Oleh: Nuim Hidayat
Ikhwanul Muslimin di Mesir digoncang badai lagi. Setelah Juni 2012 lalu, tokohnya Mohammad Mursi menjadi presiden, kini Ikhwan mengalami cobaan lagi. Mereka terpaksa harus bentrok dengan rakyat Mesir sendiri yang digerakkan oleh tokoh-tokoh sekuler di sana.
Sejak 1949, setelah terbunuhnya Imam Hasan al Banna, Ikhwan senantiasa ditindas penguasa. Presiden Gamal Abdul Nasser, Anwar Sadat dan Mubarak bekerjasama dengan Rusia atau negara Barat terus menerus menekan aktivis-aktivis Ikhwan. Ulama-ulama dan aktivis mereja ditangkap, dipenjara dan yang dibunuh oleh penguasa-penguasa diktator Mesir jumlahya hingga kini juga ribuan.
Belum enam bulan Ikhwan berkuasa (sejak Juni 2012)–didukung oleh kelompok Islam Salafi Mesir- kini Ikhwan menghadapi tantangan berat kembali. Bila dulu berhadapan dengan penguasa, kini dengan tokoh-tokoh sekuler dan massa rakyatnya yang ‘kemungkinan didukung Barat’. Karena negara-negara Barat nampaknya ‘tidak ikhlash’ Mursi atau Ikhwanul Muslimin berkuasa di Mesir. Meskipun dengan cara ‘demokratis’ (ingat kasus menangnya Hamas di Pemilu Palestina, 2006).
Dalam soal Gaza misalnya, Mursi jelas-jelas secara terbuka menyatakan mendukung Gaza/Hamas. Saat Israel memborbardir Gaza minggu lalu, Mursi mengecam Israel sebagai negara agresor yang biadab dan menyatakan, “Cairo will not leave Gaza on its own … Egypt today is not the Egypt of yesterday, and Arabs today are not the Arabs of yesterday.” Apalagi kini pemerintahan Mursi berjanji dalam waktu dekat akan membuka perbatasan Gaza 24 jam.
Mursi memang menjadi harapan besar rakyat Mesir agar dapat berperan besar dalam perjuangan membebaskan Gaza. Ketika ia baru menjabat presiden, para pendukungnya menyatakan: “Tomorrow Mursi will liberate Gaza… Yes, we will either pray in Jerusalem or we will be martyred there.” Dan dalam kampanye-kampanyenya Mursi juga berjanji akan membebaskan Gaza.
Tentu keinginan dan cita-cita Ikhwanul Muslim dengan presidennya Mohammad Mursi itu mengkhawatirkan ‘pemerintah dunia’ Amerika. Meski Hillary Clinton beberapa hari lalu datang ke Mesir untuk berunding bersama tentang keamanan Palestina dan Israel, tapi sikap kedua pemimpin itu jelas berbeda. Menlu AS Hillary dalam konferensi persnya 20 November 2012 lalu, bersama PM Israel Netanyahu di Jerussalem menyatakan: “…President Obama asked me to come to Israel with a very clear message: America’s commitment to Israel’s security is rock solid and unwavering. That is why we believe it is essential to de-escalate the situation in Gaza. The rocket attacks from terrorist organizations inside Gaza on Israeli cities and towns must end and a broader calm restored. The goal must be a durable outcome that promotes regional stability and advances the security and legitimate aspirations of Israelis and Palestinians alike.”
Pernyebutan teroris kepada Hamas/pemerintah Gaza ini juga diungkap oleh PM Netanyahu : I want to welcome Secretary Clinton once again to Jerusalem. I want to thank President Obama, you, and the American Government and people for their strong support for Israel in this hour of need. I want to also thank you especially for your support of Iron Dome that’s been saving lives, and we are in a battle to save lives.
One of the things that we’re doing is trying to resist and counter a terrorist barrage which is aimed directly at our civilians, and doing so by minimizing civilian casualties, whereas the terrorist enemies of Israel are doing everything in their power to maximize the number of civilian casualties. Obviously, no country can tolerate a wanton attack on its civilians. (lihat http://www.state.gov/p/nea/ci/eg/index.htm)
Jadi menurut Hillary, Hamas yang memimpin pemerintahan Gaza saat ini dan yang menembakkan roket-roket ke Israel adalah organisasi teroris. Karena itu Hillary tak segan-segan menyatakan bahwa komitmen pemerintah Amerika untuk keamanan Israel adalah solid dan tak tergoyahkan. (Maknanya bila suatu saat ada negara-negara Arab yang menyerang Israel, seperti tahun 1967 misalnya, maka AS tak akan segan-segan menggunakan kekuatan militernya untuk mendukung Israel).
Di sinilah nampaknya kemungkinan besar ‘secara diam-diam’ Amerika mendukung tokoh-tokoh atau aktivis yang kini sedang menggoyang Mursi. Entah dukungannya dalam bentuk apa. Meski dalam konferensi persnya baru-baru ini AS bersikap netral dalam soal kekacauan di Mesir, tapi dari pidato juru bicaranya nampak kemana dukungan AS diarahkan. Juru bicara Washington Victoria Nuland menyatakan: “The decisions and declarations announced on November 22 raise concerns for many Egyptians and for the international community. One of the aspirations of the revolution was to ensure that power would not be overly concentrated in the hands of any one person or institution…” Di sini nampak AS mengkritisi Presiden Mursi yang baru-baru ini mengeluarkan dekrit bahwa keputusannya tidak dapat diganggu gugat oleh pengadilan.
Meski digugat oleh tokoh-tokoh sekuler Mesir, dekrit Presiden Mursi itu banyak didukung oleh para cendekiawan Mesir. Pada 27 November 2012 kemarin, para profesor Fakultas Hukum Universitas Kairo menegaskan dalam pernyataannya bahwa deklarasi konstitusi baru, yang dikeluarkan oleh presiden Mursi, datang pada waktu yang tepat untuk menyelamatkan bahtera bangsa dari ketenggelaman.
Pernyataan yang dikeluarkan oleh 15 dosen ternama itu menegaskan bahwa adalah hak presiden dalam mengeluarkan deklarasi konstitusi pada masa transisi ini yang sedang dilewati Mesir. Yang demikian itu adalah merupakan fase sementara, yang memerlukan perjalanan untuk mengambil langkah-langkah pengecualian (luar biasa) untuk menjaga Mesir dan revolusinya dari musuh-musuhnya dari dalam dan luar negeri, serta mengamankan negeri dari bahaya dan kekacauan.
Dosen-dosen yang menandatangani pernyataan tersebut adalah Prof Dr Tsarwat Badawi, Prof Dr Mahmoud Athif Al-Banna, Prof Dr Yusuf Muhammad Mahmoud Qasim, Prof Dr Hussein Hamid Hassan, Prof Dr Anwar Yusuf Dabour, Prof Dr Mahmoud Bilal Mahran, Prof Dr Inayat Abdul Hamid Tsabit, Prof Dr Abdul ‘Aziz Fathi Abdul ‘Aziz Samak, Prof Dr Usamah Ahmad Syauqi, Prof Dr Yasser Ahmad Kamel, Prof Dr Muhammad Nageb, Prof Dr Aiman Sa’ad Salim, Dr Abdul Hadi Abdul Sattar, Dr Anwar Hilmi Abdul Hadi, dan Dr Tarek Jumu’ah Al-Sayyid Rashid. (lihat http://www.voa-islam.com/news/world-world/2012/11/28/22026/para-professor-hukum-mesirputusan-mursi-selamatkan-bangsa-dari-karam/).
Presiden yang hafal Al Qur’an dan lima anaknya juga hafal Al Qur’an ini nampaknya akan mengalami badai yang tidak ringan dalam masa pemerintahannya. Dekritnya kini dijadikan senjata musuh-musuh politiknya untuk melengserkannya. Bukan hanya itu, massa demonstran bertindak brutal menyerang banyak kantor-kantor Ikhwanul Muslimin. Sehingga menimbulkan korban satu orang anggota Ikhwan meninggal dunia dan puluhan luka-luka. Korban meninggal terjadi terjadi ketika pengunjuk rasa menyerang kantor pusat Ikhwanul Muslimin di Kota Damanhour, yang terletak di Delta Sungai Nil.
Oposisi juga terus menyerukan demonstrasi besar-besaran untuk menuntut Presiden Mursi mencabut dekrit tersebut. Kubu oposisi sekuler yang tergabung dalam Front Penyelamatan Nasional, koalisi oposisi baru gabungan dari partai liberal, kiri dan oposisi lainnya, menolak berkompromi sampai dekrit tersebut dicabut. “Tidak ada ruang dialog selama diktator menerapkan tindakan opresif dan mereka mengatakan ‘mari kita selesaikan perbedaan’” ungkap salah satu tokoh oposisi Mohammed El Baradei.
Mursi kini sedang melobi hakim-hakim senior untuk berunding tentang keputusannya mengeluarkan dekrit. Sanggupkah Mursi mempertahankan kekuasaannya dari guncangan keras kelompok sekuler di dalam negeri (dan luar negeri)? Wallahua’lam. Yang jelas bila Mursi dan Ikhwanul Muslimin konsisten dengan program Islamisasi masyarakatnya, kaum Muslimin di dunia mayoritas akan mendukungnya. Dan nampaknya Mursi hingga kini terus konsisten dengan Al Qur’an yang telah berada dalam dadanya.*