Di sekitar pekan pertama November 2003, media massa internasional banyak menyorot berita pelantikan Gene Robinson (seorang gay) menjadi uskup di Keuskupan New Hampshire AS, pada Hari Minggu, 2 November 2003.
Peristiwa itu adalah yang pertama dalam sejarah Kristen, yang kali ini terjadi di lingkungan Gereja Anglikan. Oleh Uskup Besar (Archbishop) of Canterbury, Reverend Rowan William, dikatakan, pelantikan Robinson itu akan membawa konsekuensi yang serius bagi keutuhan komunitas Gereja Anglikan.
Agustus 2003, menyusul terpilihnya Robinson, melalui satu pemungutan suara, William sudah meramalkan akan terjadinya masa-masa sulit bagi Gereja Anglikan, yang memiliki pemeluk sekitar 70 juta orang di 160 negara. (Di Jakarta, Geraja Anglikan terletak di depan Kantor PP Muhammadiyah Menteng Raya). Bahkan, ada yang memperkirakan akan terjadinya “perpecahan besar” di lingkungan Geraja, gara-gara kasus Robinson.
Tentu saja pelantikan ini memancing pro-kontra secara luas. Namun, Robinson menyatakan, gerejanya akan menjadi semakin kuat, dengan adanya kehebohan itu. Posisi yang ditempati Robinson merupakan jabatan tertinggi yang pernah dicapai oleh seorang gay di lingkungan Gereja.
Usai pelantikannya, dengan diiringi tangis keharuan, Robinson menyatakan, bahwa ia merasa mendapatkan kehormatan yang amat sangat. “You cannot imagine what an honor it is for you to have called me,” kata Robinson. Namun, ia mengakui, banyak orang di lingkungan gereja yang “sangat terluka” dengan promosinya.
Sejumlah media internasional menggunakan istilah yang menarik untuk menggambarkan pro-kontra terhadap pengangkatan Robinson ini, dengan menyebutkan, bahwa yang marah terhadap Robinson adalah “kalangan konservartif” di lingkungan geraja (church conservatives), yang percaya bahwa praktik gay dan lesbian bertentangan dengan ajaran Kristen.
Agustus 2003, kantor berita AFP menulis, bahwa “Conservative Anglicans” di berbagai dunia takut bahwa sayap liberal (liberal wing) dari gereja ini akan lebih maju lagi mempromosikan perkawinan homoseksual. Jadi, yang menentang Robinson dicap sebagai “konservatif” dan yang mendukungnya diberi label “liberal”.
Yang menarik, meskipun menghadapi kecaman dari berbagai penjuru dunia, pelantikan Robinson sendiri berjalan mulus. Para pastor yang hadir dalam acara pelantikan Robinson di arena hoki University of New Hampshire, antri untuk memberikan ucapan selamat kepada Robinson.
CNN melaporkan, hanya sedikit orang saja yang berdemonstrasi di luar arena, menentang pelantikan Robinson. Mantan Uskup New Hampshire, Reverend Douglas Theuner, yang hadir dalam pelantikan itu, berpidato memberikan dukungan terhadap Robinson, dengan menyatakan: “You are no more or less a child of God like everyone else.”
Dari ratusan pastor yang hadir, hanya tiga orang yang maju ke depan, dan menentang penobatan Robinson. Seorang menyatakan, bahwa pelantikan Robinson merupakan “kesalahan yang mengerikan” (terrible mistake).
Robinson (56 tahun), memang dikenal sebagai pelaku homoseksual yang terang-terangan. Ia telah hidup bersama dengan pasangan homoseks-nya bernama Mark Andrew, selama 14 tahun. Bisa dibayangkan, selama ia menjadi tokoh gerejapun, sebenarnya publik telah mengatahui perilakunya.
Dalam acara penobatannya sebagai Uskup, Mark Andrew-lah yang menyerahkan topi keuskupan (bishop’s miter) kepada Robinson. Di akhir upacara penobatannya, Gene Robinson menatap publik, dan bersama-sama mereka menyanyikan lagu “Hallelujah”.
Dalam UU Ke-gerejaan di AS, pemilihan uskup dilakukan oleh masyarakat dan pemuka gereja, yang kemudian dikukuhkan melalui konvensi nasional dan selanjutnya melalui satu penobatan (konsekrasi). Agustus 2003, Keuskupan Gereja di AS, melakukan Konvensi Umum di Minneapolis, dan mengokohkan terpilihnya Robinson sebagai Uskup New Hampshire.
Terpilihnya Gene Robinson sebagai tokoh penting dalam Gereja bisa dikatakan sebagai satu puncak kesuksesan gerakan liberalisasi di dunia Kristen. Mereka berhasil menjungkirbalikkan satu ketentuan yang sangat tegas di dalam Bible, yang mengutuk perbuatan homoseksual.
Dalam Kitab Imamat 20:13 disebutkan: “Bila seorang laki-laki tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, jadi keduanya melakukan suatu kekejian, pastilah mereka dihukum mati dan darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri.”
Dalam sejumlah versi Bible, juga dijelaskan, bahwa hukuman buat pelaku homoseksual adalah hukuman mati. The Living Bible menulis Leviticus, 20:13: “The penalty for homosexual acts is death to both parties. They have brought it upon themselves.” Sedangkan dalam King James Version ayat ini ditulis: “If a man also lie with mankind, as he lieth with a woman, both of them have committed an abomination: they shall surely be put to death; their blood shall be upon them.”
Namun, seperti diketahui, arus liberalisasi di dunia Kristen begitu kuat berlangsung. Jika selama ini, baru masyarakat dan negara Belanda yang mengesahkan perkawinan homoseksual, maka kasus Gene Robinson akan memberikan dampak lebih hebat lagi, karena perbuatan yang salah itu telah mendapatkan justifikasi keagamaan.
Arus liberalisasi Gereja ini sudah cukup lama menerjang. Termasuk, di antaranya, agar gereja mulai menerima praktik-praktik homoseksualitas. Beberapa tahun lalu, Eric James, seorang pejabat gereja Inggris, dalam bukunya berjudul “Homosexuality and a Pastoral Church” mengimbau agar gereja memberikan toleransi pada kehidupan homoseksual dan mengijinkan perkawinan homoseksual antara pria dengan pria atau wanita dengan wanita.
Sebenarnya, jika dilihat dari sejarah Gereja Anglikan sendiri, kasus-kasus seksual semacam ini tidaklah terlalu aneh. Gereja Anglikan terbentuk sebagai bagian dari gerekan Reformasi di tubuh Gereja Katolik, khususnya yang terjadi di Inggris. Kasusnya juga bermula dari urusan seksual. Gara-gara Paus tidak merestui perceraiannya dengan istrinya, Catharine of Aragon, –dan keinginannya untuk mengawini Anne Boleyn- Raja Henry VIII (1491-1547), nekad membuat keputusan sendiri, dan memisahkan Gereja Inggris dari Kepausan Katolik Roma. Henry menerapkan kebijakan keras terhadap setiap penentangnya. Thomas More, salah seorang penasehat Kerajaan, termasuk yang dipenggal kepalanya, karena menentang sikap Henry VIII. Kasus Henry VIII ini selanjutnya menyebabkan konflik berdarah yang sangat mengerikan antara Protestan dan Katolik dalam perebutan tahta kerajaan Inggris.
Kesuksesan Elizabeth I (memerintah 1558-1603) dalam memimpin Inggris, akhirnya turut mengokohkan eksistensi Gereja Inggris yang selanjutnya dikenal sebagai Gereja Anglikan (Anglicanism). Sebuah Film berjudul “Elizabeth” memberikan gambaran bagaimana konflik berdarah yang sangat mengerikan terjadi antara Katolik dan Protestan dalam sejarah perebutan tahta Inggris.
Encyclopaedia of Religion menulis, bahwa salah satu karakteristik Anglicanism adalah usahanya untuk memegang element-elemen Katolik dan Protestan dalam satu jalan tengah.
Tahun 1960-an, mulai dilakukan upaya-upaya serius untuk menyatukan kembali antara Gereja Anglikan dengan Katolik Roma. Ketika Paus Johanes Paulus II berkunjung ke Inggris, tahun 1982, ia dan Uskup Agung Canterbury, Runcie, menandatangani satu “Common Declaration” untuk pembentukan satu komisi yang bertugas mempelajari isu-isu teologis, masalah pastoral, dan langkah-langkah praktis menuju tahap berikutnya ke arah penyatuan kembali Anglikan dan Katolik Roma. Namun, hingga kini, hal itu belum terwujud.
Soal homoseksual juga bukan hal baru dalam sejarah Gereja. Dunia Kristen kini mengenal satu Bible versi King James, atau King James Version. Bible versi ini sangat terkenal. King James yang dimaksud di sini adalah Raja Inggris yang dikenal dengan nama Stuart King James VI of Scotland, dan menjadi King James I of England. Ia memerintah tahun 1603, menggantikan Elizabeth I, dan meninggal tahun 1625. Ia tampaknya seorang Raja yang kontroversial. Pada satu sisi, atas jasanya memelopori penulisan Bible “King James Version”, ia sangat dihormati. Dalam pembukaan Bible King James Version, terdapat ungkapan pujian khusus untuk King James ini: “To the Most High and Mighty Prince, JAMES, By the Grace of God, King of Great Britain, France, and Ireland, Defender of faith, Etc.”
Jadi, King James mendapatkan julukan yang sangat mulia, yaitu sebagai “Defender of Faith”, “Sang Pembela Agama”. Namun, sejarawan Barat, seperti Philip J. Adler, menyebutnya sebagai seorang yang arogan dan pelaku homoseks yang terang-terangan (blatant homosexual). Namun, buku “Who’s Who in Christianity”, (1998), sama sekali tidak menyinggung soal perilaku homoseksual King James ini. Henry VIII-pun sebelum “berantem” dengan Paus, mendapat gelar dari Paus sebagai “Defender of the Faith”, setelah Henry menulis satu panflet yang menentang ajaran Martin Luther.
Persoalan seksual dan kekerasan sebenarnya begitu banyak mendapatkan perhatian dalam Bible. Bahkan, tokoh Lot (Luth), yang digambarkan sebagai tokoh penentang praktik homoseksual, juga digambarkan berzina dengan anak perempuannya sendiri. Kitab Kejadian 19:30-38 dalam Perjanjian Lama, menceritakan kisah perzinaan Lot dengan kedua anak perempuannya sendiri dan akhirnya melahirkan anak dari kedua anaknya itu. Dari anak yang lebih tua lahir anak yang diberi nama Moab, dan dari anak yang lebih muda, lahir cucu Lot yang diberi nama Ben-Ami: (30) Pergilah Lot dari Zoar dan ia menetap bersama-sama dengan kedua anaknya perempuan di pegunungan, sebab ia tidak berani tinggal di Zoar, maka diambillah ia dalam suatu goa beserta kedua anaknya. (31) Kata kakaknya kepada adiknya: “Ayah kita telah tua, dan tidak ada laki-laki di negeri ini yang dapat menghampiri kita, seperti kebiasaan seluruh bumi. (32) Marilah kita beri ayah kita minum anggur, lalu kita tidur dengan dia, supaya kita menyambung keturunan dari ayah kita. (33) Pada malam itu mereka memberi ayah mereka minum anggur, lalu masuklah yang lebih tua untuk tidur dengan ayahnya; dan ayahnya itu tidak mengetahui ketika anaknya itu tidur dan ketika ia bangun. (34) Keesokan harinya berkatalah kakaknya kepada adiknya: “Tadi malam aku telah tidur dengan ayah; baiklah malam ini juga kita beri dia minum anggur; masuklah engkau untuk tidur dengan dia, supaya kita menyambung keturunan dari ayah kita.” (35) Demikianlah juga pada malam itu mereka memberi ayah mereka minum anggur, lalu bangunlah yang lebih muda untuk tidur dengan ayahnya; dan ayahnya itu tidak mengetahui ketika anaknya itu tidur dan ketika ia bangun. (36) Lalu mengandunglah kedua anak Lot itu dari ayah mereka. (37) Yang lebih tua melahirkan seorang anak laki-laki, dan menamainya Moab; dialah bapa orang Moab yang ada sekarang. (38) yang lebih muda pun melahirkan seorang anak laki-laki, dan menamainya Ben-Ami; dialah bapa bani Amon yang sekarang.”
Penggambaran Bible tentang Lot itu sangat berbeda dengan konsep al-Qur’an yang menggambarkan sosok Luth a.s. sebagai nabi utusan Allah yang saleh. Al-Qur’an menegaskan: “Sesungguhnya Luth benar-benar seorang Rasul.” (al-Shaffat: 133). Dalam konsep Islam, seorang rasul, seperti Luth, pasti memiliki sifat ma’shum, terjaga dari dosa.
Kisah Gene Robinson, seorang gay yang menduduki jabatan tinggi dalam hirarki Gereja, perlu menjadi perhatian serius bagi kalangan Muslim yang aktif melakukan gerakan liberalisasi di kalangan Muslim. Dalam kadar yang sedikit lebih rendah, hal seperti itu sebenarnya sudah terjadi. Kalangan liberal yang berusaha membongkar sendi-sendi penting dalam ajaran Islam, diberikan posisi-posisi penting dalam lembaga keagamaan dan mendapatkan dukungan luas oleh media massa. Para pengkritiknya dicap sebagai kaum konservatif, golongan tua, dan sebagainya.
Kasus tarian erotis Inul yang mendapat dukungan sebagian orang yang bergelar kyai, bisa dilihat sebagai satu contoh. Majalah GATRA edisi 18 Oktober 2003 melaporkan, seorang cendekiawan lulusan Al Azhar University Cairo, yang membela sejumlah aktivis organisasi Islam yang tidak melakukan sholat. Kata dia, “Itu bukan bentuk kemalasan, melainkan ungkapan kritik dan kegelisahan mereka pada kemandulan fungsi sosial agama.” Anak-anak yang meninggalkan sholat itu, katanya, meninggalkan sholat ritual, tetapi melakukan sholat sosial. Oleh GATRA, kalangan liberal ini diberi julukan sebagai kaum progresif, sementara yang kontra dicap sebagai berpandangan konservatif kalangan tua.
Berpikir tidak dilarang. Tetapi, penyebaran pemikiran yang salah ke tengah masyarakat tentu ada batasan-batasannya. Negara-negara liberal sendiri melarang, misalnya, penyebaran paham rasialisme. Kasus Gene Robinson kembali membuktikan, kaum agamawan Kristen, kelabakan menghadapi arus liberalisasi di dalam tubuh gereja.
Hal yang sama kini juga melanda kalangan Yahudi. Di Israel, kelompok gay dan lesbian berkumpul dalam satu organisasi yang kuat dikenal sebagai “Agudah”. Kelompok ini sangat berpengaruh dalam politik Israel, sehingga banyak partai politik meminta dukungan dari kelompok ini. Koran Haaretz, 25 Oktober 2003, melaporkan sejumlah tokoh politik di Israel yang berlomba-lomba memberikan dukungan terhadap Agudah. Dulu, yang mendukung Agudah hanya Partai “Kiri” Meretz. Tetapi, kini tokoh-tokoh Likud yang konservatif pun ikut mendukungnya.
Bagaimana dengan Islam? Kita tunggu, apakah akan ada kyai yang menyerukan dukungan buat praktik homoseksualitas? Jika mau tahu, amatilah dukungan yang diberikan sejumlah tokoh dan organisasi Islam terhadap tokoh Gay Indonesia, Dr. Dede Oetomo. Wallahu a’lam.
KL, 6 November 2003