Pada hari Ahad, 9 Agustus 2015, Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) menyelenggarakan acara Tasyakkur Kelulusan Doktor, yakni Dr. Tiar Anwar Bachtiar dan Dr. Abdul Hayyie al-Kattani Wardi. Tiar menyelesaikan studi doktor sejarahnya di Universitas Indonesia dengan disertasi berjudul: “Respon Pemikiran INSISTS (Institute For The Study Of Islamic Thought And Civilizations) terhadap Pemikiran Islam Liberal di Indonesia Tahun 2003-2012”. Disertasi Tiar Bachtiar itu disupervisi oleh Dr. Iskandar dan Prof. Dr. Maswadi Rauf dan lulus dalam ujian terbuka di kampus UI Depok, Juli 2015 lalu.
Sedangkan Abdul Hayyie menulis disertasi dengan judul: Khuludun Nafsi Bayna al-Falasifati al-Islamiyyati wal-Shufiyyah Hatta Nihayah al-Qarni al-Sadisi al-Hijriy (The Immortality of Soul Between Islamic Philosophers and Sufis Until the End of The Sixth Century of Hijra)”. Hayyi lulus doktor dari Universitas Darul Ulum Kairo di bawah bimbingan Prof. Dr. Sayyed Rezq elHagr, seorang guru besar dalam Filsafat Islam.
Disertasi Dr. Tiar Anwar Bachtiar ini mengkaji bagaimana INSISTS, baik dari segi gerakan maupun pemikiran, merespon pemikiran-pemikiran Islam Liberal antara tahun 2003-2012 sehingga terlihat perbedaannya dengan respon-respon yang pernah ada sebelumnya. Penelitian ini, menurut Tiar Bachtiar, menggunakan metode sejarah dengan pendekatan metodologi sejarah deskriptif-naratif.
Berdasarkan penelusuran berbagai sumber dan interpretasi atas sumber-sumber tersebut ditemukan bahwa gerakan INSISTS memiliki kekhasan antara lain: (1) pemikirannya lebih mendalam dalam merespon pemikiran Islam Liberal dengan mengadopsi teori Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer yang diperkenalkan oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas di ISTAC-IIU Malaysia (2) gerakannya lebih mengedepankan gerakan ilmiah dengan menerbitkan jurnal, artikel koran, buku-buku, dan mendirikan kelas-kelas pascasarjana dengan pendekatan khusus bekerja sama dengan berbagai universitas yang telah ada sehingga INSISTS segera mendapatkan pengaruh cukup luas di kalangan para intelektual muda (3) membangun jejaring gerakan ilmiah di berbagai kota untuk memelihara gerakan ilmiah yang telah dicanangkan.
Masih menurut Dr. Tiar Bachtiar, studi mengenai masalah ini menjadi penting untuk menjawab hal-hal yang berkembang dalam studi sejarah pemikiran di Indoensia sebagai berikut:
- Selama ini dikesankan bahwa setelah periode Modernis-Tradisionalis pada paruh pertama abad ke-20, pemikiran baru yang dianggap progressif, maju, dan menjanjikan perubahan bagi umat Islam di masa datang yang lebih cerah adalah pemikiran “Islam Liberal”. Sudah banyak sekali penelitian yang dilakukan baik oleh peneliti luar maupun dalam negeri. Untuk menyebut beberapa peneliti masalah ini antara lain: Kamal Hassan, Greg Barton, Charles Kurzman, Yudi Latif, Syafi’i Anwar, Fachry Ali, Bachtiar Effendi, Zuly Qodir, dan sebagainya. Kecuali Kamal Hassan, semua peneliti berkesimpulan bahwa inilah pemikiran yang paling “progressif” dalam konteks pengembangan pemikiran Islam di Indonesia.
- Tanggapan-tanggapan terhadap Islam Liberal sejak awal kemunculan gerakan pemikiran ini tahun 1970-an sebetulnya sudah bermunculan. Tokoh paling utamanya adalah Prof. HM. Rasjidi yang berhasil menemukan sumber pokok utama gerakan ini, yaitu pemikiran sekuler yang ditawarkan oleh Orientalis Barat. Kemudian, kritik dilanjutkan generasi-generasi berikutnya seperti Endang Saefudin Anshari, Ahmad Husnan, Daud Rasyid, Hartono Ahmad Jaiz, hingga terbitnya fatwa MUI tahun 2005 yag mengharamkan pluralisme, liberalisme, dan sekularisme. Oleh para peneliti terdahulu, kritik-kritik terhadap pemikiran Islam Liberal ini dianggap tidak memadai, bahkan diejek hanya terkesan mengkritik seg-segi bahasa dan istilah sehingga tanggapan tidak substantif. Bahkan buku baru seperti yang dieditori oleh Martin van Bruinessen (ISEAS Singapura, 2014), yang telah merekam juga kritik-kritik dari INSISTS dan alumni-alumni ISTAC-IIU Malaysia, tetap berkesimpulan sama bahwa para pengritik Islam Liberal adalah kelompok-kelompok anti-intelektual, ultra-ortodoks, anti kemajuan, anti-Barat, fundamentalis, dan radikal. Artinya, pemikiran yang mengritik Islam Liberal dianggap bukan pemikiran yang layak diberi apresiasi.
- Kritik-kritik terhadap Islam Liberal periode awal, terutama tulisan HM Rasjidi, sebetulnya telah berhasil menyingkap identitas paling dasar dari pemikiran-pemikiran Islam Liberal, baik yang dipromosikan Nurcholish Madjid maupun Harun Nasution. Identitas yang dimaksud adalah bahwa pemikiran “Islam Liberal” tidak lebih dari kepanjangan tangan orientalis yang dengan paradigma sekulernya mencoba mengkaji Islam. Kepentingan mereka justru untuk melanggengkan kolonialisme atas dunia Islam. Akan tetapi, karena sifat kajiannya yang polemis dan sporadis; juga tidak konsisten terus menerus menanggapi pemikiran ini dengan berbagai aksi, maka kesan kurang serius dalam memberikan tanggapan akademik dan intelektual secara memadai. Apalagi ketika media-media utama memberikan ruang yang sangat besar terhadap pemikiran liberal.
Memperhatikan hal-hal di atas, maka melalui disertasinya tersebut, Dr. Tiar Bachtiar bermaksud membuktikan sejumlah hal penting dalam sejarah pemikiran di Indonesia:
Terbukti bahwa pemikiran anti-Islam Liberal ini sebetulnya adalah pemikiran yang layak mendapatkan perhatian dan apresiasi, bahkan sejak awal kemunculannya melalui tangan HM Rasjidi tahun 1970-an. Kesan-kesan keras dan anti-intelektual sebetulnya bukan substansi dari pemikiran itu sendiri, melainkan aksentuasi gerakan sosial yang memang harus menggunakan bahasa awam dan sederhana untuk meyakinkan publik bahwa pemikiran Islam Liberal itu berbahaya.
Kelayakan ini muncul pada periode 2000-an melalui tulisan-tulisan para alumni ISTAC-IIU Malaysia yang mendirikan INSISTS tahun 2003. Tulisan mereka berbentuk buku, baik yang bersifat polemik maupun tidak; juga disebarluaskan melalui Jurna Islamia yang diterbitkan INSISTS. Tulisan-tulisan aktivis INSISTS yang berusaha bergerak di wilayah ilmiah, tanpa menyudutkan dan menghujat, menjadi model baru dalam merespon pemikiran Islam Liberal. Inti tulisan-tulisan aktivis INSISTS ini sesungguhnya sama dengan tulisan HM Rasjidi, yaitu menunjukkan bahwa pemikiran Islam Liberal tidak lain merupakan pemikiran sekuler yang tidak pernah dikenal dalam Islam dan sekaligus membahayakan akidah Islam.
Karena keseriusan ilmiah inilah, pemikiran-pemikiran yang mengritik Islam Liberal sejak tahun 2000-an ini berhasil masuk ke ruang-ruang akademik perkuliahan di beberapa pascasarjana perguruan tinggi Islam di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa pemikiran ini sama seriusnya dengan pemikiran Islam Liberal yang sejak tahun 1970-an berhasil masuk ke pengkajian di perguruan tinggi.
Atas alasan itu semua, pemikiran-pemikiran kontra-Islam Liberal inilah yang intinya berporos pada gagasan “Islamisasi Ilmu Pengetahuan” boleh dikatakan sebagai gelombang baru dalam sejarah pemikiran Islam, bukan hanya di Indonesia tapi juga di seantero dunia. Gelombang baru inipun sangat berhasil menunjukkan bahwa pemikiran Islam Liberal sejatinya bukan pemikiran yang berakar pada tradisi pemikiran Islam yang telah mapan sejak zaman Rasulullah Saw. hingga empat belas abad kemudian.
Itulah temuan penting dari disertasi Dr. Tiar Anwar Bachtiar yang mengantarkannya meraih gelar doktor ilmu sejarah di Universitas Indonesia. Ini sejarah baru dalam penulisan disertasi tentang sejarah intelektual di Indonesia. Kita tentu menghargai suatu karya ilmiah dan berharap ada penelitian-penelitian berikutnya yang lebih tajam lagi mengupas pergulatan pemikiran di Indonesia. Lebih dari itu, kita berharap gelar doktor tidak membuat seorang menjadi terlena dan berbangga diri, sebab gelar doktor atau profesor belum tentu menentukan kualitas keilmuan dan ketaqwaan seseorang. Seorang ilmuwan dalam Islam baru dikatakan bernilai ketika ilmunya mengantarkan kepada kedekatan kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Semoga ilmunya bermanfaat.
Summa cum laude
Berbeda dengan Dr. Tiar yang selama ini sudah dikenal sebagai aktivis dakwah Islam, umat Islam lebih mengenal sosok Dr. Abdul Hayyie al-Kattani sebagai penulis dan penerjemah buku-buku berbahasa Arab. Para sahabatnya menyebut Hayyie – sapaan akrabnya – sebagai seorang yang tekun membaca banyak buku. Pada 11 Desember 2014 lalu, Putra Betawi ini lulus ujian disertasi di Universitas Darul Ulum Kairo, di hadapan Dewan Penguji: Prof. Dr. Sayyed Rizq Elhagar (supervisor), Prof. Dr. Abdul Hamid Abdul Mun’im Madkur (penguji internal).
Prof. Dr. Mahmud Muhammad Muhammad Salamah (penguji eksternal). Dr. Hayyie lulus dengan yudisium “Summa Cumlaude” (lulus dengan pujian paling tinggi).
Secara singkat, Dr. Hayyie al-Kattani memaparkan isi disertasinya. Bahwa, hidup yang kekal adalah sesuatu yang diimpikan oleh hampir setiap manusia. Namun kematian adalah kepastian yang menunggunya. Tidak ada manusia yang dapat lari dari kematian. Karena itu kematian membuka seluruh potensi daya pikir manusia untuk memikirkan nasibnya setelah kematian. Dan membuka cakrawala berpikirnya untuk menatap alam lain yang sama sekali asing baginya.
Dengan kesadaran seperti itu, keimanan tentang kebangkitan setelah kematian, dan kekalnya jiwa manusia, menjadi sangat penting. Keimanan tersebut memberikan harapan bagi manusia di dunia tentang perjalanan hidupnya yang akan memanjang jauh di alam lain, setelah kehidupannya saat ini. Keimanannya tentang keberlangsungan hidupnya yang akan kekal, mengharuskannya untuk melakukan amal shaleh dan perilaku yang baik, serta menggunakan seluruh yang dia miliki dan waktu serta tenaga yang dapat dia curahkan, guna meraih manfaat bagi kehidupannya setelah kematian.
Karena itu, dalam ajaran Islam, masalah ba’ts atau keimanan tentang kebangkitan setelah kematian, merupakan satu bagian sangat penting dalam Aqidah Islam. Di atas aqidah ba’ts ini berdirilah gambaran yang menyeluruh tentang seluruh aqidah Islam. Tanpa keimanan terhadap al ba’ts ini, maka keimanan seseorang dalam Islam tidak diakui.
Tetapi, di kalangan ulama Islam, terdapat perdebatan yang mendalam tentang kekekalan jiwa dan kebangkitan setelah kematian. Perdebatan mereka antara lain tentang perbedaan pendapat tentang pengertian ruh, aqal, jism, nafs, juga tentang bentuk kebangkitan serta bentuk balasan kebaikan dan keburukan, di akhirat kelak.
Disertasi Dr. Hayyie ini berusaha mengungkapkan masalah tersebut, dan membedah sisi-sisi perbedaan ataupun kesamaan pandangan mereka, dengan membatasi kajian pada kalangan filosof muslim dan para ulama sufi, di rentang waktu hingga akhir abad keenam hijrah.
Ini bukan bahasan yang mudah. Kesulitan yang dihadapi dalam mengerjakan disertasi ini antara lain karena sangat beragamnya pemikiran dan pendapat para filosof muslim dan ulama sufi dalam masalah ini. Perbedaan pendapat yang besar tersebut juga terdapat di kalangan internal filosof muslim sendiri, maupun di kalangan ulama sufi. Masing-masing tokoh mempunyai pendapat sendiri, sikap tersendiri, dan metodologi sendiri dalam masalah ini.
Kesulitan lainnya adalah karena perbedaan mendasar bangunan keilmuan antara kalangan filosof Muslim dengan para sufi. Jika para filosof muslim sangat mengandalkan akal dan logika untuk mengetahui hakikat segala sesuatu, bahkan tak jarang mereka tak segan menundukkan semua referensi keilmuan, termasuk Al Qur`an dan Sunnah Nabi saw kepada kuasa akal, ditemukan bahwa para ulama sufi di samping berpedoman pada Al Qur`an dan Sunnah, mereka juga mengandalkan dzauq dan wijdan. Untuk mendalami semua itu diperlukan energi yang besar. Apalagi untuk melakukan studi perbandingan.
Setelah mengkaji topik ini dengan seksama, Dr. Hayyie menemukan sejumlah kesimpulan, antara lain:
(1) Terdapat perbedaan pendapat yang besar dan mendasar antara kalangan filosof muslim dan para ulama sufi dalam mendefinisikan aqal, juga dalam memetakan sumber pengetahuan manusia. Dalam masalah ini, mayoritas filosof muslim mengikuti pendapat para filosof Yunani dan metodologi mereka. Termasuk masalah nafs dan perjalanan nafs atau jiwa, setelah kematian. Meskipun dapat dilihat adanya usaha mereka untuk melepaskan diri dari pengaruh filosof Yunani dan metodologi mereka, namun mereka tidak mampu melepaskan diri secara utuh dari pengaruh mereka, sehingga sering kali kita dapati mereka meninggalkan satu pendapat seorang filosof Yunani, namun sebagai gantinya mereka mengadopsi pendapat seorang filosof Yunani lainnya. Dan mereka berputar dalam pendapat-pendapat tersebut tanpa mampu keluar darinya.
Sedangkan di kalangan ulama sufi, didapati mereka berusaha mencari dari Al Qur`an dan sunnah sumber dan landasan dalam mendefinisikan aqal dan sumber ilmu pengetahuan. Dengan kenyataan seperti itu, didapati kecenderungan mayoritas filosof muslim untuk taqlid kepada para filosof Yunani dalam mendefinisikan makna aql dan sumber-sumber pengetahuan manusia. Sementara pada mayoritas ulama sufi yang berada dalam rentang waktu riset ini, didapati kecenderungan mereka untuk mencari orisinalitas dalam masalah ini.
(2). Dalam kajian nafs atau jiwa, dapat dikatakan bahwa para filosof Muslim cenderung mengkaji tentang hakikat jiwa, seperti yang dilakukan oleh para filosof Yunani, yang melihat segala hal dengan kaca mata pembedaan antara materi dan substansi, dan memandang jiwa sebagai bentuk gerak, berkembang, dan mengkonsumsi makanan. Sedangkan para ulama sufi memokuskan perhatian mereka pada kecenderungan jiwa, kerja-kerja jiwa, dan pengaruhnya pada perilaku manusia, kemudian menggunakan pengetahuan mereka tentang jiwa atau nafs tersebut untuk mengantarkan manusia menuju kebahagiaan di dunia dan di kehidupan setelah kematian. Dan tampaknya, psikologi modern mengadopsi kecenderungan ini dalam mengkaji jiwa, dengan memokuskan perhatian pada fenomena perilak manusia, faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku manusia, motif perilaku manusia, dan pengaruhnya dalam pola perilaku manusia secara umum, dan meninggalkan kajian tentang hakikat jiwa.
Kita mengucapkan rasa syukur dan tahniah atas kelulusan doktor dari dua orang aktivis dan cendekiawan Muslim ini. Kita berharap dan mendoakan semoga ilmu mereka bermanfaat dan terus dikembangkan serta diamalkan.
Kita mengingatkan juga, agar para cendekiawan tidak terjebak pada penyakit “linierisme” yang enggan mengkaji berbagai masalah keilmuan yang sedang dihadapi oleh umat Islam saat ini. Apa pun bidang studi formalnya, Dr. Tiar dan Dr. Hayyie dituntut untuk tampil sebagai ulama pewaris Nabi, yang mewarisi sifat-sifat kenabian seperti jujur, amanah, tabligh, fathonah, zuhud, dan sebagainya.
Sekali lagi, selamat dan segera bersiap-siap menerima tugas yang lebih besar, sesuai kemampuan. Umat sudah menunggu!