Henri Shalahuddin – Peneliti INSISTS
Kuat tegaknya sebuah negara tergantung pada kualitas generasi mudanya. Karena itu sebagai pilar utama penyangga bangsa ini, generasi muda diharapkan mempunyai keberanian melakukan terobosan yang mampu menumbuhkembangkan identitas Indonesia sebagai negara yang kuat.
Syaikh Mushthafa al-Ghalayaini dalam kitab ‘Izhatun Nasyi’in mengatakan: “inna fi yadi al-syubban amral ummah # wa fi iqdamiha hayataha” (Sesungguhnya di tangan generasi muda-lah, nasib bangsa ini bergantung; dan melalui keberanian mereka-lah keberlangsungannya terjamin).
Sebab hanya pemuda sajalah yang dipenuhi jiwa optimis, percaya diri dan cita-cita. Maka tidak sepatutnya generasi muda menjadi peragu, penakut, apalagi putus asa. Bangsa yang berindentitas adalah bangsa yang membina generasi mudanya agar tidak terputus dari silsilah mata rantai nilai dan peradaban yang telah dibangun oleh generasi pendahulu (salafussoleh).
Generasi muda akan berkualitas jika mereka dibekali dengan pemahaman ilmu secara benar dan integral. Sebab dengan ini, akan tercipta manusia-manusia penggerak perubahan dan pembangun peradaban. Perubahan sosial dan pembangunan peradaban yang bersumber dari ilmu yang integral ibarat gelombang ombak dari dasar laut yang bakal menggerakkan seluruh lautan. Ia bukanlah riak-riak ombak di permukaan laut yang muncul dan hilang karena tiupan angin. Kesemuanya itu hanya akan terwujud dengan kesadaran dan kerja-kerja kolektif.
Dampak terburuk dari sejarah penjajahan Belanda selama 350 tahun adalah tertanamnya sikap minder dan rendahnya semangat bersaing secara sehat. Kepada bangsa Indonesia dimasukkan perasaan bahwa mereka “tidak bisa apa-apa”. Tidak bisa pintar sepintar Belanda. Tidak bisa kaya, sekaya Belanda. Tidak bisa naik pangkat setinggi pangkat Belanda. Kepada dunia senantiasa dinyatakan bahwa bangsa Indonesia adalah “Bangsa yang sesabar-sabarnya di dunia”, sebagaimana dikatakan oleh Buya HAMKA.
Untuk menanamkan ini semua dilakukan melalui siasat pendidikan. Pendidikan yang dibuat Belanda bertujuan mencetak segolongan bhumi putera agar dapat berpikir cara Belanda. Bahkan cara bermimpi pun, sebisa mungkin agar meniru orang Belanda. Jika ingin maju, mereka harus melonggarkan ikatan agamanya dan mengubah identitasnya.
Hal-hal seperti ini menurut Buya HAMKA dapat menjadi sebuah kehinaan, karena memilih satu identitas yang seharusnya bukan miliknya, memilih pakaian yang sebenarnya bukan pakaiannya, kemudian melupakan jati dirinya dan mencampakkan pakaiannya sendiri.
Dengan memantapkan jati diri sebagai bangsa Indonesia dan berpegang teguh dengan identitas keislamannya, para pahlawan kita berhasil mengakhiri penjajahan selama 3,5 abad. Di antara mata rantai keberanian, keteguhan dan kecemerlangan yang bisa kita teladani dari para pahlawan muda dan pendahulu kita adalah Jenderal Soedirman, Bung Tomo dan para ulama muda yang sukses mendirikan lembaga pendidikan untuk membangun bangsa yang beridentitas di usia 25 tahun hingga 16 tahun, seperti para pendiri Pondok Gontor dan pondok-pondok lainnya.
Dalam usia 20 tahun, Jenderal Soedirman telah menjadi guru dan kemudian menjadi kepala sekolah Muhammadiyah. Di usia 21 tahun, beliau menjadi pemimpin Kelompok Pemuda Muhammadiyah, dan diangkat menjadi panglima besar saat beliau berusia 29 tahun
Bung Tomo memimpin pertempuran melawan tentara sekutu dalam usia 25 tahun. Dalam pidatonya yang sangat heroik yang diawali dengan takbir dan ditutup dengan takbir, beliau berkata: “Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap: merdeka atau mati! Allahu Akbar!”
Sejarah umat Islam telah dipenuhi dengan lembaran kisah kepahlawanan kaum muda, sebut saja misalnya: Usamah bin Zaid yang telah dipercaya Rasulullah di usia 18 tahun untuk memimpin pasukan yang di dalamnya ada sahabat-sahabat kibar ternama. Sultan Muhammad al-Fatih dinobatkan sebagai sultan Turki Utsmani di usia 19 tahun dan menaklukkan Konstantinopel di usia 21.
Sedangkan Suleiman al-Qanuni dilantik menjadi sultan Utsmani ke 10 di usia 25 tahun. Di usia 27, beliau menaklukkan Rhodes dan menaklukkan Hongaria di perang Mohács di usia 31 hanya dalam 3 jam pertempuran. Di masanya, wilayah Turki Utsmani membentang hingga tiga benua. Prestasinya dalam kepemimpinan, hukum, keilmuan, kesenian, dan pembangunan membuatnya dijuluki Barat sebagai “the Magnificent”.
Lahirnya generasi muda yang hebat tentu tidak terlepas dari peran keluarga. Sebab tidak mungkin keluarga yang rusak akan melahirkan generasi unggulan. Ibnu Khaldun menjelaskan: “Sesungguhnya maju-mundurnya suatu negara itu bergantung pada kuat atau lemahnya kondisi keluarga di negara tersebut”. Hal ini ditegaskan lagi oleh Syeikh Ratib Nabulsi bahwa kesuksesan keluarga akan membuahkan kesuksesan masyarakat. Demikian juga sebaliknya, kegagalannya akan menjadi bencana besar dalam masyarakat.
Hal ini disebabkan karena keluarga adalah kesatuan terkecil yang bertanggung jawab mewujudkan terciptanya masyarakat yang damai dan berkeadaban. Keluarga harus menjadi benteng yang melindungi. Maka membangun institusi keluarga adalah setengah agama, menjaganya adalah implementasi keimanan, memerangi segala wabah yang mengancamnya adalah bentuk jihad, dan merawat buah yang terlahir darinya (putra-putri) adalah bentuk syiar agama. Kesemuanya itu berawal dari sosok seorang ibu yang berkualitas.
Dalam sejarah Islam, kaum wanita juga berperan sebagai markaz ijtima’i (pusat pembelajaran masyarakat). Di era Daulah Umawiyyah (750-662M) terdapat figur Ummul Mu’minin Aisyah Ra., yang dikenal pakar fiqh, hadits, sastra dan tarikh. Ada juga Asma’ binti Abi Bakr al-Siddiq, istri Zubair ibn ‘Awwam, Umm al-Banin, istri khalifah al-Walid ibn ‘Abd al-Malik, berperan di bidang politik, dan dikenal dengan kepiawaiannya bernarasi, keindahan tutur bahasanya, dan argumennya yang kuat, serta tokoh wanita lainnya.
Di zaman Daulah Abbasiyyah, banyak wanita bertugas di sektor telik sandi (BIN), misalnya Zainab binti Salman. Di masa Daulah Ayyubiyah (1172-1250M), Peran Kaum muslimah semakin besar dalam menggerakkan peradaban ilmu (harakah tsaqafiyyah), yakni dengan membangun sekolah, menggiatkan kajian, penelitian, pengajaran. Di antara hasil capaian mereka adalah munculnya ulama terkenal seperti Ibnu ‘Asakir.
Fatimah binti Syeikh Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Abdillah al-Fihri (Fatimah Ummu al-Banin) telah mewaqafkan hartanya untuk membangun Masjid al-Qarawiyyin di Fas, Maroko.
Mas’uda al-Wizkitiya atau Lalla Mas’uda (995 H/1586 M) di zaman Dinasti Sa’adi, telah membangun masjid Bab Doukkala dengan dilengkapi perpustakaan dan ruang pengajaran. (lebih lanjut silahkan membaca: Indahnya Keserasian Gender dalam Islam, INSISTS: 2020)
Oleh karena itu dalam rangka menyambut hari Sumpah Pemuda, generasi muda hendaklah didorong membekali diri dengan beragam ketrampilan dan keilmuan yang dilandasi nilai-nilai keagamaan hingga mampu melakukan kerja-kerja peradaban dan pemakmuran di bumi Indonesia. Hanya dengan semangat inilah kita bisa berdiri kokoh di atas kaki sendiri, dan menjadi tuan di negeri sendiri, sebagaimana dikatakan KH. Agus Salim dalam tulisan beliau di harian “Neratja”, 25 September 1917, yang berjudul: “Dalam negeri kita, janganlah kita yang menumpang”.
Di tangan pemuda-lah kita menaruh harapan, kepada Ilahi kita panjatkan segala doa dan permohonan. “Habis akal baru tawakal”, begitu ajaran para pendahulu kita. Selamat menyiapkan dan membersamai generasi umat yang berkualitas menuju Ridho Ilahi. Terima kasih. Şişli-Istanbul, 27 Oktober 2020