Home Artikel Selamat Datang ” Pendekar Gender :

Selamat Datang ” Pendekar Gender :

4373
0

SELAMAT DATANG “PENDEKAR GENDER”
Dr Adian Husaini – Pendiri INSISTS

Dunia pemikiran Islam di Indonesia tampaknya akan semakin bergairah menyusul kedatangan seorang “pendekar pemikiran Islam” dari negeri seberang. Tahun 2016 ini, Henri Shalahuddin, peneliti senior INSISTS, meraih gelar doktor dalam Pemikiran Islam di Universiti Malaya Kuala Lumpur, dengan judul disertasi: “Wacana Kesetaraan Gender dalam Pemikiran Islam di Institusi Pengajian Tinggi Islam di Indonesia.”

Sebagai sebuah lembaga penelitian, selama ini INSISTS memiliki tradisi melakukan diskusi dan tasyakkur terhadap sejumlah ilmuwan Indonesia yang berhasil menyelesaikan studi magister dan doktornya di berbagai kampus. INSISTS pernah menggelar tasyakkur untuk sejumlah ilmuwan lulusan al-Azhar University Cairo, seperti Dr. Mukhlis Hanafi, Dr. Abdul Hayyi al-Kattani, Dr. Ahmad Zain an-Najah, dan Fahmi Salim MA. Juga, tasyakkur untuk Dr. Tiar Anwar Bahtiar, Dr. Malki Ahmad Nasir, Dr. Wendi Zarman, Dr. Dinar Dewi Kania, dan sebagainya.

Dengan itu, diharapkan bisa terbentuk shaf perjuangan para ilmuwan muslim dalam berbagai bidang keilmuan, sesuai dengan tantangan pemikira yang berkembang. Sabtu (10/9/2016), INSISTS menggelar tasyakkur untuk Dr. Henri Shalahuddin. Tentu saja, nama itu tidak asing bagi peminat kajian pemikiran Islam di Nusantara. Sekitar 10 tahun, Peneliti senior INSISTS (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations) ini sudah malang melintang dalam dunia pemikiran Islam di Indonesia. Namanya mulai dikenal luas sebagai salah satu palang pintu pemikiran Islam – dalam menghadapi serbuan gelombang liberalisme – menyusul terbitnya buku pertamanya berjudul “Al-Quran Dihujat” (Jakarta: Gema Insani Press, 2007).

Buku ini sangat penting dalam perspektif kajian pemikiran Islam di Indonesia, hingga saat ini. Secara umum, buku “al-Quran Dihujat” berisi kritik terhadap pemikiran Prof. Nasr Hamid Abu Zayd, pakar sastra Arab Mesir yang terkenal dengan teorinya bahwa al-Quran adalah produk budaya Arab. Di Indonesia, buku Henri Shalahuddin itu merupakan buku pertama yang mengkritik pemikiran Abu Zayd dengan merujuk kepada berbagai karya Abu Zayd sendiri.

Nasr Hamid Abu Zayd memang telah divonis murtad oleh Mahkamah di Mesir, dan kemudian lari ke Belanda. Di negara kolonial inilah, Abu Zayd diberi tempat terhormat sebagai guru besar ilmu al-Quran di Universitas Leiden. Dari sini pula pemikiran Abu Zayd kemudian menyebar ke Indonesia, melalui sejumlah muridnya.

Buku-buku Abu Zayd sudah banyak yang diterjemahkan di Indonesia. Dalam salah satu buku terjemahan karya Abu Zayd berjudul ”Hermeneutika Inklusif”, Nasr Hamid Abu Zayd dimasukkan ke dalam ketegori ”pemikir pemberontak” (dissident muslim thinkers). Tetapi, ditulis di sini, bahwa ”Julukan pemikir pemberontak ini tidak dimaksudkan sebagai julukan yang negatif, akan tetapi ditujukan untuk menamai sebagian kelompok pemikir Islam yang memiliki pemikiran terobosan dan cenderung melakukan reformasi terhadap status quo pemikiran Islam. Corak pemikiran seperti itu, tidak hanya dibutuhkan pada masa transisi, akan tetapi juga sangat dibutuhkan pada masa stabil.”

Bisa dikatakan, dalam menghadapi peredaran pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd di Indonesia, Henri Shalahuddin termasuk barisan pemikir yang berada dalam garis terdepan. Kini, beberapa tahun kemudian, Henri Shalahuddin kembali menggebrak dunia pemikiran Islam melalui disertasinya berjudul: “Wacana Kesetaraan Gender dalam Pemikiran Islam di Institusi Pengajian Tinggi Islam di Indonesia.”

Menurut Henri, wacana kesetaraan gender dalam pemikiran Islam merupakan salah satu isu kontemporer yang memerlukan perhatian khusus dari para sarjana muslim. Sebab, isu itu bukan saja berkaitan dengan kajian tentang wanita dan agama, tetapi juga kajian feminisme Barat dan konteks sosial kekinian.

Dalam disertasinya, Henri menggunakan ”content analysis” untuk mengkaji buku-buku tentang gender yang diterbitkan oleh satu perguruan Tinggi Islam di Indonesia. Melalui kajian yang mendalam selama bertahun-tahun, Doktor Henri Shalahuddin sampai pada kesimpulan, bahwa wacana “kesetaraan gender” dalam pemikiran Islam yang dikembangkan saat ini, pada umumnya dimaksudkan untuk mengoreksi pandangan masyarakat yang dipandang diskriminatif terhadap wanita. Pandangan itu – menurut para feminis pendukung paham kesetaraan gender — berakar dari pemahaman yang bias gender terhadap teks-teks wahyu (al-Quran dan Hadits Nabi saw).

Dengan anggapan ini, kaum feminis kemudian membagi teks-teks wahyu kedalam dua kategori, yaitu teks-teks yang mesra wanita, dan teks-teks yang membenci wanita (misogyny). Dikotomi terhadap teks wahyu ini memunculkan dua pendekatan yang berbeda terhadap kedua kategori teks tersebut. Terhadap ayat-ayat yang dianggap “membenci wanita” digunakanlah metode kontekstual-historis dalam penafsirannya. Sedangkan terhadap ayat-ayat yang “mesra wanita” digunakanlah pendekatan tekstual-normatif.

Dengan pendekatan kontekstual-historis ini, maka akan dihasilkan pemahaman yang berbeda dari makna tekstual ayat yang dikaji. Oleh karena itu, kajian Islam berlandaskan gender tidak jarang memunculkan kontroversi, karena beberapa hasil kajiannya sering bertentangan dengan khazanah intelektual Islam. Misalnya, dalam kasus poligami, waris, kepemimpinan wanita, kesaksian wanita, kesehatan reproduksi, dan sebagainya.

Perbedaan produk kajian itu disebabkan perbedaan metodologi kajian dan pemaknaan terhadap konsep-konsep dasar dalam Islam, seperti konsep-konsep tentang kesetaraan, keadilan, tsawabit-mutaghayyarat dan qat’iyyat-dhanniyyat. Karena perbedaan itulah, maka bisa jadi, kewajiban seorang laki-laki sebagai pemimpin keluarga, dipandang sebagai “dominasi laki-laki” atas wanita. Sebaliknya, hal-hal yang dalam Islam merupakan keringanan bagi wanita, justru dipandang sebagai bentuk diskriminasi.

Berdasarkan kajiannya tersebut, Dr. Henri pun berkesimpulan, bahwa wacana kesetaraan gender dalam pemikiran Islam yang dikembangkan di sejumlah Perguruan Tinggi di Indonesia cenderung bercorak liberal dan menyimpang dari tradisi intelektual Islam yang dibina dan dikembangkan oleh para ulama al-salaf al-salih, baik dalam hal metode maupun hasil akhirnya.

Disertasi ini pun menemukan, bahwa sejarah kemunculan wacana kesetaraan gender di Indonesia secara lebih jelas diawali dengan kuatnya tekanan (negara/lembaga) asing melalui Konvensi PBB. Berbagai konferensi internasional, dan seruan LSM-LSM mendesak pemerintah untuk melakukan emansipasi, dan pemberdayaan wanita sehingga mereka dilibatkan dalam aktivitas pembangunan nasional. Dukungan pemerintah terhadap gerakan wanita yang diwujudkan dengan pembentukan Kementerian Peranan Wanita tahun 1978, dan pengesahan berbagai undang-undang yang mendukung gerakan aktivis gender, semakin mempercepat proses pengarusutamaan gender di segala bidang kehidupan.

Terbitnya Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 merupakan landasan hukum bagi dilaksanakannya pengarusutamaan gender dalam pembangunan nasional, termasuk pengembangan kurikulum pengajian Islam berlandaskan gender di lingkungan Pendidikan Tinggi. Perkembangan selanjutnya, seiring dengan bergulirnya waktu, wacana kesetaraan gender semakin ramai dikembangkan di berbagai universitas Islam, khususnya sejak dekade 1990-an. Secara perlahan, perspektif gender mulai diterapkan dalam wacana akademik dan diyakini sebagai alat analisis baru untuk menjawab isu “ketidakadilan” dalam peranan sosial, dan isu kekerasan terhadap wanita.

Hasil penelitian ini pun mengungkap fakta bahwa wacana kesetaraan gender dalam pemikiran Islam yang dikembangkan di berbagai Perguruan Tinggi terlalu berorientasi kepada ideologi feminisme Barat, dan mempercayainya sebagai jawaban untuk semua masalah wanita. “Padahal budaya, ideologi dan konteks sosial wanita di Barat tidak selalunya sama dengan hukum dan ajaran Islam. Pendekatan feminis yang diasaskan kepada pengalaman subjektif tentang ketertindasan wanita berbeda dengan konsep ajaran Islam yang berbasis wahyu dan bersifat kekal di segala tempat dan zaman,” kata Dr. Henri Shalahuddin.

Sebagai agama wahyu, maka sudut pandang Islam terhadap isu-isu seputar kesetaraan gender, berbeda secara mendasar dengan faham kesetaraan gender yang berbasis kepada konteks kesejarahan dan peranan sosial. Padahal, tulis Henri, hukum-hukum syari’ah dalam Islam, khususnya yang bersifat qat’iy dan tsabit tidaklah dirumuskan berasaskan budaya dan realitas sosial.

“Pendekar gender”

Kehadiran Dr. Henri Shalahuddin dalam barisan ilmuwan muslim yang menekuni bidang studi gender patut disambut gembira. Selain dikenal sebagai pemain bola yang handal, lulusan Kulliyyatul Mu’allimin al-Islamiyyah (KMI) Pesantren Modern Gontor Ponorogo ini juga aktif menulis artikel, makalah, dan buku. Henri Shalahuddin menyelesaikan gelar sarjana Ushuluddin di Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor, tahun 1999, dengan judul skripsi, “Mawqif Ahli al-Sunnah wal-Jamaah min al-Ushul al-Khamsah lil-Mu’tazilah, di bawah bimbingan Prof. Dr. Amal Fathullah.

Tahun 2003, Henri Shalahuddin menyelesaikan gelar magister, juga dalam bidang ushuluddin, di International Islamic University Malaysia (IIUM) dengan judul Tesis, “Dawr al-Ghazali fi Tathwir al-Manhaj ‘Ilm al-Kalam min Khilali Kitabihi al-Iqtishad fi al-I’tiqad.” Supervisor Tesis ini adalah Prof. Dr. Abou Ya’arib al-Marzouqi dan Prof. Dr. Ibrahim Zein.

Para pengkaji masalah pemikiran Islam telah memahami betapa maraknya gerakan kesetaraan gender di Indonesia saat ini. Bahkan, bisa dikatakan saat ini sedang pada fase “kemaruk” (Bhs Jawa: rakus). Paham dan gerakan “kesetaraan gender” masuk dalam berbagai lini kehidupan: pendidikan, sosial, hukum, dan politik. Sebagian aktivis gender bahkan secara terbuka mendukung gerakan perkawinan sesama jenis.

Gerakan gender ini pernah mengejutkan umat Islam Indonesia pada awal tahun 2000, ketika muncul beredar sebuah dokumen ‘’Counter Legal Draft’’ Kompilasi Hukum Islam yang disusun oleh Tim Pangarusutamaan Gender Departemen Agama. Tim yang dimotori oleh Prof. Dr. Musdah Mulia dkk ini kemudian dibubarkan oleh Menteri Agama Maftuh Basyuni.

Sejumlah gagasan konsep hukum yang sangat kontroversial termuat dalam naskah tersebut, antara lain: Pertama, asas perkawinan adalah monogami (pasal 3 ayat 1), dan perkawinan di luar ayat 1 (poligami) adalah tidak sah dan harus dinyatakan batal secara hukum (pasal 3 ayat 2). Kedua, batas umur calon suami atau calon istri minimal 19 tahun (pasal 7 ayat 1). Ketiga, perkawinan beda agama antara muslim atau muslimah dengan orang non muslim disahkan (pasal 54). Keempat, calon suami atau istri dapat mengawinkan dirinya sendiri (tanpa wali), asalkan calon suami atau istri itu berumur 21 tahun, berakal sehat, dan rasyid/rasyidah. (pasal 7 ayat 2). Kelima, ijab-qabul boleh dilakukan oleh istri-suami atau sebaliknya suami-istri. (pasal 9). Keenam, masa iddah bukan hanya dimiliki oleh wanita tetapi juga untuk laki-laki. Masa iddah bagi laki-laki adalah seratus tiga puluh hari (pasal 88 ayat 7(a)). Ketujuh, talak tidak dijatuhkan oleh pihak laki-laki, tetapi boleh dilakukan oleh suami atau istri di depan Sidang Pengadilan Agama (pasal 59). Kedelapan, bagian waris anak laki-laki dan wanita adalah sama (pasal 8 ayat 3, bagian Kewarisan).

Sejumlah pakar hukum Islam di Indonesia, seperti Prof. Dr. Huzaemah Tahido Yanggo, MA, Prof. KH Ali Yafie, Prof. Dr. KH Ali Mustafa Yaqub, Dr. Neng Djubaidah SH, MHum, Prof. Dr. Zaitunah Subhan dan Prof. Dr. Nabilah Lubis MA, telah memberikan kritik yang tajam terhadap CLD KHI versi Musdah ini. (Lihat, Zaitunah Subhan dkk (ed), Membendung Liberalisme, (Jakarta: Republika, 2004).

Mengingat begitu marak dan seriusnya tantangan pemikiran di bidang gender, kehadiran dan kiprah Dr. Henri Shalahuddin memang sangat ditunggu. Bahkan, bukan hanya seorang Henri Shalahuddin. Kita memerlukan puluhan, dan mungkin ratusan pakar di bidang gender, yang peduli dan ikhlas berjuang untuk mewujudkan tatanan masyarakat Indonesia yang adil dan beradab, yang selamat dari paham-paham destruktif perusak aqidah dan akhlak umat Islam.

Dan kita doakan, semoga Dr. Henri Shalahuddin diberikan kekuatan untuk mengemban amanah keilmuannya dengan baik. Amin. (Depok, 9-9-2016).

Leave a Reply