Home Artikel Selamat Datang buku Prof. Faisal Ismail

Selamat Datang buku Prof. Faisal Ismail

1460
0

Belum lama ini saya menemukan sebuah buku penting yang ditulis oleh Prof. Dr. Faisal Ismail, M.A., guru besar Universitas Islam Negeri Yogyakarta. Judulnya: “Membongkar Kerancuan Pemikiran Nurcholish Madjid Seputar Isu Sekularisasi dalam Islam.”  (Cetakan pertama: Juli 2010).

Buku Prof. Faisal Ismail ini cukup mengejutkan, sebab selama ini, saya mengenalnya sebagai mantan Sekjen Departemen Agama dan Duta Besar RI untuk Kuwait. Membaca riwayat hidupnya, putra Madura kelahiran 1947 ini, terlihat telah lama menggeluti dunia pemikiran Islam. Sejumlah bukunya juga sudah diterbitkan.

Perjalanan intelektual Prof. Faisal Ismail pun cukup beragam. Lulus S-1 Fakultas Tarbiyah IAIN Yogyakarta, ia melanjutkan studi S-2 di Department of Middle East Languages and Cultures, Columbia University, AS. Tahun 1995, dia menyelesaikan S-3 di Institute of Islamic Studies, McGill University, Kanada.  Tahun 1991, Faisal Ismail sempat menjadi mahasiswa Nurcholish Madjid di McGill, saat Nurcholish menjadi dosen tamu, mengajar mata kuliah “Modern Islamic Development  in Idonesia.”

“Saya ingin menjadi murid  yang baik Nurcholish Madjid, karena itu, saya “berani” dan memberanikan diri mengritisi , menilai, dan mengritik ide sekularisasi dan desakralisasinya dengan cara konstruktif-kritis-apresiatif,” tulis Faisal. (hal.  34).

Berbeda dengan banyak cendekiawan yang memberikan apresiasi dan membela ide sekularisasi Nurcholish Madjid secara berlebihan, Prof. Faisal Ismail berani mengambil sikap dan posisi yang tegas dan jelas terhadap gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid yang hingga sekarang masih dikeramatkan oleh sebagian kalangan.

Melalui karya ini, Prof. Faisal menguraikan secara sistematis dan illmiah kekeliruan gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid. Ia merasa perlu menulis buku tersebut – di sela-sela kesibukannya sebagai Dubes RI di Kuwait – karena sampai akhir hayatnya, Nurcholish Madjid belum pernah mengoreksi pemikirannya.

“Sampai dengan meninggalnya di tahun 2005, Nurcholish tidak pernah berubah dalam pendiriannya tentang ide sekularisasinya. Tidak ada pernyataan resmi dan terbuka dari dia, baik secara lisan maupun tertulis, yang isinya merevisi, meredefinisi, mencabut, atau me-mansukh idenya tentang sekularisasi dan desakralisasi itu. Dia sepenuhnya merasa benar dengan ide sekularisasinya itu…” (hal. 33)

Menurut Prof. Faisal, ide sekularisasi Nurcholish itulah perlu dikaji secara cermat dan mendalam, sebab ide itulah yang menjadi landasan pacu yang strategis bagi agenda kerja dan gerakan pembaruan Islam yang Nurcholish pelopori.

Ide sekularisasi Nurcholish Madjid sudah berumur 40 tahun. Selama  itu sudah cukup banyak yang mengkritisinya. Salah satu yang terkenal adalah kritik dari Prof. HM Rasjidi.  Direktur INSISTS, Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, juga sudah memberikan kritik ilmiah dan tajam terhadap gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid. Kedua pemikir itu pun mempermasalahkan landasan ilmiah dan epistemologis gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid. Dalam bukunya ini, Prof. Faisal Ismail pun lebih jelas lagi memaparkan “ketidak-ilmiahan” gagasan sekularisasi Nurcholish.

Setelah menelusuri asal-muasal dan berbagai definisi yang diungkapkan Nurcholish Madjid,  Faisal lalu memberikan kritik-kritik yang mendasar.  “Dari segi konsep dan definisi saja, ide yang Nurcholish klaim sebagai sekularisasi itu sudah tidak memiliki dasar keilmuan dan tidak tepat,” (hal. 53).

Nurcholish mendefinisikan sekularisasi  sebagai “menduniawikan masalah-masalah yang semestinya bersifat duniawi dan melepaskan umat Islam daru sikap mengukhrawikannya”.  Definisi dan penjelasan Nurcholish itu dianalisis oleh Faisal dan dibandingkan dengan pengertian sekularisasi yang diberikan sejumlah cendekiawan, seperti Peter Beger, Harvey Cox, Fazlur Rahman, HM Rasjidi, Mukti Ali, dan sebagainya. Kesimpulannya, tulis Faisal: Definisi Nurcholish Madjid tentang sekularisasi sangat tidak memadai, sangat lemah, bahkan tidak memiliki dasar rujukan ilmiah.

Berbeda dengan Nurcholish, Fazlur Rahman – guru Nurcholish di Chicago University – memberikan definisi sekularisasi sebagai berikut:

“Sekularisasi merupakan proses pemakaian hukum-hukum  dan lembaga-lembaga social politik tanpa rujukan ajaran-ajaran Islam, yakni bersumber dari atau  ada kaitannya dengan prinsip –prinsip Al Quran dan Sunnah Nabi.” (hal. 52).

Dengan kata lain, simpul Prof. Faisal, ide sekularisasi racikan Nurcholish, dilihat dari sudut pandang ilmiah dan perspektif akademis dengan sendirinya menjadi sangat layu, “gugur”, dan “digugurkan” kesahihannya.

Halaman demi halaman buku Prof. Faisal Ismail ini menyajikan data  kerancuan pemikiran sekularisasi Nurcholish Madjid, sebagaimana disajikan dalam judulnya. Senada dengan Prof. HM Rasjidi, Faisal juga melihat kesewenang-wenangan Nurcholish dalam memberikan istilah dan definisi, sehingga tidak dapat dikaji secara ilmiah.

Sebagai contoh, Faisal mengkritik keras gagasan Nurcholish untuk melakukan sekularisasi secara terbatas, sebagaimana terjadi pada masyarakat Barat. Faisal menolak gagasan ini, dan menulis: “Menurut pendapat saya, ide sekularisasi terbatas dalam Islam yang digagas oleh Cak Nur untuk diterapkan  dikalangan umat Islam harus ditolak. Umat Islam tidak perlu melaksanakan sekularisasi, walaupun secara terbatas.” (hal. 76).

Membaca buku setebal 357 halaman ini cukup mengasyikkan. Apalagi yang terbiasa menggeluti bidang pemikiran Islam. Meskipun sudah tiada, Nurcholish Madjid masih terus dijadikan rujukan dalam bidang pemikiran Islam di Indonesia. Karena itu, buku Prof. Faisal ini sangat penting dibaca bagi pengkritik maupun pendukung gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid. Tujuannya, tentu, jangan kita terjebak kepada kebencian tanpa dasar dan jangan menjadi pemuja tanpa ilmu.

Saya sendiri sudah berulang kali memberikan kritik terhadap gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid. Secara khusus, kritik terhadap sekularisasi Nurcholish saya letakkan dalam satu bab dari buku Wajah Peradaban Barat.  Jika ditelusuri, gagasan sekularisasi Nurcholish sulit dilepaskan dari ide sekularisasi Harvey  Cox, seorang teolog Kristen yang popular dengan bukunya The Secular City, tahun 1960-an.

Pada tanggal 2 Januari 1970 Nurcholish Madjid secara resmi meluncurkan gagasan sekularisasinya dalam diskusi di Menteng Raya 58. Ketika itu, Nurcholish meluncurkan makalah berjudul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”.  Dua puluh tahun kemudian, gagasan itu kemudian diperkuat lagi dengan pidatonya di Taman Ismail Marzuki Jakarta,  pada tanggal 21 Oktober 1992, yang dia beri judul “Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan di Indonesia”. Setelah itu, berjubellah para propagandis sekularisasi di Indonesia.

Jika dicermati, pengaruh “The Secular City” jelas sekali tampak  pada pemikiran Nurcholish Madjid tentang sekularisasi. Misalnya, tentang etimologi sekularisasi, Nurcholish berpendapat:

“Kata-kata “sekular” dan “sekularisasi” berasal dari bahasa Barat (Inggris, Belanda dan lain-lain). Sedangkan asal kata-kata itu, sebenarnya, dari bahasa Latin, yaitu saeculum yang artinya zaman sekarang ini. Dan kata-kata saeculum itu sebenarnya adalah salah satu dari dua kata Latin yang berarti dunia. Kata lainnya ialah mundus. Tetapi, jika saeculum adalah kata waktu, maka mundus adalah kata ruang”.

Bandingkan ungkapan Nurcholish Madjid itu dengan kata-kata Harvey Cox: “The English word secular derives from the Latin word saeculum, meaning “this present age”… Basically saeculum is one of the two Latin words denoting “world” (the other is mundus)… saeculum is a time word, used frequently to translate the Greek word aeon, which also means age or epoch. Mundus, on the other hand, is a space word.”

Jika Cox mencari legitimasi sekularisasi dalam agama Kristen, maka Nurcholish mencoba mengadopsi dan menyesuaikan gagasan Cox dengan mencari legitimasi dalam ajaran Islam. Ia tidak secara terang-terangan menyatakan, bahwa gagasannya tentang sekularisasi diadopsi dari pemikiran Harvey Cox.  Penjiplakan Nurcholish terhadap ide Cox bisa dilihat lagi pada  upayanya untuk membedakan antara “sekularisasi” dan “sekularisme”, sebagaimana dilakukan oleh Cox. Menurut  Nurcholish, pembedaan antara “sekularisasi” dan “sekularisme” semakin jelas jika dianalogikan dengan pembedaan antara rasionalisasi dan rasionalisme. Seorang Muslim harus bersikap rasional, tetapi tidak boleh menjadi pendukung rasionalisme. Rasionalitas adalah suatu metode guna memperoleh pengertian dan penilaian yang tepat tentang suatu masalah dan pemecahannya. Rasionalisasi adalah proses penggunaan metode itu. Analoginya, lanjut Nurcholish, sekularisasi tanpa sekularisme, yaitu proses penduniawian tanpa paham keduniawian, bukan saja mungkin, bahkan telah terjadi dan terus akan terjadi dalam sejarah.

Sekularisasi tanpa sekularisme adalah sekularisasi terbatas dan dengan koreksi. Pembatasan dan koreksi itu diberikan oleh kepercayaan akan adanya Hari Kemudian dan prinsip Ketuhanan. Sekularisasi adalah keharusan bagi setiap umat beragama, khususnya ummat Islam.

Dalam beberapa hal, jelas sekali terlihat, bahwa pendapat dan redaksi tulisan Nurcholish Madjid sangat mirip dengan pendapat dan redaksi tulisan Harvey Cox. Adalah menarik, melihat gaya Nurcholish dalam mengembangkan ide sekularisasi Harvey Cox. Ketika Cox menyatakan, bahwa sekularisasi adalah keharusan bagi kaum Kristen, maka Nurcholish melanjutkan, bahwa “sekularisasi adalah keharusan bagi setiap umat beragama, khususnya ummat Islam”.  Jika Cox mencari landasan sekularisasi dalam Bibel, maka Nurcholish mencari justifikasi dari ajaran-ajaran Islam.

Sudah sangat banyak kritik diberikan terhadap gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid. Mudah-mudahan buku Prof. Faisal Ismail ini semakin memperjelas duduk persoalan dan kekeliruan ide sekularisasi yang memang sangat tidak diperlukan oleh umat Islam.  [Depok, September 2010/hidayatullah.com]

Leave a Reply