Pada pada tahun 1970 dan 1972 Nurcholis Madjid (NM) melempar gagasan sekularisasi. Temanya Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Penyegaran Kembali Pemahaman Keagamaan. Sesudah itu pemikirannya disebut oleh rekan-rekannya sebagai “pembaharuan” dalam Islam. Pada era reformasi tahun 2000 an sekolompok anak muda melemparkan gagasan liberalisasi pemikiran keagamaan Islam. Dimana-mana muncul tulisan “Islam liberal”, “liberalisasi pemikiran Islam”, dekonstruksi syariah dsb. Dan sama, secara implisist mereka mengklaim pemikiran mereka adalah “pembaharuan” dalam Islam. Dikalangan akademisi, juga muncul upaya-upaya yang menggugat berbagai aspek aqidah (teologi), dan syariah termasuk kitab suci dan Hadith Nabi. Inipun diklaim sebagai “pembaharuan Islam”.
Geneologi pemikiran yang diklaim “pembaharuan” itu jelas sekali dari Barat. Pertama sekularisasi yang digagasa NM berasal dari terma modernism, berlatar belakang ajaran Bible “berikan hak tuhan pada tuhan dan berikan hak raja kepada raja”. Ini kemudian menjadi dalil pemisahan agama dan gereja. Para saintis mengembangkannya menjadi doktrin epistemologi dualisme dan dichotomy. Akhirnya agama dan sains, jiwa dan raga, obyektif dan subyektif, rasional dan empiris seperti dua kutub yang tak pernah bersatu. Ini jelas bertentangan dengan doktrin tawhid dalam Islam.
Selain dari doktrin modernisme, gagasan NM berasal dari teologi Protestan. Ia merujuk buku Harvey Cox, The Secular City. Dari “copy” gagasan Cox itu NM menyimpulkan bahwa syahadah adalah sekularisasi bersar-besaran. Kalimat dalam Bible dimodifikasi NM menjadi “menduniakan hal-hal yang duniawi dan mengukhrawikan hal-hal yang ukhrawi”. Padahal, syahadah tidak dapat dipisahkan secara dichotomis, iman secara separo-separo juga berdosa.
Padahal, di Barat sendiri kini, ide sekularisme dianggap menyesatkan. Eatine Gilson menyalahkan Islam, gara-gara teori double truth Ibn Rusyd Barat menjadi sekuler. Gara-gara sekularisme agama di Barat ditinggalkan orang dan para pendetana pun menyesali spirituality has gone to the east. Dalam seminar Islamic Philosophy and Science tahun 1992 di Pinang, Malaysia, John Esposito menyatakan bahwa Barat sekarang dalam keadaan dead-lock. Karena Barat tidak pernah bisa menyatukan dualisme dan dichotomy.
Tidak seperti sekularisme, geneologi liberalisme lebih kasat mata. Meski di Barat liberalisme seumur modernisme, tapi menjadi sangat intens diera postmodernisme. Jika inti dari postmodernisme adalah relativisme, dekonstruksi, anti-otoritas, persamaan (equality), dan pluralisme, maka liberalisme adalah idem ditto.
Yang menyolok liberalisme dan juga postmodernisme itu diposisikan berhadapan dengan fundamentalisme religius. Dalam situs Kedutaan Besar AS disebutkan program “Mengembangkan paham pluralisme dan toleransi untuk menghadapi ekstrimisme”. Jadi pluralisme tujuannya adalah untuk itu. Tidak heran jika kemudian kelompok liberal di Indonesia muncul dalam posisi memusuhi kelompok yang mereka sebut “fundamentalis”. Pluralisme seperti diklaim sebagai hal baru dalam Islam. Padahal jika maknanya adalah toleransi, Islam sudah matang bertoleransi sejak ia lahir. Dan jika maknanya adalah relativisme maka pluralisme tidak lebih dari kepanjangan tangan dari postmodernisme.
Lebih dari itu, klaim “pembaharuan” kelompok liberal itu sejatinya tidak lebih dari justifikasi paham feminisme dan kesetaraan gender, pluralisme, teori hermenutika, teori dekonstruksi kedalam studi Islam. Ini semua jelas merupakan ingredient liberalisme dan postmodernisme. Akhirnya unsur konsep Islamnya kalah dominan dibanding unsur Baratnya. Dan menurut Foucault itu semua adalah penjajahan wacana.
Jadi ternyata “pembaharuan” telah diartikan sebagai modifikasi dan aplikasi faham Barat asing kedalam pemikiran Islam. Jika demikian maka pembaharuan adalah perubahan terus menerus yang tidak ada jalan kembali seperti Barat. Pembaharuan menjadi dekonstruksi kepercayaan masa lalu menjadi kontemporer. Penafian makna-makna teks secara kontekstual dan sosial sehingga sesuai dengan tuntutan masyarakat sekuler dan liberal.
Akhirnya, jika “pembaharuan” diartikan liberalasi dan sekulerisasi maka beberapa konsekuensi logis terpaksa harus diterima. Pertama, Islam akan menjadi terbarukan jika meniru faham-faham Barat. Kedua, jika berislam tapi menentang kesetaraan gender, pluralisme, demokrasi, hermenutika berarti keislamannya salah. Ketiga, jika “pembaharuan” model itu benar berarti tajdid ulama dimasa lalu itu menjadi salah.