Tahun kesepuluh Hijriah atau 632 Masehi merupakan tahun krisis. Dua orang ‘nabi gadungan’ muncul hampir bersamaan. Bukan secara kebetulan. Tetapi lantaran terbuka kesempatan apabila tersiar berita bahwa Rasulullah jatuh sakit. Maka di negeri Yaman, seorang bernama al-Aswad ibn Ka‘b al-‘Unsi pun memproklamirkan diri sebagai nabi. Lewat pelbagai atraksi seperti menyuruh keledainya bersujud –tentu sesudah dilatihnya, al-Aswad sempat mendapat sejumlah pengikut di Najran dan Sanaa. Ia juga mengklaim didatangi oleh dua malaikat, satu bernama Sahiq, dan satu lagi bernama Syahiq, dengan wahyu berbunyi: “Wal mayisati maysa, wad darisati darsa, yahijjuna ushaba wa furada.” Lantas bagaimana sikap pemerintah kala itu? Gubernur Khalid ibn Sa‘id langsung mengusirnya dari Sanaa. Kemudian Rasulullah mengirim detasemen khusus untuk menumpasnya.
Misi tersebut berhasil, meski berita tewasnya nabi palsu itu baru sampai ke Madinah kira-kira dua minggu setelah Rasulullah wafat (Lihat:Imam at-Thabari,Tarikh ar-Rusul wa l-Muluk, 3:185-187).
Musaylamah ibn Habib adalah orang kedua yang mengklaim dirinya nabi.Sebelumnya ia pernah menyertai rombongan sukunya, Bani Hanifah, yang baru masuk Islam, datang ke Madinah untuk menghadap Rasulullah. Ketika pamit, mereka memberitahu Rasulullah bahwa ada seorang anggota yang tidak ikut masuk tetapi menunggu di luar menjaga unta dan barang-barang bawaan mereka, yaitu Musaylamah. “Dia itu tidak lebih buruk dari kalian,” ujar Rasulullah seraya menyuruh mereka supaya memberikan hadiah yang sama kepadanya. Nah, sabda Rasulullah itulah yang dijadikan modal oleh Musaylamah untuk mengaku dirinya nabi di kemudian hari.
Tiba di Yamamah, kampung halamannya, Musaylamah berlagak dapat wahyu lantas bersajak: “Laqad an‘am Allah ‘ala l-hubla, akhraja minha nasmatan tas‘a, min bayni shifaq wa hasya.” Ia lalu menghalalkan minuman keras (khamr), hubungan seks tanpa nikah (zina) dan sebagainya. Kejadian ini dilaporkan oleh sejarawan Ibn Sa‘d dalam Thabaqat, 1:273 dan Imam at-Thabari dalam Tarikh, 3:138.
Ketika mendengar kondisi kesehatan Rasulullah terus memburuk, Musaylamah semakin berani menyuarakan klaimnya. Ditulisnya sepucuk surat kepada Rasulullah supaya wilayah kenabian dibagi dua saja, separuh untuk nabi orang Quraysh dan separuhnya lagi untuk nabi orang Yamamah –yaitu dirinya. Rasulullah jelas menolak permintaan tersebut dan menjuluki Musaylamah ‘si pembohong’ (al-Kadzdzab). Kepada dua orang suruhan Musaylamah yang membawa surat itu Rasulullah berkata: “Seandainya boleh membunuh utusan (diplomat), niscaya sudah kupenggal kepala kalian berdua (ama w-Allahi law-la anna r-rusul la tuqtalu, la-dharabtu a‘naqakuma)!” Peristiwa ini dituturkan oleh Imam at-Thabari, (Tarikh jilid 3, hlm.146).
Musaylamah dan para pengikutnya berhasil ditumpas habis oleh pasukan kaum Muslimin yang dipimpin Khalid ibn al-Walid tidak lama sesudah Rasulullah wafat (Lihat:al-Baladzuri, Futuh 1:104-106)
Imam at-Thabari memberikan catatan penting yang terjemah Inggrisnya berbunyi: “It is said that the pretension of Musaylamah and of those who falsely alleged prophethood during the time of the Prophet [Muhammad saw] actually took place after the Prophet had returned from his ‘Farewell Pilgrimage’ and during the illness in which he died. … When the Prophet returned to Medina after performing the Final Pilgrimage, he began to have a complaint of illness. As travel was allowed, the news of the Prophet’s illness spread, so both al-Aswad and Musaylamah leapt at [the opportunity and claimed prophethood for themselves], the former in the Yemen and the latter in al-Yamamah, and their news reached the Prophet. After the Prophet had recovered, Thulayhah leapt at [the opportunity and claimed prophethood] in the land of the Banu Asad. Then in Muharram the Prophet complained of the pain from which he died.” (The History of al-Tabari, vol. IX – the Last Years of the Prophet, trans. with notes by Ismail K. Poonawala, New York 1990, hlm.107-108 = teks Arabnya dalam kitab Tarikh jilid 3, hlm.146-147).
Kemunculan dua orang nabi gadungan itu sebenarnya sudah diisyaratkan kepada Rasulullah. Dalam sebuah riwayat disebutkan pernah suatu kali Rasulullah bermimpi melihat dua gelang emas diletakkan di atas telapak tangannya. Lama-kelamaan dua gelang emas itu tampak semakin membesar. Kemudian beliau mendengar suara berkata: ‘Tiuplah mereka!’Maka dengan satu tiupan dua gelang emas itupun sirna.‘Aku takwilkan mimpi tersebut sebagai dua orang penipu yang mengapit keberadaanku, yaitu penguasa Sanaa dan pemimpin Yamamah.’Demikian diceritakan Imam al-Bukhari sebagaimana dikutip oleh Ibn Katsir dalam kitab al-Bidayah wa n-Nihayah, juz 5, hlm.45-46.
Orang ketiga yang mengaku dirinya nabi ialah Thulayhah ibn Khuwaylid al-Asadi. Seperti halnya Musaylamah, ia pun awalnya seorang muslim, tetapi kemudian murtad dan menabikan diri. Rasulullah mengirim Dhirar ibn al-Azwar untuk memerangi nabi gadungan itu, namun belum berhasil sampai wafatnya. Di kemudian hari, tatkala sudah dikepung oleh pasukan Muslim, Thulayhah masih berlagak mendapat wahyu. “Telah datang Jibril kepadaku dan berbisik: (inna laka raha ka-rahahu, wa yawma la tansahu),” serunya. Sadar bahwa ia dan pengikutnya tak mungkin menang, Thulayhah pun akhirnya menyerah. Setelah ditangkap dan dibawa menghadap Khalifah Abu Bakr ra, ia pun bertobat dan kembali kepada Islam. Thulayhah tewas dalam sebuah pertempuran di Nahawand (Lihat: Imam at-Thabari, Tarikh, 3:186 dan Ibn al-Atsir, Usud al-Ghabah 3:95).
Masih di zaman Khalifah Abu Bakar, muncul di wilayah Oman seorang nabi palsu bernama Dzut-Taj Laqith ibn Malik al-Azdi. Terhadapnya Khalifah Abu Bakr ra bertindak tegas. Satu divisi tentara dikirim untuk membasmi aliran sesat itu dan membekuk kepalanya (Lihat Ibn Katsir, al-Bidayah wa n-Nihayah, 6:329).
Lalu pada zaman pemerintahan Abdul Malik ibn Marwan, seorang bernama al-Harits ibn Sa‘id mengaku nabi. Mereka yang terpukau oleh aksi-aksi anehnya lalu ikut dan berbai‘at setia kepadanya. Namun berita mengenainya sampai juga kepada Khalifah. Maka diutuslah beberapa orang untuk meringkusnya. Setelah beberapa lama buron di kawasan Baitul Maqdis, Yerusalem, nabi gadungan itu akhirnya berhasil ditangkap. Ia kemudian dibawa menghadap Khalifah di Damaskus dan disuruh bertobat tetapi bersikukuh menolak. Al-Harits akhirnya dijatuhi hukuman mati dan disalib (Lihat: Ibn ‘Asakir, Tahdzib Tarikh Dimasyq, 3:442-5).
Ada beberapa poin yang dapat kita petik dari fakta dan data historis di atas. Pertama, nabi-nabi palsu baru muncul pada tahun terakhir menjelang Rasulullah wafat dan setelahnya. Yakni tatkala Umat Islam diliputi kegalauan apabila Rasulullah mulai sakit-sakitan dan akhirnya meninggal dunia pada tahun itu juga. Kemudian menyusul kekecohan singkat seputar suksesi kepemimpinan hingga terpilihnya Abu Bakr sebagai Khalifah.
Kedua, gerakan nabi-nabi gadungan itu tidak semua dan tidak melulu berkelindan dengan upaya menggembosi kedaulatan Rasulullah dan Khalifah sesudahnya. Kalaupun betul Musaylamah menggalang kekuatan militer untuk melawan pasukan Muslim, maka hal itu dikarenakan ambisi politik pribadinya. Musaylamah keliru menyangka Rasulullah memperjuangkan Islam demi kekuasaan. Musaylamah tidak mengerti kalau hakikatnya justru sebaliknya: Rasulullah menggunakan politik untuk kepentingan agama, bukan seperti dirinya yang menggunakan agama untuk politik. Sebab itulah Musaylamah kemudian mengaku nabi dengan harapan mendapat dukungan politik dari penduduk Yamamah.
Jadi bagi Rasulullah dan para Khalifahnya, memerangi kemurtadan adalah aksi yang lebih bersifat teologis (melawan kebatilan) ketimbang politik (menumpas pemberontakan).
Maka nabi-nabi palsu yang tidak membangun kekuatan militer –semisal al-Aswad, Thulayhah dan Laqith– pun diperangi juga.
Ketiga, ada yang lugu bertanya: mengapa setelah menerima surat dari Musaylamah yang mengaku nabi, Rasulullah tidak lantas menyuruhnya keluar dari Islam dan mendirikan agama baru? Tentu saja tidak, sebab dengan menabikan dirinya maka Musaylamah sudah otomatis keluar dari Islam dan bikin agama sendiri. Ini sama dengan bertanya: mengapa Allah tidak menyuruh Iblis keluar dari iman dan mendirikan agama baru? Lha wong Iblis itu dengan aksi membangkang dan sikap angkuhnya itu sudah otomatis keluar dari iman alias kafir dan mempelopori gerakan ingkar Tuhan ingkar Nabi.
Faktanya cukup jelas bagaimana Rasulullah menyikapi para nabi palsu. Beliau tidak hanya mengirim surat balasan seperti: “Dengan Nama Allah Yang Maha Pemurah dan Pengasih. Dari Muhammad Rasulullah, kepada Musaylamah ‘sipenipu’. Keselamatan bagi mereka yang mengikuti petunjuk. Bumi ini seluruhnya milik Allah yang diberikannya kepada hamba-Nya yang Dia kehendaki. Namun akhirnya bagi orang-orang yang bertakwa. ”Tetapi juga mengirim pasukan khusus untuk menghentikan sepak-terjang nabi gadungan dan para pengikutnya. Disamping menempuh jalan dakwah secara diplomatik dan persuasif, beliau juga melancarkan aksi ofensif dan defensif sesuai situasi dan kondisi.
Dalam hal ini patut kita simak lagi firman Allah dalam al-Qur’an: “Sesungguhnya hukuman bagimereka yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membikin kerusakan di muka bumi adalah dihukum mati atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik , atau diusir dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu merupakan suatu perendahan kepada mereka di dunia, dan di akhirat kelak mereka akan mendapat siksa yang hebat. Kecuali orang-orang yang bertaubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka, maka (janganlah mereka dihukum). Ketahuilah bahwa Allah itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Ma’idah’:33-34).
Maka ahli-ahli hukum Islam yang disebut fuqaha sepakat bahwa orang yang murtad (keluar dari Islam) mesti dijatuhi hukuman mati. Ini dikukuhkan oleh sabda Rasulullah yang diriwayatkan Imam an-Nasa’i: “Siapa yang menukar agamanya maka bunuhlah dia (man baddala dinahu fa-uqtuluhu).” Maka tatkala Mu‘adz ibn Jabal berkunjung ke kediaman Abu Musa al-Asy‘ari di Yaman dan melihat seorang Yahudi diikat lantaran masuk Islam tetapi kemudian keluar lagi (murtad), beliau berkata: “Aku tidak akan duduk sebelum orang ini dieksekusi. Demikianlah ketentuan Allah dan RasulNya (la ajlisu hatta yuqtala, qadha’Allahi wa rasulihi).” Pendapat ini yang dipegang antara lain oleh Imam at-Thahawi dan sebagian ulama salaf. Sementara mayoritas ahli fiqih empat mazhab menyatakan perlunya kesempatan terakhir diberikan kepada yang si murtad untuk bertaubat dalam tempo maksimal tiga hari. Dasarnya adalah kebijakan Sayyidina ‘Umar ibn al-Khaththab dan Sayyidina ‘Ali ibn Abi Thalib dalam menangani kasus murtad (Lihat: Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari, juz 12, hlm.268-272 dan Imam an-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, juz 1, hlm 207).
Ditinjau dari perspektif kaidah fiqh “mencegah kerusakanadalah lebih diutamakan daripada mencari keuntungan” (dar’ al-mafasid muqaddam‘ala jalb al-mashalih).
Gerakan pemurtadan yang dipimpin para nabi palsu pada zaman Rasulullah dan Khalifah Abu Bakr memang niscaya diperangi, karena saat itu kemurtadan bukan sekadar oposisi politik atau identik dengan pemberontakan yang merongrong kedaulatan pemerintah, tetapi juga merupakan makar untuk merobohkan bangunan ajaran Islam.
Membiarkan kemurtadan merajalela –walau atas nama hak asasi manusia– jelas lebih besar mafsadatnya ketimbang maslahatnya. Dan fitnah dalam arti pelecehan agama dan penggusuran hukum-hukum Allah dipandang lebih besar kejahatannya daripada pembunuhan.
Di sinilah pemahaman tentang metodologi hukum Islam mutlak diperlukan dalam menangani pengikut nabi gadungan.
Tegasnya ulama
Tanpa pengetahuan yang mumpuni tentang metodologi hukum Islam, pembelaan terhadap aliran-aliran sesat yang merusak mungkin saja tampak indah dari kacamata hak asasi manusia (HAM), tapi bisa jadi esensinya bertentangan dengan maqashid as- syari‘ah (tujuan-tujuan syariat) yang lebih bersifat universal. Dalam hal ini ditetapkan, prioritas kemaslahatan yang paling tinggi adalah preservasi agama (hifzhud-din), sebagaimana ditegaskan oleh Imam as-Syathibi (dalam kitab al-Muwafaqat 2:8-10), Imam al-Ghazali (dalam kitab al-Mustashfa 1:287), dan Ibn Qudamah (dalam kitab Rawdhat an-Nazhir, 1:414).
Kemaslahatan agama ini berada diatas kemaslahatan nyawa dan harta-benda sekalipun. Makanya, al-Qur’an mewajibkan jihad dengan harta dan nyawa untuk membela agama. Jikalau Jakarta diserang oleh Singapura misalnya, maka umat Islam harus turun berperang meski itu nanti menyebabkan hilangnya nyawa. Jadi nyawapun kadang harus dikorbankan demi membela kemaslahatan tertinggi, yaitu kemaslahatan agama.
Nah, kalau Rasulullah, para Khalifah dan Sahabatnya serta ulama salaf saja begitu jelas dan tegas sikapnya terhadap nabi-nabi gadungan, alangkah lancangnya kaum liberal yang mengaku kader ormas Islam merasa punya hak veto untuk menggugat dengan mendaulat diri mereka sebagai orang-orang yang paling paham mengenai Syari‘at Islam seperti terlihat dari sikap mereka membela jemaah Ahmadiyah.
Di sinilah saya kira umat Islam mesti memilih dalam bersikap, mau mengikuti opini kaum liberal yang keliru atau meneladani sikap Rasulullah dan para pewarisnya. Wallahu a‘lam.
—————————————————-
Penulis pakar orientalis dari International Islamic University (IIU), Malaysia dan peneliti INSISTS. Tulisan ini diturunkan untuk menanggapi tulisan Akhmad Sahal berjudul, “Nabi Palsu, Sikap Nabi, dan Ahmadiyah” di Tempointeraktif, Rabu, 16 Februari 2011