Home Artikel Setelah Kita Puasa

Setelah Kita Puasa

767
0
Saat bertemu dengan sesama Muslim, di Hari Raya Idul Fithri kita disunnahkan mengucapkan “Taqabbalallaahu minnaa waminkum. Ja’alanallaahu wa-iyyaakum minal’aaidin wal-faaiziin.” (Semoga Allah menerima amalan kami dan amalan anda. Dan Allah menjadikan kita semua termasuk orang-orang yang kembali dan orang-orang yang beruntung dan meraih kemenangan).

Tentu, setelah menunaikan segenap ibadah di bulan Ramadhan, kita berharap benar-benar “kembali kepada kebenaran”, dan kita termasuk golongan yang beruntung. Selepas Ramadhan, semoga kita bisa memiliki sifat-sifat dari kaum yang dijanjikan Allah tersebut: yaitu mencintai Allah, mengasihi sesama mukmin, memiliki sikap ‘izzah terhadap orang kafir, selalu berjihad di jalan Allah dan tidak takut dengan celaan orang-orang yang suka mencela. (QS 5:54).

Setelah kita berjihad melawan hawa nafsu selama Ramadhan, kita berharap, meningkatlah derajat taqwa kita. Secara pribadi, ketaqwaan ditunjukkan dengan sikap meningkatnya semangat kita dalam ibadah. Misalnya, kita makin bergiat dalam aktivitas thalabul ilmi, meningkatkan keilmuan kita, sehingga makin memahami ayat-ayat Allah Subhanahu Wata’ala dan semakin meningkat pula kecintaan untuk beribadah kepada Allah Subhanahu Wata’ala.

Salah satu indikator orang taqwa adalah keyakinan yang mendalam terhadap kehidupan akhirat (wabil-aakhirati hum yuuqinuun). Orang yang taqwa pasti yakin bahwa hidup di dunia ini hanya sebentar saja. Akhirat adalah kehidupan yang sebenarnya. Karena itu, orang yang taqwa pastilah orang yang bahagia hidupnya, sebab ia tidak akan bersedih yang berlebihan saat tertimpa musibah atau bersenang-senang di dunia sehingga lupa diri gara-gara mendapatkan satu kenikmatan duniawi.

Imam al-Ghazali, dalam kitabnya, Kimmiyatus-Sa’adah (Kimia Kebahagiaan) mensyaratkan perlunya setiap orang mengenal betul siapa dirinya dan siapa Tuhannya. Bukan sekedar pengenalan fisik, tetapi mengenal siapa dia sebenarnya, dari mana asalnya, untuk apa dia hidup di dunia, dan mau kemana setelah hidup ini. Pengenalan secara mendalam akan hal ini akan membawa seseorang pada keyakinan dan prinsip serta sikap hidup yang bahagia; tidak mudah resah dengan apa yang terjadi di dunia.
Dunia ini hanya sementara. Manusia mengalami keresahan karena dua hal saja. Resah karena apa yang sudah terjadi, dan kedua, resah karena apa yang kemungkinan akan terjadi, yang dibayangkannya akan menyusahkan dirinya. Karena itulah, kita disuruh banyak-banyak berzikir kepada Allah, jika kita ingin memiliki hidup yang tenang, hidup yang bahagia. Yang lalu, dan sudah terjadi, pastilah terjadi karena izin Allah. Yang belum terjadi, masih belum tentu terjadi. Jika itu terjadi, pasti atas izin Allah jua. Jadi, untuk apa dibuat susah secara berkepanjangan?

Ada seorang aktivis dakwah yang mengaku resah karena tujuan dakwahnya belum tercapai. Kata dia, sebelum daulah Islam berdiri, dia tidak mungkin menerapkan Islam secara sempurna (kaffah). Padahal, Allah Subhanahu Wata’ala memerintahkan setiap Muslim untuk masuk Islam secara kaffah. Karena itulah, mewujudkan suatu negara Islam adalah sebuah kewajiban utama setiap Muslim. Berdosalah, katanya, orang-orang yang tidak terlibat dalam usaha untuk mendirikan daulah Islam, atau khilafah Islamiyah.

Tentu saja para ulama dan cendekiawan Islam memandang penting keberadaan sebuah negara Islam, sistem dan para pemimpinnya menerapkan ajaran Islam secara maksimal.

Dalam kitab-kitab fikih banyak dijelaskan hukum-hukum tertentu yang hanya boleh dijalankan oleh negara, seperti hukum potong tangan untuk pencuri, hukum rajam untuk pezina, dan hukum-hukum hudud lainnya. Jika hukum-hukum Islam itu dijalankan secara anarkis oleh tiap-tiap individu atau kelompok tentu akan menimbulkan kekacauan di tengah masyarakat. Karena itulah, keberadaan sebuah negara yang mengatur pelaksanaan hukum-hukum Islam memang menjadi sebuah keharusan.

Pentingnya sebuah negara juga disadari oleh banyak agama dan juga ideologi-ideologi sekuler seperti kapitalisme atau komunisme.  Peran negara sangat penting untuk menunjang perkembangan suatu agama atau ideologi. Perkembangan agama Kristen tidak bisa dilepaskan dari peran Kaisar Romawi Konstantin dan Kaisar Theodosius. Sulit membayangkan, bagaimana nasib Kapitalisme jika negara AS runtuh dan berantakan.

Ada yang menyebut agama dan negara ibarat dua sisi mata uang.  Pentingnya peran negara juga bisa dilihat dari antusiasnya sejumlah aktivis  dakwah atau kaum minisionaris Kristen yang mengikuti proses pemilihan kepala negara atau kepala daerah. Di AS, kaum Kristen fundamentalis Kristen menitipkan suaranya pada calon-calon Presiden tertentu, meskipun mereka mengecam praktik-praktik kenegaraan yang sekuler. Di Indonesia pun fenomena semacam ini lazim terjadi.

Akan tetapi, umat Islam diajarkan bersikap adil terjadap negara. Jangan menempatkan peran negara di atas peran aqidah. Tidak boleh menempatkan peran negara secara berlebihan, sehingga, seolah-olah Islam sudah tidak ada lagi, setelah tidak ada negara Islam. Yang diwajibkan oleh Allah SWT adalah tiap-tiap Muslim berusaha menjadi orang yang bertaqwa secara maksimal; berusaha sekuat tenaga menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.

Orang Muslim bisa menjadi taqwa, di mana saja dan kapan saja; baik ia hidup di dalam sebuah negara yang menerapkan sistem Islam atau tidak. Orang Muslim di Indonesia bisa menjadi orang taqwa, baik di saat hidup di bawah pemerintahan penjajah Belanda yang kafir atau di bawah Kerajaan Demak. Orang Muslim di Jakarta, InsyaAllah bisa menjadi taqwa, apakah yang memimpin Jakarta adalah Foke-Nara atau Jokowi-Ahok. Akan tetapi, tentu saja, jika pemimpinnya Muslim dan taqwa, mereka akan mendorong rakyatnya untuk menjadi taqwa. Jika pemimpin zalim dan kafir, tidak mungkin mereka akan menuntun rakyat ke arah jalan taqwa. Ironis sekali, dalam banyak acara Pilkadal (pilihan kepada daerah langsung) isu iman dan taqwa ini tidak dipentingkan. Hanya soal perut (ekonomi) yang ditonjolkan.

Jadi, yang akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah di akhirat nanti adalah masalah iman dan amal ibadah seseorang; bukan soal dia ikut jamaah apa dan berapa besar kelompoknya! Karena itulah, kita patut mengevaluasi, apakah amal ibadah kita selama Ramadhan telah memberikan tambahan nilai yang signifikan bagi perbendaharaan amal baik kita di akhirat nanti? Jangan sampai kita termasuk orang-orang yang bangkrut (muflis) karena banyaknya amal baik kita yang terpaksa diberikan kepada orang lain, sebab semasa hidup di dunia, kita banyak menzalimi orang lain!

****

Sebuah fenomena yang menyedihkan masih menggelayuti kehidupan umat Islam saat Ramadhan dan Idul Fithri tahun ini, yaitu fenomena perpecahan dan saling benci antar sesama Muslim. Di sejumlah daerah, antar aktivis organisasi Islam, perpecahan itu bahkan sudah meningkat, menjadi konflik dan bentrok fisik. Satu kelompok menuduh kelompok lain tidak menjalankan Sunnah, pegiat bid’ah, dan sebagainya, sehingga terus-menerus dicerca dan dicaci maki sebagai calon penghuni neraka. Tidak tahan dengan cercaan semacam itu, karena merasa massanya lebih banyak, kelompok yang satu menggalang dukungan massa untuk mengusir atau menghancurkan sarana-sarana fisik kelompok yang dianggap lebih lemah.

Anehnya, fenomena semacam ini juga terkadang menjangkiti orang-orang yang mengaku berjuang untuk Islam.  Padahal, sesama Muslim diwajibkan saling mengasihi, saling menasehati, bukan saling mencaci-maki.  Para dai sering berkhutbah, menyampaikan hadits Nabi, tidak beriman seorang diantara kamu, sampai ia mencintai apa yang baik untuk dirinya, juga baik untuk saudaranya.  Katanya, sesama Mukmin itu saudara, seperti satu tubuh.  Jika saudaranya tertimpa musibah, ia ikut merasa sakit. Jika saudaranya senang, ia pun turut senang. Itulah indahnya persaudaraan dalam Islam. Bahkan, kita diajarkan doa yang indah, yang selalu mendoakan saudara-saudara kita yang telah wafat, dan semoga Allah menghilangkan perasaan dendam kepada sesama Muslim.

Tapi, bagaimana faktanya di lapangan? Apakah ajaran ukhuwah itu sudah kita coba sekuat tenaga untuk dilaksanakan?

Sungguh aneh, di sejumlah kampus yang saya kunjungi,  saya masih mendapat berita adanya perpecahan dan saling jegal di antara sesama aktivis dakwah, hanya karena beda kelompok atau jamaah, yang memiliki tujuan yang sama, tetapi punya manhaj yang berbeda dalam mencapai tujuan.  Padahal, jika sama-sama memahami, para aktivis dakwah dari berbagai kelompok itu sedang menghadapi tantangan yang sangat besar, di depan hidung mereka, yang andaikan mereka bersatu pun, belum tentu mereka menang. Tantangan itu adalah gerakan sekularisme dan liberalisme di kampus-kampus yang dirancang dan dilaksanakan dengan sistematis dan didukung kekuatan global.

Memang, pada akhirnya, perjuangan Islam akan memetik kemenangan – dengan izin Allah – jika mereka mampu melakukan kerja cerdas, kerja keras, dan kerja ikhlas.  Yang terakhir ini tidaklah mudah. Keikhlasan memerlukan dasar keimanan yang kokoh, keyakinan akan kehidupan akhirat yang sangat mendalam, dan juga latihan-latihan jiwa yang sungguh-sungguh dan terus-menerus.  Kita perlu keikhlasan dalam mengkritik dan juga sekaligus keikhlasan dalam menerima kritik. Dua hal itu tidaklah mudah. Sekali lagi, itu tidaklah mudah!

Tapi, kita tidak punya pilihan, jika ingin mendapatkan kemenangan dari Allah Subhanahu Wata’ala. Rasa-rasanya pertolongan Allah tidak mungkin akan datang jika di dalam hati para aktivis dakwah masih diselimuti perasaan iri hati, dengki, kebencian, dan kesombongan.  Di sinilah pentingnya latihan tazkiyyatun nafs (pensucian jiwa).  Kita pasti memiliki perbedaan dengan banyak pihak. Tetapi, perbedaan itu tidak sepatutnya menanamkan sikap kebencian pada sesama. Betapa indahnya jika antar jamaah atau kelompok mau saling menjaga silaturrahim, menanamkan sikap saling memahami perbedaan, tanpa menghilangkan budaya taushiyah dalam kehidupan mereka. Sikap kritis tidak harus berdampak pada saling benci dan dendam, sehingga untuk saling tukar senyum dan tegur sapa pun terasa mahal.

Itulah pentingnya puasa Ramadhan dan semua ibadah yang kita jalani! Dan itulah sebenarnya tujuan hidup kita; bagaimana dengan ibadah yang kita lakukan, kita semakin dekat dengan Allah, semakin mencintai ajaran-ajaran Nabi-Nya, rindu untuk  beramal shalih, dan membenci kemaksiatan dan kemunkaran, serta semakin merasakan kebahagiaan dan ketenangan dalam kehidupan dunia.  Semua itu hanya bisa tercapai jika kita yakin dengan kehidupan akhirat.

Jika seorang pejuang Islam ingat akhirat, dia tidak akan bersikap tamak dan rakus dalam menghimpun jamaah; sebab di akhirat, yang dinilai oleh Allah bukan itu. Yang dinilai adalah kebenaran dan keikhlasannya dalam berjuang. Ada Nabi yang selama ratusan tahun hanya dapat sedikit pengikut. Seorang pejuang yang mukhlis justru akan berpikir keras untuk menambah sebanyak-banyak pengikut, demi bermegah-megahan dan berbangga-bangga dengan banyaknya anggota, karena tanggungjawab yang dipikulnya pun semakin berat.

Ada kisah indah, seorang mahasiswa S-3 Pendidikan Islam di Universitas Ibn Khaldun Bogor, menceritakan hasil kunjungannya ke sebuah pesantren, di mana  Sang Kiai menolak bantuan materi yang diberikannya, dengan alasan takut santrinya akan  bertambah dan ia tidak mampu lagi mengajarnya!  Kisah semacam ini cukup langka. Tapi, bisa menjadi bahan introspeksi kita semua. Bahwa yang kita tuju sebenarnya keridhaan Allah, di dunia dan akhirat; bukan berbangga-bangga di dunia dan menebar kebencian pada sesama Muslim.

Akhirnya, apa pun yang sedang kita perjuangkan, semoga puasa Ramadhan kita tahun 1433 Hijriah benar-benar memberi makna yang mendalam bagi peningkatan derajat taqwa kita semua. Amin.*/Padangan, 24 Agustus 2012

Leave a Reply