas Aula, Ustadz Musthafa Abdullah bin Nuh, Ustadz Abdul Hanan, Ustadz Hardi M Arifin, KH Sholeh Iskandar dan lain-lain. Sedangkan guru-guru politik Islamnya yang ia tidak lupakan adalah Hussein Umar, Cholil Badawi, Ahmad Soemargono, Hartono Mardjono dan KH Cholil Ridwan.

Dalam buku itu ia juga menjelaskan tentang mengapa ia masih berharap pada partai-partai Islam saat ini (PBB, PKS dan PPP) dan mengapa ia keluar dari Hizbut Tahrir. Ia juga menjelaskan tentang masalah khilafah, strategi perjuangan umat Islam di Indonesia, strategi Islamisasi di Kampus dan lain-lain.

Salah satu kerisauannya adalah pengajaran sejarah di Indonesia. Dalam bukunya Adian menyatakan: “Itu masalah keprihatinan yang sudah disampaikan banyak ulama dan cendekiawan Muslim di Indonesia dan di alam Melayu. Sebagai contoh Buya Hamka dalam tafsir Al Azhar, yang ditulis tahun 60-an, sudah mengritik keras pengajaran sejarah Indonesia yang lebih meuja Gajah Mada ketimbang Raden Patah. Akibatnya orang Muslim bahkan tidak mengenal siapa itu Raden Patah, apa jasanya bagi umat Islam, dan tentu saja bangsa ini. Pak Natsir dalam berbagai tulisannya sudah banyak mengingatkan tentang dampak buruknya pengajaran sejarah yang mengecilkan arti penting perjuangan Islam di Indonesia. Beliau sebut secara khusus salah satu tantangan besar umat Islam Indonesia adalah faham Nativisme. Yakni paham yang memuja dan membesar-besarkan zaman pra Islam, sehingga Islam dianggap tidak punya andil sejarah yang penting dalam perkembangan bangsa Indonesia.”

Di ujung tulisannya dalam buku 50 Tahun Perjalanan Meraih Ilmu dan Bahagia, Adian menjelaskan: “Ujung perjalanan hidup sudah jelas: dipanggil oleh Sang Pencipta. Cepat atau lambat itu pasti terjadi. Saya sangat berharap dan berusaha terus berjuang agar maqam sa’adah yang sejati itu bisa saya raih semasa di dunia, sehingga ibadah dan perjumpaan dengan Allah menjadi kerinduan, terbebas dari belenggu syahwat hubbud dunya. Kata Nabi saw al mujahidu man jahada nafsahu, terus menjadi penyemangat.”*NH

Leave a Reply