Dalam khazanah pemikiran liberal kontemporer, salah satu juru kampanye yang cukup berpengaruh adalah Muhammad Sa`id al-Asymawi. Alumnus Fakultas Hukum Universitas Farouk II tahun 1955 ini pernah menjadi hakim di pengadilan negeri Kairo dan Alexandria, sebelum akhirnya menjabat sebagai kepala pengadilan tinggi. Di antara karya-karyanya: Ushūl al-Syari’ah (Prinsip-prinsip Syariah), al-Ribā wal’ Fāidah fi al-Islām (Riba dan Bunga Bank dalam Islam), al-Islām al-Siyāsi (Islam Politik), Jawhar al-Islām (Esensi Islam), al-Khilāfah al-Islāmiyah (Pemerintahan Islam), serta Haqiqat al-Hijāb wa Hujjiyat al-Sunnah (Hakikat Jilbab dan Validitas Sunnah sebagai Dalil). Namun, bukunya yang paling memicu kontroversi adalah Al-Islām al-Siyāsi dan Haqiqat al-Hijāb wa Hujjiyat al-Sunnah.
Sebagai seorang praktisi hukum kawakan, Asymawi sangat piawai bermain retorika serta logika. Dan ia memanfaatkan betul kepiawaian tersebut untuk menjual ide-ide liberalnya. Sehingga, sekilas, setiap argumen yang ia paparkan terdengar logis, dan dibungkus dengan kemasan retorika yang menarik.
Soal jilbab, misalnya, dengan mengutak-atik asbab nuzul ayat-ayat Al-Quran tentang jilbab, Asymawi terang-terangan mengatakan jilbab tidak wajib, dan sama sekali bukan bagian dari agama. Ia berusaha mengecoh publik dengan menyimpulkan bahwa jilbab hanya syariat yang bersifat temporal; berlaku di zaman Nabi SAW saja, karena alasan-alasan tertentu.
Mantan dosen American University in Cairo (AUC) ini juga mempersoalkan status hadis āhād yang acap digunakan sebagai dalil diwajibkannya jilbab. Menurutnya, hadis yang diriwayatkan oleh seorang Sahabat Nabi saja (āhād), tidak bisa dijadikan landasan produk hukum yang diklaim sebagai syariat. Terlebih, yang mengandung konsekuensi pahala dan dosa.
Tetapi bila menelaah pendapat ulama tafsir dan fikih dalam masalah ini, apa yang dilontarkan Asymawi terbukti hanya untuk memenuhi syahwat liberalnya semata. Argumen-argumennya tidak berdasar dan banyak mengandung celah kritik. Imam Abu Bakar al-Jashshāsh, al-Qurthubi, al-Khāzin, Ibnu ‘Athiyyah, dan Ibnu Katsir – untuk menyebutkan sebagian saja — secara gamblang menegaskan wajibnya jilbab serta batasan-batasan aurat muslimah. Dan tak satu pun berpendapat bahwa itu hanya berlaku di zaman Nabi SAW. Begitu pula soal hadis āhād. Sejak zaman Sahabat RA, hadis āhād disepakati bisa dijadikan landasan hukum. Baik dalam praktik ibadah maupun muamalat. Bahkan, dalam masalah-masalah akidah sekalipun.
Tak hanya soal jilbab, pemikiran liberal Asymawi juga menjamah rukun Islam yang keempat: zakat. Menurutnya, pemungutan zakat dari kaum muslim cuma hak Nabi SAW, dan tak seorang pun berhak melakukannya sepeninggal beliau. Apa yang dilakukan Abu Bakar r.a. dengan memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat, merupakan suatu kelancangan atas hak prerogatif Nabi SAW (al-Khilāfah al-Islāmiyah, Sinai, h. 106-107).
Sementara dalam “al-Islām al-Siyāsi”, di antara kampanye liberalisasi syariat ala Asymawi adalah tuntutannya agar sanksi bagi peminum Khamr dicabut. Karena, menurutnya, tak ada dalil yang mengatur sanksi bagi peminum dan penjual khamr. Baik dalam Al-Quran maupun sunah Nabi SAW. Lontaran-lontaran kontroversial semacam inilah yang kemudian mengantarkan Asymawi ke jajaran juru kampanye liberalisme garda depan.
Uniknya, lewat berbagai pemikiran liberalnya tersebut, Asymawi justru mengklaim sebagai seorang mujtahid. Dalam sebuah wawancara yang dimuat “Hiwār hawla Qadhāyā Islāmiyah”, ia menyatakan, “Selain kaum literalis yang jumud, saya yakin terdapat kaum rasional yang tercerahkan dalam umat ini. Mulai dari Muhammad Abduh, dan dilanjutkan oleh beberapa mujtahid seperti saya.” (***)
Penulis: Abdullah Hakam Shah, MA
(Dosen STEI Husnayain