Home Artikel Santri Beradab

Santri Beradab

3616
0

Pemerintah akhirnya menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Penetapan itu merujuk kepada “perjuangan KH Hasyim Asy’ari” yang telah mengeluarkan Resolusi Jihad. Keluarnya Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari itu merupakan peristiwa sejarah yang hebat.  Ketika itu, KH Hasyim Asy’ari selain menjabat sebagai Rois Am NU, juga memimpin Majelis Syuro Masyumi, yang wakil ketuanya adalah Ki Bagus Hadikusumo, ketua Muhammadiyah.

Isi Resolusi Jihad itu sungguh luar biasa. Diantaranya: umat Islam wajib berjuang mengangkat senjata melawan penjajah yang hendak kembali ke Indonesia. Kewajiban itu adalah suatu “jihad fi-sabilillah” yang menjadi kewajiban bagi tiap orang Islam (fardhu ain) yang berada dalam jarak radius 94 km (yakni jarak dimana umat Islam boleh melakukan shalat jama’ dan qasar). Adapun bagi mereka yang berada di luar jarak tersebut, berkewajiban membantu saudara-saudaranya yang berada dalam jarak 94 km tersebut.

Pandangan KH Hasyim Asy’ari dan para ulama bahwa kemerdekaan Indonesia wajib dipertahankan, menarik untuk disimak. Meskipun umat Islam baru menerima kenyataan bahwa pada 18 Agustus 1945 terjadi perubahan dalam beberapa bagian UUD 1945, khususnya hal-hal yang terkait dengan pelaksanaan syariat Islam di Indonesia, tetapi para ulama di bawah pimpinan KH Hasyim Asy’ari tetap menyatakan, bahwa kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan.

Sangat jelas, bahwa semangat mempertahankan kemerdekaan dan melawan penjajah didasarkan pada pijakan iman dan ajaran Islam. Semangat keagamaan inilah yang menjadikan para ulama dan santri tidak mengenal rasa takut dalam menghadapi kekuatan dengan persenjataan yang jauh lebih dahsyat. Para ulama itu menjadikan Islam sebagai dasar berpikir dan bertindak dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam aspek kehidupan kenegaraan. Bisa dipahami, jika dalam perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara, para ulama itu tetap konsisten menggunakan Islam sebagai dasar perjuangan mereka. Inilah adab bernegara yang dicontohkan oleh KH Hasyim Asy’ari.

Maka, adalah bagian dari adab umat Islam terhadap para pahlawannya, untuk menjadikan pemikiran dan akhlak para pahlawan itu sebagai teladan kehidupan. Tidak cukup hanya dikenang dan diperingati peristiwanya. Apalagi, K.H. Hasyim Asy’ari, juga menulis sebuah buku penting dalam masalah adab yaitu, Adabul ‘Alim wal-Muta’allim.  Terjemahan harfiahnya: Adab Guru dan Murid.  Kyai Hasyim Asy’ari membuka kitabnya dengan mengutip hadits Rasulullah saw: “Haqqul waladi ‘alaa waalidihi an-yuhsina ismahu, wa yuhsina murdhi’ahu, wa yuhsina adabahu.”  (Hak seorang anak atas orang tuanya adalah mendapatkan nama yang baik, pengasuhan yang baik, dan adab yang baik).

Imam Syafi’I,  Imam mazhab yang banyak menjadi panutan kaum Muslim di Indonesia,  pernah ditanya, bagaimana upayanya dalam meraih adab? Sang Imam menjawab, bahwa ia selalu mengejar adab laksana seorang ibu yang mencari anak satu-satunya yang hilang.” Demikianlah sebagian penjelasan KH. Hasyim Asy’ari tentang makna adab.

Ulama besar dan sastrawan dari Riau, Raja Ali Haji pun  telah menyinggung tentang pentingnya akal adan adab.  Ia menyatakan kelebihan seorang manusia adalah  pada akal dan adab dan bukan pada janis bangsa dan asal.  Maka, dalam kitabnya,  Bustan al Katibin,  yang ditulisnya tahun 1850,  ia menyatakan: “Jikalau beberapa pun bangsa jika tiada ilmu dan akal dan adab, ke bawah juga jatuhnya, yakni kehinaan juga diperolehnya.”

Maka agar seseorang, masyarakat atau bangsa itu menjadi mulia, Ali Haji menasehatkan agar individu-individu itu memahami agama.  Sebagaimana hadits Rasulullah saw yang terkenal: “Barangsiapa dikehendaki Allah kebaikan, maka ia diberi pemahaman kepada ilmu agama (ad diin).”

Adab ilmu

Jika adab hilang pada diri seseorang, maka akan mengakibatkan kezaliman, kebodohan dan menuruti hawa nafsu yang merusak. Karena itu, adab mesti ditanamkan pada seluruh manusia dalam berbagai lapisan, pada murid, guru, pemimpin rumah tangga, pemimpin bisnis, pemimpin masyarakat dan lainnya. Bagi orang-orang yang memegang institusi, bila tidak terdapat adab, maka akan terjadi kerusakan yang lebih parah. Awal mula kehancuran adalah rusaknya adab terhadap ilmu.

Menurut Prof. Wan Mohd. Nor Wan Daud, pakar pendidikan dari Universiti Teknologi Malaysia (UTM):  ”Gejala penyalahgunaan kuasa, penipuan, pelbagai jenis rasuah, politik uang, pemubaziran, kehilangan keberanian dan keadilan, sikap malas dan ’sambil lewa’, kegagalan pemimpin rumah tangga dan sebagainya mencerminkan masalah pokok ini.”

Islam memandang kedudukan ilmu sangatlah penting, sebagai jalan mengenal Allah dan beribadah kepada-Nya. Ilmu juga satu-satunya jalan meraih adab. Orang yang berilmu (ulama) adalah pewaris nabi. Karena itu, dalam Kitab Bidayatul Hidayah, Imam Al-Ghazali mengingatkan, orang yang mencari ilmu dengan niat yang salah, untuk mencari keuntungan duniawi dan mendapat pujian manusia, itu sama saja dengan menghancurkan agama.

Dalam kitabnya, Adabul ‘Alim wal-Muta’allim, KH Hasyim Asy’ari juga mengutip hadits Rasulullah saw: “Barangsiapa mencari ilmu bukan karena Allah atau ia mengharapkan selain keridhaan Allah Ta’ala, maka bersiaplah dia mendapatkan tempat di neraka.”

Kedudukan ilmu begitu mulianya dalam Islam. Bagi dunia pesantren, Kitab-kitab adab dalam ilmu, seperti Ta’limul Muta’allim, juga kitabnya Kyai Hasyim Asy’ari, sudah sangat akrab. Saat masih menimba ilmu di Pesantren (1981-1984), para santri membuat pepatah plesetan Bahasa Arab-Jawa: “man laisal adab, faqad wajaba santap!”  Siapa yang tidak punya adab, maka wajib dipukul!

Begitu mulianya kedudukan ilmu dalam Islam – untuk mengenal Allah dan petunjuk jalan manjadi manusia baik —  maka seorang yang beradab tidak akan menyia-nyiakan umurnya untuk mengejar ilmu yang tidak bermanfaat, atau salah niat dalam meraih ilmu. Sebab, akibatnya sangat fatal. Ia tidak akan pernah mengenal Allah, tidak akan pernah meraih kebahagiaan sejati. “ Hanya dengan mengenal dan berzikir kepada Allah, maka hati akan menjadi tenang. “ ( Ar raad;28 )

Maka, belajarlah ilmu yang benar! Belajarlah dengan niat yang benar! Jadilah santri yang beradab!  Maka sungguh merupakan penodaan besar pada ajaran KH Hasyim Asy’ari jika para santri kemudian mengejar ilmu untuk kepentingan dunia. Apalagi sampai menjual ilmu untuk merusak agama! Na’udzubillahi min dzalika. (Khartoum, 26 Oktober 2015).

Oleh: Dr. Adian Husaini

Leave a Reply