Hari Rabu, 9 Juli 2003, kita membaca satu berita duka, tentang meninggalnya pasangan kembar siam “dempet-kepala” asal Iran,Ladan Bijani dan Laleh Bajani. Keduanya meninggal setelah menjalani operasi yang berlangsung sekitar 53 jam di RS Raffles, Singapura. Artinya, operasi itu berlangsung lebih dari dua hari dua malam.
Segera, tangis pilu merebak, khususnya di Iran, yang beberapa hari sebelumnya, rakyatnya sudah diseru pemimpin Iran untuk mendoakan keselamatan operasi itu. Takdir Allah SWT menentukan lain dari cita-cita Ladan dan Laleh, serta harapan jutaan orang. Pupus sudah cita-cita Ladan Bijani untuk menjadi pengacara. Lenyap pula angan-angan Laleh Bajani yang ingin menjadi wartawan.
Kita yakin, kematian kedua insan itu adalah atas ketentuan takdir Allah SWT. Namun, tidak ada salahnya, kita mencermati jalannya operasi terhadap Ladan dan Laleh, dan mengambil hikmah dari kejadian itu.
Dokter Prem Kumar Nair, salah satu dokter yang menangani operasi itu, menyatakan, keduanya meninggal karena kehilangan banyak darah. Saat operasi pemisahan hampir selesai, Ladan terlebih dahulu yang kehilangan banyak darah. Disusul Laleh.
Sejak semula sudah dikatakan, operasi semacam ini sangat berisiko menewaskan salah satu atau kedua individu kembar siam. Dalam kondisi semacam ini, tentu, ketelitian, pengalaman, kesabaran, dan kecanggihan peralatan sangat menentukan keberhasilan operasi.
Ladan dan Laleh mulai menjalani operasi sejak hari Minggu (6 Juli 2003) pagi dan malam harinya, tulang tengkorak baru mulai dibuka. Operasi dilanjutkan hari Senin dengan pemisahan selaput luar otak dan pembuluh darah yang menempel.
Hari Selasa, 8 Juli 2003, pukul 14.15 WIB Ladan meninggal, sementara Laleh dalam kondisi kritis. Pukul 17.00 WIB, Laleh akhirnya juga meninggal.
Menurut Kompas Cyber Media, (9 Juli 2003), dari sejarah pemisahan craniopagus di seluruh dunia sejak tahun 1920 hingga saat ini, nyaris tak ada yang selamat keduanya. Salah satu perkecualian langka adalah kembar siam dempet kepala vertikal Pristian Yuliana dan Pristian Yuliani (16) yang tanggal 21 Oktober 1987 dapat dipisahkan Prof dr Padmosantjojo, ahli bedah saraf Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo / Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (RSCM/FKUI) di RSCM Jakarta. Namun, justru para dokter Singapura dan tim dokter dari mancanegara lainnya tak ada yang menghubungi Prof Padmosantjojo.
Hingga sekarang, teknik memisahkan perlengketan vena (pembuluh darah balik) sinus sagitalis di selaput luar otak duramater yang dilakukan Prof Padmo tak pernah diikuti oleh para pakar bedah saraf dunia lainnya karena para dokter luar negeri umumnya tidak cukup telaten.
Umumnya teknik yang dipilih adalah memberikan seluruh pembuluh darah yang seolah menyatu itu ke salah satu individu kembar siam, lalu pasangannya akan dicangkoki pembuluh darah buatan atau yang diambil dari kaki, seperti pada operasi by-pass jantung. Alternatif kedua inilah yang dilakukan para dokter di Singapura.
“Saya menduga, inilah kesalahan yang dilakukan oleh dokter-dokter bedah saraf itu. Walaupun vena sinus sagitalis tampaknya menyatu, pada dua individu kembar siam sebenarnya tetap ada dinding pemisahnya. Tak mungkin dua individu hanya memiliki satu vena di duramater otak mereka. Itu seharusnya terlihat dari hasil pemotretan dengan cairan kontras khusus untuk vena atau yang disebut phlebogram,” tutur Padmo.
Ia menuturkan, operasi pemisahan Yuliana dan Yuliani membutuhkan waktu 10 jam, dan yang paling lama adalah memisahkan perlengketan duramater otak dan sinus sagitalis setebal 2,5 mm tanpa lecet sedikitpun. Semua dilakukannya dengan mata telanjang. Tingkat risiko dan trauma operasi pada bayi seperti Yuliana dan Yuliani sebenarnya lebih tinggi dibandingkan dengan kembar siam dewasa seperti Ladan dan Laleh, yang pembuluh darahnya juga lebih besar diameternya.
Operasi pemisahan kembar siam Ladan dan Laleh dipimpin oleh pakar bedah saraf Dr Keith Goh dan Prof Walter Tan, Direktur Medik RS Raffles. Goh pernah tergabung dalam tim dokter Singapura yang mengoperasi bayi kembar siam dempet kepala asal Nepal, Ganga dan Jamuna, tahun 2002. Salah satu dari mereka ini kemudian meninggal.
Tim dokter Singapura kali ini dibantu oleh para dokter dari Amerika Serikat, Perancis, Jepang, dan Swiss. Menurut website RS Raffles, pakar bedah saraf AS yang tergabung dalam tim kali ini adalah Dr Benjamin Carson (52), Direktur Bedah Saraf Anak Fakultas Kedokteran Universitas Johns Hopkins. Bulan Juli 1987, Carson berhasil memisahkan pasangan craniopagus di Kota Ulm, Jerman.
Namun, menurut Prof Padmo, kedua bayi itu beberapa bulan kemudian meninggal setelah salah satunya mengalami koma berkepanjangan. “Karena kematian kedua bayi Jerman itu dan mendengar keberhasilan pemisahan Yuliana-Yuliani, ahli bedah saraf Dr Mario Brock dari Jerman bulan Desember 1987 datang ke Jakarta. Ia mengaku tak sanggup dan tak cukup telaten melakukan pemisahan duramater dan vena yang menempel di selaput otak, seperti yang saya lakukan. Karena itu, saya agak heran mengapa dokter Iran mengantar Ladan dan Laleh datang berkonsultasi ke Jerman tahun 1996, padahal dokter di Jerman tak punya kemampuan memisahkan craniopagus,” tuturnya.
Menurut website RS Raffles, Carson tahun 1997 menjadi terkenal karena memimpin tim dokter Afrika Selatan melakukan pemisahan pertama kali kasus craniopagus vertikal. “Ini juga misleading, salah. Operasi di Afrika Selatan itu bukanlah kasus craniopagus vertikal pertama di dunia. Yuliana dan Yuliani juga craniopagus vertikal,” kata Prof Padmo.
Menurut Prof Padmo, di tengah persaingan bisnis antar-rumah sakit di Singapura, RS Raffles coba mencari nama. Para dokternya tidak cukup rendah hati untuk mau banyak bertanya, termasuk ke dokter-dokter di Indonesia yang mungkin mereka pandang lebih rendah. Selain itu, para dokter bedah saraf Singapura belum bergabung dalam World Federation of Neurosurgery.
Kesalahan para dokter Singapura lainnya adalah dalam pemilihan tongkat komando dalam tim operasi. “Seharusnya tak perlu dokter bedah saraf yang jadi panglima operasi. Waktu saya memisahkan Yuliana dan Yuliani, yang jadi panglima adalah Prof Dr Iskandar Wahidiyat, dokter spesialis anak.”
Menurut Prof Padmo, ibarat panglima perang, pemimpin tim tak perlu langsung terjun melakukan tindakan di ruang operasi. Ia cukup melakukan kontrol semua aspek, alat, dan logistik. Keberhasilan operasi pemisahan penempelan selaput dan pembuluh darah otak dewasa ini juga amat ditentukan oleh kemajuan teknologi anestesi, bukan melulu oleh keahlian dokter bedah saraf.
Pemotongan, pembendungan, dan penyambungan vena di duramater yang dialami Ladan dan Laleh mengakibatkan keduanya mengalami peningkatan tekanan darah di otak, dan itu terbukti berakibat fatal. Akibat perubahan tekanan darah di otak itulah keduanya mengalami gangguan dan bahkan kegagalan multi-organ.
Akan halnya kembar Yuliana dan Yuliani, keduanya kini baru saja naik ke kelas dua sekolah menengah umum (SMU) di Tanjung Pinang, Riau. “Mereka masing-masing peringkat lima dan tujuh di kelasnya. Insya Allah, saya akan melaporkan hidup mereka di Kongres Dunia Bedah Saraf di Maroko, tahun 2005,” kata Prof Padmo.
Penjelasan Prof. Padmo tentang Yuliana dan Yuliani itu terasa sangat mengharukan. Sebab, ternyata ada pakar Indonesia yang sanggup bekerja lebih baik daripada dokter-dokter Singapura. Padahal, sekarang, mitos tentang “Indonesia jelek dalam segala hal” terus-menerus terbangun.
Di Malaysia, sulit sekali menemukan berita yang baik tentang Indonesia atau orang Indonesia. Citra yang terus terbentuk melalui media massa kita dan media massa internasional, Indonesia –negeri muslim terbesar di dunia– adalah kacau dan jeblok dalam segala hal. Pendidikan kita, katanya jeblok. Rumah sakit kita jeblok.
Di Pulau Penang (Malaysia), ada ratusan orang Indonesia yang berobat ke sana. Di Singapura, Presiden Megawati pun rutin check up ke sana, turut membangun citra bahwa Singapura adalah tempat berobat terbaik. Dalam hal ini, kita perlu puji sikap mantan Presiden Soeharto, yang hanya sekali check-up ginjal ke Jerman, setelah didesak oleh Habibie. Soeharto masih tetap percaya kepada rumah-rumah sakit dan dokter- dokter Indonesia. Bahkan, ketika akhirnya ia harus mengalami stroke yang cukup parah. Ia tetap memilih RS Pertamina.
Mitos bahwa Singapura hebat ternyata tidaklah faktual, sebagaimana penjelasan Prof. Padmo. Tentu, bukan berarti kita tidak harus introspeksi tentang berbagai kelemahan kita.
Tampaknya, media massa kita perlu melakukan introspeksi untuk terus mempertahankan jargon di kalangan media massa: “bad news is good news”. Berita buruk adalah berita baik. Jargon itu, pada satu sisi, telah memunculkan wajah kita yang amburadul, sebab media adalah cermin masyarakat, media adalah etalase masyarakat.
Kita memang punya pemimpin yang lemah, kita memang punya tingkat korupsi yang tinggi, sebentar lagi ribuan lagi TKI illegal dari Indonesia akan diusir lagi dari Malaysia, Human Development Indeks kita rendah, angka kriminalitas tinggi, tingkat korupsi jangan ditanya lagi, dan berbagai rapor negatif lainnya.
Tapi, bukan berarti kita tidak punya sifat dan wajah positif. Oleh orang Malaysia, orang Indonesia dikenal “nekad” (tapi bukan bonek, bondo nekad). Banyak pelajar dan mahasiswa Indonesia berani bersekolah ke luar negeri dengan biaya pas-pasan dan hidup menderita. TKI Indonesia juga nekad-nekad. Tanpa surat dan pengetahuan yang memadai mereka berangkat juga, mencari nafkah. Tentu ini adalah potensi, jika diarahkan dengan benar. Sayangnya, pemerintah dan elite-elite politik belum sempat banyak menyentuh hal-hal yang mendasar seperti ini.
Belum lama ini, media di Malaysia, baik cetak maupun elektronik, berlomba-lomba menyiarkan ucapan seorang pakar pendidikan dari Inggris yang memuji kualitas pendidikan di Malaysia. Sebaliknya, di Indonesia, kita sering membaca berita atau laporan atau hasil rating suatu lembaga internasional, atau ucapan seorang pakar, bahwa pendidikan kita jeblok, kita kalah dari Malaysia, Singapura, dan sebagainya.
Kita perlu fair dan objektif. Kita memang ada yang kalah dari Malaysia, seperti dalam hal fasilitas pendidikan dan pembelanjaan anggaran negara untuk pendidikan. Di sini ada ISTAC yang menyediakan fasilitas dosen dan perpustakaan dengan kualitas internasional, dengan biaya yang sangat murah. Tapi, untuk tingkat pendidikan sains, kita tidak kalah dari Malaysia.
Beberapa waktu lalu, saya bertemu dengan seorang dosen ITB yang mengajar di Universiti Sains Malaysia (USM) Pulau Penang. Di sini juga banyak pilot Indonesia yang bekerja di Malaysian Airlines System. Kita punya banyak sekali SDM unggulan, tetapi kita masih lemah dalam memanfaatkan mereka. Artinya, pendidikan kita tidaklah seburuk seperti yang digambarkan oleh berbagai pihak. Pendidikan kita masih mampu menghasilkan manusia-manusia unggulan.
Sekali lagi, dari kasus Ladan dan Laleh dibandingkan dengan kasus Yuliana dan Yuliani, kita dapat memetik hikmah yang tinggi, bahwa kualitas SDM kita dalam berbagai hal, masih banyak yang unggul, dibandingkan SDM negara-negara Barat sekalipun.
Barat memang sangat pintar membangun promosi dan image, bahwa mereka hebat, mereka canggih. Kita dulu punya Habibie yang sangat dikagumi oleh dunia internasional. Semua potensi yang ada itu seharusnya menyadarkan kita untuk tidak menyerah kepada kondisi sekarang. Jika kita mempunyai pemimpin yang kuat dan bersih (clean and strong government), kita ada harapan besar untuk lepas landas dan keluar dari berbagai kemelut.
Sayangnya, menyimak berbagai berita politik di dalam negeri, seputar Sukhoigate, disahkannya UU Pemilihan Presiden/wakil Presiden, dan sebagainya, masih menunjukkan tanda-tanda belum berakhirnya kemelut politik di dalam negeri. Wallahu a’lam. (KL, 10 Juli 2003).