Oleh: Reisya Callista
Setelah melewati beberapa pembahasan terkait tasawuf, pada pertemuan kelima Seri Kuliah Tasawuf: Sufi dan Sufisme (14/09/2022), Dr. Syamsuddin Arif mengajak kami untuk mengenal para tokoh yang masyhur dalam tasawuf. Menurut Dr. Syam, dari sekian banyak tokoh dalam tasawuf, hanya al-Harits al-Muhasibi yang dapat disebut sebagai tokoh yang menulis tentang tasawuf secara ilmiah.
Berdasarkan cerita dari seorang sufi lain, al-Junayd, al-Muhasibi adalah anak orang kaya. Akan tetapi, ia menolak harta warisan karena ayahnya adalah syi’ah. Keengganan al-Muhasibi tersebut menunjukkan ketidaktertarikannya terhadap dunia. Ini juga menunjukkan bahwa penolakan al-Muhasibi tersebut disebabkan karena syi’ah bukan bagian dari Islam.
Tidak hanya peristiwa penolakan tersebut, al-Muhasibi juga dikenal sebagai orang yang suka menyendiri dan menahan lapar. Salah satu pandangan menarik al-Muhasibi dalam kitabnya adalah bahwa ia membedakan antara zuhud dan ma’rifat. Menurutnya, zuhud adalah mengabaikan dunia namun masih mengingatnya. Sedangkan ma’rifat adalah meninggalkan dunia sekaligus melupakannya secara penuh.
Pandangan al-Muhasibi dalam kitab-kitabnya telah banyak dikaji oleh para sarjana, baik Muslim maupun non-muslim. Dari kalangan Muslim, seorang Ulama al-Azhar, Abd-el-Halim Mahmoud, menulis karya tentang al-Muhasibi yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Perancis dengan judul al-Mohasibi: un mystique musulman religieux et moraliste. Dari kalangan orientalis ada Margaret Smith dan Josef van Ess yang juga turut mengkaji pemikiran al-Muhasibi. Margaret menuangkan hasil kajiannya dalam tulisannya, An Early Mystic of Baghdad. Sedangkan Van Ess memberi judul karyanya tentang al-Muhasibi dengan judul Die gedankenwelt des al-Harit al-Muhasibi anhand Ubersetzungen aus seinen Schriften.
Berpuluh-puluh tahun setelah al-Muhasibi, ada al-Hakim at-Tirmidzi, seorang sufi dari Timur. Berbeda dengan Imam Tirmidzi yang dikenal sebagai ahli hadis, at-Tirmidzi dikenal banyak menulis karya-karya yang penting tentang tasawuf. Karyanya tersebut dinilai banyak menginspirasi para sufi setelahnya. Beberapa diantaranya adalah: Khatmul Awliya dan al-Ikyas wa al-Mughtarin. Sebagaimana yang disampaikan oleh Dr. Syam, at-Tirmidzi adalah seorang sufi yang banyak merantau untuk menimba ilmu dan menulis buku.
Tokoh yang ketiga adalah al-Junayd al-Baghdadi. Al-Junayd adalah junior dari al-Muhasibi dan at-Tirmidzi. Meski lebih muda, al-Junayd masih satu zaman dengan al-Muhasibi. Salah satu karya terkenal tentang al-Junayd ditulis oleh Dr. Ali Hassan Abdel Kader dengan judul The Life, Personality and Writings of al-Junayd.
Al-Junayd terkenal sebagai penghulu para sufi. Tidak hanya itu, ia juga dikenal sebagai sufi yang tidak sekadar bertasawuf secara bebas. Dalam arti, beliau adalah seorang sufi yang juga menjunjung tinggi dan memiliki kemampuan dalam fiqh dan hadis. Tasawuf beliau menurut Dr. Syam adalah tasawuf yang berdisiplin.
Kecerdasan al-Junayd tidak perlu diragukan lagi. Sebab ia banyak menguasai bidang ilmu. Ia bahkan telah berfatwa sejak usianya 20 tahun. Akan tetapi, al-Junayd baru memulai perjalanannya dalam mendalami tasawuf setelah ia menguasai banyak bidang ilmu. Hingga akhirnya memfokuskan diri untuk beribadah. Dalam tasawuf, guru beliau adalah al-Harits al-Muhasibi.
Tidak hanya dikenal sebagai sufi, al-Junayd ternyata juga seorang ahli niaga. Ibn Najid dalam sebuah riwayat menceritakan bahwa setiap kali al-Junayd membuka tokonya, ia akan masuk ke ruang belakang, lalu menurunkan tirai dan shalat 400 rakaat.
Tokoh berikutnya adalah Abu Thalib al-Makki yang menulis kitab Futhul Qulub. Menurut adz-Dzahabi, ia adalah tokoh ulung dari kalangan sufi. Sebab ia dikenal kuat, tekun dan rajin dalam beribadah. Tidak heran, karyanya tersebut kemudian menginspirasi Imam al-Ghazali untuk menulis Ihya Ulumuddin. Sama seperti para pendahulunya, al-Makki juga melakukan riyadhah seperti menahan lapar dan lain-lain. Bahkan, Dr. Syam menyampaikan bahwa kala itu al-Makki menahan lapar hingga kulitnya pucat.
Setelah Abu Thalib al-Makki, kita akan menemui al-Qusyayri yang identik dengan Risalah Qusyayriah yang banyak dikaji saat ini. Memiliki judul asli ar-Risalah fi Ilmi Tasawuf, kitab ini banyak dikaji sebab isinya yang “padat”. Tidak sekadar bertasawuf, al-Qusyairi juga mahir menunggang kuda dan berperang.
Di sisi lain, ia juga menguasai Bahasa Arab. Ia juga mempelajari hadis, mendalami fiqh serta ilmu tauhid. Dalam tasawuf, gurunya adalah Abu ‘Ali ad-Daqqaq. Al-Qusyairi juga berguru kepada as-Sulami. Di luar kesibukan ilmiahnya, al-Qusyairi senantiasa bermujahadah dan mengajar. Inilah yang menyebabkannya menjadi tokoh tasawuf terkemuka di Khurasan yang melahirkan banyak murid. Begitu memikatnya cara mengajar al-Qusyairi membuat salah seorang muridnya mengatakan jika batu cadas dicambuk dengan nasihatnya tentu akan luluh. Begitupula iblis, mereka akan bertaubat kalau mendengar ceramahnya.
Tokoh keenam adalah al-Ghazali. Ia termasuk tokoh sufi yang masih sangat populer hingga saat ini. Karya monumentalnya dalam tasawuf adalah Ihya Ulumuddin. Tidak hanya Ihya, ia juga menulis Minhajul Abidin, Bidayatul Hidayah dan Misykatul Anwar yang juga merupakan kitab tentang tasawuf.
Beberapa tokoh setelah al-Ghazali yang terkenal dalam tasawuf diantaranya adalah Abu Hafsh as-Suhrawardi, Muhyiddin Ibn Arabi dan Abdul Karim al-Jili. Tidak hanya dari kalangan Arab, kita juga dapat menemukan tokoh tasawuf yang berasal dari Nusantara, seperti Hamzah Fansuri, Yusuf al-Maqassari dan Abdul Samad al-Palimbani.