Malaysia merdeka sebagai sebuah negara yang menjadikan Islam a la Ahlu Sunnah wal-Jamaah sebagai agama resmi negara. Dengan itu, negara berkepentingan memelihara dan melindungi agama Islam dari segala sesuatu yang berpotensi mengancam kesuciannya. Hal ini kemudian dituangkan dalam berbagai kebijakan dan perundangan resmi negara.
Terkait masalah Syi’ah, awalnya, pemerintah Malaysia tampak kurang memberikan perhatian. Mungkin, karena jumlah dan aktivitasnya yang tidak begitu n mengusik ketenteraman kaum Muslim pada umumnya. Namun dari catatan Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM) — lembaga resmi yang bertanggung jawab terhadap kemajuan Islam di Malaysia — Syi’ah telah mengalami perkembangan cukup signifikan. Menurut catatan ini, paling tidak di Malaysia terdapat tiga kelompok Syi’ah yang berkembang semenjak beberapa tahun yang lalu:
(1) Syi’ah Taiyibi Bohra. Kelompok ini berasal dari India dan dikenal di Malaysia dengan golongan yang memiliki Kedai Bombay. Kelompok yang berpusat di Lembah Kelang ini mempunyai tanah pekuburan dan masjidnya sendiri dan pengikutnya diperkirakan 200-400-an orang.
(2) Syi’ah Isma’iliyah Agha Khan. Kelompok yang dikenal dengan nama Kedai Peerbhai ini bergerak di sekitar Lembah Kelang juga. Jumlah pengikutnya tidak diketahui dengan pasti, tetapi bilangannya lebih kecil dari kelompok Bohra.
(3) Syi’ah Ja’fariyah atau Imamiyah Itsna Asyariyah (Imam Dua Belas). Kelompok ini dipercayai mulai bertapak di Malaysia selepas Revolusi Iran tahun 1979. Pengaruh ajaran kelompok ini menular ke berbagai pelosok negara melalui bahan-bahan bacaan dan perorangan, baik yang berkunjung ke Iran atau yang datang dari Iran. Faham ini, kabarnya, semakin berkembang sejalan dengan semakin banyaknya mahasiswa asal Iran yang belajar di Malaysia.
Karena dinilai bertentangan dengan ajaran Ahlu Sunnah wal-Jamaah, pemerintah Malaysia menetapkan serangkaian kebijakan. Diantaranya, Enakmen Pentadbiran Perundangan Islam Negeri Selangor 1989, berkenaan warta pengharaman Syi’ah. Seksyen 31(1) dan Seksyen 32 Enakmen ini menyatakan: “Mana-mana orang Islam adalah dilarang berpegang kepada ajaran-ajaran dan fahaman tersebut (Syi’ah), kerana ia bertentangan dengan pegangan AhliSunnah Wal Jamaah. Larangan ini meliputi: untuk mengajar, mengamalkan berpegang kepada atau menyebarkan ajaran-ajaran atau fahaman-fahaman yang terkandung di dalam ajaran dan fahaman Syi’ah kecuali untuk amalan individu itu sendiri.”
Ketetapan Negeri Selangor itu kemudian disusul dengan warta pengharaman Syi’ah, Seksyen 34 – Akta Pentadbiran Undang-Undang Islam (Wilayah – Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur), 1993, yang menetapkan bahwa: “Semua umat Islam warga Negara ini (Malaysia) adalah tertakluk kepada undang-undang Islam dan Hukum syarak yang berasaskan pegangan kepada ajaran AhliSunnahWal-Jama’ah sahaja.
Setelah itu, masih disusul lagi dengan Keputusan Jawatan Kuasa (Komite) Fatwa Kebangsaan (Malaysia) pada tahun 1996, tentang pengharaman ajaran-ajaran selain Ahlu Sunnah wal-Jama’ah. Tapi, serangkaian peraturan resmi negara tersebut tidak membuat kaum Syiah di Malaysia menghentikan penyebaran ajarannya. Apalagi, berbagai iklim kebebasan yang dipicu perkembangan politik global, seringkali memaksa Negara-negara Muslim untuk memberikan kebebasan terhadap aliran dan paham apa pun. (lihat: Angel M. Rabasa, U.S. Strategy in the Muslim WorldAfter 9/11(California: RAND, 2004).
Di Malaysia, kaum Syi’ah juga memanfaatkan iklim kebebasan itu untuk menyuarakan dan menyebarkan ajaran-ajaran mereka. Itu bisa dilihat dalam sejumlah penerbitan Syiah di Malaysia, seperti: (i)Meniti Titian Kebenaran (Menyingkap Kebenaran Ilahi); (ii) Inilah Khulafa Ar-Rasyidin; (iii)Akhirnya Ku Temui Kebenaran; (iv) Dialog Mengenai Islam dan Akidah Islam yang Sebenar; dan lain-lain.
Itu juga terlihat dari aktivitas-aktivitas keagamaan kaum Syi’ah, termasuk prosesi Asyura yang cukup menonjol, sehingga pada 2011 yang lalu JAIS (Jabatan Agama Islam Selangor) bersama dengan aparat keamanan PDRM (Polisi Di Raja Malaysia) menggerebek sebuah markaz Syi’ah di Taman Sri Gombak, Selangor, dan menahan semua anggota kelompok ini yang sedang memperingati sebuah hari penting bagi kaum Syiah.
Kasus ini akhirnya berkembang menjadi issu yang cukup serius, sampai Parlemen Malaysia akhirnya pada 9 Maret 2011 memanggil pejabat-pejabat tinggi negara yang terkait, seperti Perdana Menteri, Wakil Perdana Menteri, dan Menteri di Jabatan Perdana Menteri untuk memberikan keterangan. Dalam penjelasannya, Menteri di Jabatan Perdana Menteri, Dato’ Seri Jamil Khir, menyatakan, bahwa tindakan pemerintah terhadap Syiah mengacu pada keputusan Jawatan Kuasa Fatwa Kebangsaan pada 1996 dan undang-undang pengharaman Syiah sebelumnya.
Akhirnya Parlemen Malaysia menyetujui keputusan: (1) Menetapkan bahwa umat Islam di Malaysia hendaklah hanya mengikut ajaran Islam yang berasaskan pegangan Ahlu Sunnah wal- Jamaah dari segi akidah, syariah dan akhlak. (2) Bahwa ajaran Islam yang lain dari pada pegangan Ahlu Sunnah wal-Jamaah adalah bertentangan dengan Hukum Syara’ dan Undang-Undang Islam. Dengan demikian, penyebaran ajaran yang lain dari pada pegangan Ahli Sunnah wal-Jamaah adalah dilarang.
Itulah keputusan Malaysia. Wallahu a’lam bil-shawab.