Home Berita Tarhib Ramadhan 1438 H bersama INSISTS

Tarhib Ramadhan 1438 H bersama INSISTS

1030
0

Dalam menyambut bulan suci Ramadhan, INSISTS menyelenggarakan tarhib bertema Kebersihan Hati untuk Kemenangan Umat, dengan pembicara Al-Ustadz Fahmi Salim, M.A. Tarhib berlangsung di INSISTS Hall, Kamis (25/5) lalu. Ustadz Fahmi adalah da’i nasional yang menerbitkan beberapa karya ilmiah, seperti Kritik Terhadap Studi Al-Qur’an Kaum Liberal yang diangkat dari tesis master-nya di Universitas Al-Azhar, Mesir.

Materi dimulai dengan penjabaran makna puasa dalam tafsir. Berpuasa selama bulan ramadhan, selain agar umat Islam bertakwa, adalah wujud syukur atas turunnya Al-Qur’an. Syaikh Rasyid Ridha dalam Tafsir Al-Manar menyampaikan hal itu saat membahas Surat Al-Baqarah ayat 185. Ketakwaan hanya bisa diterangkan oleh Al-Qur’an, karena Al-Qur’an adalah petunjuk bagi orang bertakwa.

Mengapa cara mensyukurinya dengan berpuasa, bukan shalat, sujud syukur, atau bersedekah? “Menurut Syeikh Mahmoud Syaltout, baik puasa maupun Al-Qur’an memiliki fungsi yang sama, yakni meningkatkan kualitas kita dari kualitas binatang ke derajat yang tinggi. Keduanya menyucikan hati dan meningkatkan kualitas ruhiyah kita.” Kata Ustadz Fahmi.

Keutamaan itu bahkan membuat puasa Ramadhan dapat memberi syafaat kepada seorang hamba yang berpuasa dan membaca Al-Qur’an.

Sesuai dengan tema tarhib, kebersihan hati adalah salah satu capaian utama bagi orang-orang yang berpuasa. Jiwa akan menjadi bahagia jika tunduk kepada Allah, terlebih jika ia mendapatkan makanan yang sangat menyehatkan, yakni ilmu. Kekurangan ilmu atau bahkan penyakit ilmu adalah muara dari penyakit hati, politik, sosial, ekonomi, dan budaya umat Islam. Ilmu manusia rusak karena ilmuwan yang tidak bertauhid. Solusinya adalah Al-Qur’an sebab Al-Qur’an adalah cahaya. Secara epistemologis, Al-Qur’an menjadi penerang dan petunjuk kebenaran bagi segala disiplin ilmu.

Selain kerusakan ilmu, hal yang harus dibenahi terkait dengan persoalan hati adalah penyakit wahn. Rasa mencintai dunia dan takut pada kematian ini adalah pangkal dari kerusakan ilmu dan penyebab kerusakan peradaban. Ustadz Fahmi kemudian menunjukkan peristiwa-peristiwa sejarah sebagai contohnya.

Di Jerusalem, 1099 M, kerajaan Islam masih memiliki posisi kuat, secara militer juga masih kuat, tetapi mudah dikalahkan oleh pihak luar. Baghdad jatuh 1258 M oleh tentara Mongol yang nomaden. Andalusia jatuh 1492 M. Meski tentara dan ekonomi masih kuat, sebagian besar orang sudah mencintai dunia. Persatuan yang dibangun bukan lagi berdasarkan Islam, melainkan sekedar semangat otoritas wilayah. Konflik di antara umat Islam juga terjadi.

Dalam keadaan seperti itulah, Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali menulis kitab Ihya Ulumuddin. Dalam Ihya, terdapat banyak bab asrar (rahasia-rahasia) sebagai penggabungan fiqh dan tasawuf. Upaya pendidikan jiwa oleh Imam Al-Ghazali kemudian dilanjutkan oleh seorang ulama Hanabilah, Syeikh Abdul Qadir Al-Jilani, yang mengembangkan banyak madrasah yang berfokus pada pendidikan jiwa, dan berbuah lahirnya satu generasi baru yang memiliki kesiapan batin dalam memperjuangkan Islam. Generasi tersebut dipimpin oleh Shalahuddin Al-Ayyubi, yang berhasil memenangkan Jerusalem dan Masjid Al-Aqsha di dalamnya dari tentara Salib.

Peristiwa sejarah di atas dapat dijadikan hikmah bagi perjuangan umat Islam saat ini.

Setelah penyampaian materi dan shalat maghrib, acara berlanjut dengan ramah-tamah antara peserta, Ustadz Fahmi, dan Direktur Eksekutif INSISTS Dr. Syamsuddin Arif. Dalam ramah-tamah tersebut para peserta dipersilakan bertanya atau mendiskusikan apa saja. Acara berlangsung sampai pukul 20:00 WIB, ditutup dengan makan malam dan shalat Isya berjama’ah.

Leave a Reply