Home Artikel Ma’rifat

Ma’rifat

4914
0

CaptureNux-2012-08-29-11.24.32

Barangsiapa mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya”. ini memang bukan sabda Nabi, tapi atsar sahabat yang seringkali dinisbatkan kepada Ali bin Abi Talib. Istilah ‘arafa’ memang lebih tepat diterjemahkan menjadi “mengenal”. Perkenalan dalam bahasa Arab disebut ta’aruf.

Mengenal Tuhan dalam wacana ulama salaf dikaitkan perjanjian Tuhan (mitsaq) dengan calon manusia di alam arwah. Di sana arwah Allah swt telah berdialog dengan ruh calon manusia. Allah bertanya pada calon anak manusia “bukankah Aku ini Tuhanmu”. “benar kami menyaksikan” jawab ruh itu. Disitu ruh manusia resmi “mengenal” Tuhannya. Itulah rahasianya mengapa sejarah umat manusia selalu diwarnai oleh aktifitas mempercayai dan meyakini adanya kekuatan Tuhan.

Untuk lebih mengenal Tuhannya umat Islam dibekali dengan amalan peribadatan. Dalam sebuah hadith Qudsi Allah berfirman ”Aku adalah simpanan yang tersembunyi dan  Aku suka dikenal; Aku ciptakan makhluq agar aku dikenal”. Dalam al-Zariyat 56 Allah berfirman “dan Aku ciptakan jin dan manusia hanya untuk menyembah”. Mungkin karena hadith itu maka ibn Abbas menafsirkan ayat “hanya untuk menyembah atau beribadah” dengan hanya untuk mengenal Tuhan.

Tafsir ibn Abbas bisa difahami begini: jika seorang hamba mencintai Tuhannya, maka ia akan beribadah sekuat-kuatnya untuk meraih cintaNya. Maka ibadah itu sejatinya adalah jalan-jalan yang bertujuan untuk mendekat (taqarrub) dan mengenal Tuhan.

Tapi manusia kebanyakan berjiwa kotor. Maka untuk itu nasehat Imam al-Ghazali manusia harus membersihkan hatinya. Caranya mudah yaitu tidak mengumbar syahwat, melepaskan diri dari segala keterkaitan dengannya, dan mengosongkan hati dari segala kesibukan duniawi, selalu cinta pada Allah. (Ihya, hal. 3/12-16;l Kimia Kebahagiaan, hal. 516)

Mengapa hati mesti disucikan? Manurut al-Ghazzali karena hati manusia itu juga tempat ma’rifah dan tawhid dan harus disiapkan agar dapat menerima masuknya ilmu dari Tuhan. Sebab terkadang ilmu masuk pada hati melalui ilham dari Tuhan, dengan cara spontanitas dan al-mukasyafah. (Ihya’, hal. 3/7).

Maka ibadah mendekat dan mengenal Tuhan harus berbekal cinta. Ibadah dengan bekal cinta pada Allah itu berbuah keyakinan, dan keyakinan yang tinggi itu menjadi cahaya hati. Hati orang ‘arif billah yang bercahaya menurut Dzunnun al-Mashri (w. 155 H), tidak menghilangkan sifat wara’-nya (keperwiraan), tidak meremehkan hukum-hukum syariat,  dan karamahNya tidak merusak ketaatannya pada Allah.” (Risalah Qusyairiyah, hal. 143). Jadi ketaatan seorang ‘abid meningkat menjadi kecintaan seorang ‘arif.

Namun menjadi seorang menjadi ‘arif ada tiga tingkatan. Pertama tingkat orang awam; kedua tingkat adalah ulama yang mencapai ma’rifat melalui logikanya, dan terakhir adalah wali yang keimanannya sudah tingkatan ihsan.     (M.Abdul Mun’im Khofaji,  at-Turats ar-Ruhi littashawwuf al-Islami fi Misr, hal. 40). Untuk para wali yang memperoleh al-Kasyf, ia akan melihat sesuatu yang nyata (batin) seperti melihat dengan mata kepalanya (ra’yal ain). (Thusi, Alluma’, hal. 422).

Ma’rifat tingkat kedua itu biasa disebut ‘ilm. Ilmu adalah pengetahuan yang biasa diperoleh dengan pancaindera dan nalar melalui I’tibar atau istibshar disebut ilmu. Ma’rifat pada tingkat ketiga (ma’rifah) diperoleh tidak dengan cara ilmiyah bahkan yang bersangkutan tidak tahu bagaimana ia datang.

Ma’rifah jenis ini disebut ilham. Ilham bisa dimiliki siapa saja, namun yang tertinggi dimiliki oleh para wali atau para sufi yang berislam pada tingkat ihsan. Pengetahuan sejenis ilham tapi pada tingkat yang tertinggi disebut wahyu, yang khusus diberikan kepada para nabi.

Mengenal Allah dengan cara-cara sufi perlu dikembangkan untuk mereka-mereka yang sibuk dengan urusan dunia. Hal ini dengan cara menjadikan segala usahanya untuk ibadah pada Allah, mengkaitkan segala cintanya hanya untuk Allah, dan menghilangkan segala ingatannya kecuali ingat Allah.

Orang yang berma’rifah dengan cara begitu, niscaya tidak akan pernah khawatir akan segala masalah yang menimpanya di dunia. Jika ia mendapatkan bala’ atau cobaan di dunia ia faham bahwa Allah sedang mengujinya. Ia pun sabar karena cobaan pasti berakhir dengan kelulusan dan ganjaran.

Jika seorang ‘arfi billah mendapatkan nikmat dan karunia Allah swt, ia juga tahu ini juga ujian dari Allah swt, apakah hamba akan bersyukur atau kufur. Ia pun besyukur, sebab ia merasa cintanya tidak sebanding dengan nikmatNya. Disini nasehat Umar ibn Khattab menjadi relevan:”Di dunia ini ada dua kendaraan yang akan membawa seseorang hidup dengan selamat yaitu sabar dan syukur”

Leave a Reply