Home Artikel Lokakarya Islamisasi Ilmu di UIKA

Lokakarya Islamisasi Ilmu di UIKA

952
0

Beberapa bulan lalu ada peristiwa penting yang tidak boleh dilewatkan para pelaku dan peminat Pendidikan Islam.  Setelah  menggelar  Seminar Internasional pada 18-19 Mei 2011, lalu Seminar Nasional  pada 29 Juni 2011, tentang Tema yang sama, maka pada Hari Rabu, 20 Juli 2011, Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor  menyelenggarakan Lokakarya “Islamisasi Ilmu dan Kampus” untuk para pejabat Struktural kampus UIKA Bogor.

Lokakarya diikuti oleh seluruh pejabat struktural,  mulai Rektor , wakil Rektor, sampai semua dekan dan para wakil dekan di UIKA. Lokakarya dibuka oleh Rektor UIKA, Prof. Dr. Ramly Hutabarat.  Bertindak sebagai Keynote speaker adalah Prof Dr Ir AM Saefuddin, dengan pemateri Dr. Adian Husaini dan Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi.

Bagi UIKA, wacana Islamisasi Ilmu dan Kampus bukanlah hal yang baru.  Gerakan itu sudah diserukan oleh Prof AM Saefuddin saat dia menjadi rektor UIKA tahun 1983.    Dalam paparannya, AM Saefuddin menekankan perlunya konsep Islamisasi Ilmu dan Kampus diaplikasi kan dengan sungguh-sungguh dalam kehidupan kampus. Bukan hanya dalam kurikulum, tetapi juga dalam perilaku sivitas akademika dalam kehidupan kampus.

Dalam Lokakarya tersebut,  saya menyampaikan paparan tentang  perlunya UIKA mengambil peluang melaksanakan Islamisasi Ilmu, sebab tuntutan umat Islam sangat besar, akan terwujudnya satu kampus Islam yang benar-benar Islami dan bermutu.  Banyak orang tua kini bertanya, setelah anaknya tamat di satu SMA atau Madrasah Aliyah yang baik, ke mana anaknya harus melanjutkan kuliah. Mereka ingin agar anaknya benar-benar menjadi sarjana yang baik, yakni memiliki pemahaman Islam yang benar, bebas dari pengaruh liberal, dan memiliki keahlian tertentu yang diperlukan untuk mengarungi kehidupan di dunia.

Ada contoh kasus. Seorang anak lulusan satu Pesantren unggulan yang bermutu tinggi, hafal al-Quran 30 juz dan juga menguasai ilmu-ilmu Ilmu Pengetahuan Alam dengan baik. Setelah diterima di satu perguruan tinggi terkenal di Yogyakarta, si anak kesulitan megembangkan ilmu-ilmu keislaman yang sudah dikuasainya saat belajar di pesantrennya.

Islamisasi Ilmu bukan sesuatu yang utopis, sebagaimana dibayangkan oleh sebagian kalangan, sehingga ada yang ketakutan dengan istilah “Islamisasi”.  Ketika suatu institusi Pendidikan melabeli dirinya dengan kata “Islam”,  atau menyatakan dirinya sebagai lembaga pendidikan Islam, maka  saat itulah ia berkewajiban meloakukan proses Islamisasi yang terus-menerus, sehingga lembaganya menjadi semakin Islami.

 

Apanya yang harus Islami?

Tentu saja, yang harus Islami adalah pemikiran dan perilaku pimpinan dan dosen-dosennya terlebih dahulu. Sebab, mereka adalah guru, yang – dalam bahasa Jawa – artinya wajib “digugu” dan “ditiru”. Dosen harus menjadi teladan bagi mahasiswa, dalam hal keilmuan, ibadah,  dan akhlak. Jika hal itu belum tercapai, maka perlu dilakukan proses Islamisasi!

Selain itu, tentu saja, Islamisasi harus mencakup kurikulum pendidikannya. Jika masih ada diantara kurikulum yang diajarkan mengandung muatan-muatan pemikiran secular atau liberal – misalnya – maka hal itu wajib diluruskan dan di-Islamkan. Jika tidak bisa dilakukan proses Islamisasi, maka kurikulum sekular itu harus dibuang, atau minimal dibahas untuk dikritisi dengan perspektif Islam.

Misalnya, kurikulum tentang sains kealaman (natural sciences), seharusnya dikaitkan dengan konsep tauhid dan sejarah sains Islam.  Sebab, objek studi kajian ilmu ini adalah “ayat-ayat Allah”.  Jika metode belajar sains itu Islami, maka pengajaran sains harusnya mengarahkan mahasiswa untuk semakin mengenal sang-Pencipta (ma’rifatullah) dan mendorong mereka semakin taat kepada Allah.  Jika pelajaran sains semakin menjauhkan mahasiswa dari Allah,  – misalnya hanya diarahkan untuk eksploitasi alam semata-mata —  itu sama saja menjerumuskan manusia ke derajat binatang, bahkan lebih rendah lagi. (QS 7:179).

Disamping itu, pelajaran sains perlu dikaitkan dengan sejarah sains itu sendiri, yang selama ini tidak memperkenalkan prestasi para ilmuwan Muslim.  Sejarah sains itu perlu disampaikan dengan jujur, sehingga diharapkan dapat menanamkan sikap “izzah”   (pride) pada diri mahasiswa Muslim. Mereka perlu paham, bahwa Islam adalah sebuah peradaban yang pernah memimpin dunia dalam bidang sains, beratus tahun sebelum dunia Barat kemudian mengambil alih prestasi kaum Muslim tersebut. Islam bukan hanya mimpi dan utopia, tetapi sebuah konsep yang dapat diterapkan dalam kehidupan: pribadi, keluarga, masyarakat, dan kenegaraan.

Itu memang masa lalu.  Ini bukan soal romantisisme. Tetapi, masa lalu memang teramat penting untuk memberikan perspektif tentang masa depan.  Semua bangsa menengok masa lalu untuk merumuskan masa depannya. Inilah yang disebut sejarah. Bangsa Barat mengenalkan masyarakat mereka dengan masa lalu, agar mereka bangga dengan peradaban mereka di masa Yunani dan Romawi.  Bangsa China, hingga kini, terus menggalakkan masyarakatnya agar tidak melupakan nilai-nilai masa lampau mereka. Begitu juga bangsa India, Jepang, dan sebagainya.

Kita, kaum Muslim di Indonesia, juga diarahkan untuk membangga-banggakan masa lalu kita. Hanya saja, sebagai Muslim, kita dipaksa untuk membanggakan zaman Majapahit di masa Gajah Mada. Mitos kebesaran Majapahit di zaman Gajah Mada itulah yang harus kita banggakan.  Lalu, dimana letaknya kejayaan Islam di Indonesia?  Kita – secara halus – diajari bahwa tidak ada yang bisa dibanggakan dari Islam! Islam tidak menghasilkan Borobudur dan Prambanan yang menjadi kebanggaan dunia. Maka, dampaknya, bangsa kita dilarang menonjolkan Islam di mana-mana.

Begitu keluar dari pintu bandara internasional Soekarno-Hatta kita tidak disambut oleh tulisan ayat-ayat al-Quran  atau foto-foto Masjid dan Pesantren. Tapi, kita disambut oleh berbagai jenis patung!  Itulah Indonesia!?  Memang, 87% penduduk Indonesia Muslim, tetapi diajarkan bahwa Islam tidak pernah membawa kemajuan bagi bangsa ini.  Bahkan, Islamlah yang menghancurkan kebesaran Majapahit!  Itulah yang diajarkan kepada kita, kepada anak-anak kita sekarang di sekolah-sekolah, bahkan di madrasah dan pondok pesantren!

Ironis sekali!  Sebuah bangsa Muslim terbesar berhasil dibelokkan dari sejarahnya sendiri, sehingga bangsa Muslim ini tidak merasa sebagai bagian dari umat Islam, dan merasa tidak perlu untuk melanjutkan proses Islamisasi  di Kepulauan Nusantara. Akibatnya,  kaum Muslim dijauhkan dari rasa memiliki bangsa ini. Lihatlah, hingga kini, mungkin jarang sekali ada masjid atau Majlis Ta’lim yang secara sengaja merayakan Peringatan Kemerdekaan RI setiap tanggal 17 Agustus. Sebab, sudah dijejalkan di kepala kita, sejak sekolah di SD,  yang namanya memperingati kemerdekaan itu hanya dilakukan dengan Upacara Bendera. Padahal, kemerdekaan RI adalah buah dari perjuangan fi sabilillah yang dilakukan para pejuang kemerdekaan.

Sebenarnya, banyak sejarawan yang sudah mencoba meluruskan pengajaran sejarah di sekolah-sekolah.  Sebab, faktanya tidaklah seperti itu. Di kawasan Nusantara ini, Islam telah menorehkan goresan tinta emas dalam upaya kebangkitan intelektual.  Sebagai contoh, apa yang pernah ditulis oleh seorang wartawan senior Rosihan Anwar.

Nama Rosihan Anwar (1922-2011), tidaklah terlalu identik dengan sosok seorang tokoh Islam, seperti Moh. Natsir, Prof. Hamka, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy’ari, dan sebagainya. Rosihan Anwar lebih dikenal sebagai wartawan senior yang hidup di beberapa  zaman: kolonial Belanda, pendudukan Jepang, Kemerdekaan Indonesia, dan pasca Kemerdekaan. Ia pun sempat menyaksikan naik turunnya rezim-rezim penguasa di Indonesia, dari Soekarno sampai Soesilo Bambang Yudhoyono.

Meskipun begitu,  membaca sebuah bukunya yang berjudul Jatuh Bangun Pergerakan Islam di Indonesia (1971), tidak dapat dipungkiri, ada sejumlah gagasan “Islamisasi” pemahaman sejarah Indonesia, yang menarik untuk disimak. Kamis (4/8/2011), saya diminta menjadi salah satu pembahas buku yang kembali diterbitkan oleh Fadli Zon Library. Pembahas lain, Prof. Dr. Taufik Abdullah, sejarawan senior LIPI.

Buku ini sejatinya merupakan kumpulan surat/nasehat Rosihan Anwar kepada putrinya, Aida Fathya. Simaklah sebagian kutipan nasehat Rosihan kepada putrinya tersebut:

“J.M. Pluvier menamakan Islam sebagai suatu pra-nasionalisme di Nusantara. W.F. Wertheim pun melihat peran Islam sebagai gerakan pra-nasionalisme. Bahkan Rupert Emerson dan Fred von der Mahden melihat adanya interrelasi antara hubungan agama dengan nasionalisme di Burma dan Indonesia. Gerakan kebangsaan di Burma dipelopori oleh Young Men’s Buddhist Association, begitu juga gerakan nasionalisme Indonesia yang dipelopori oleh orang-orang Islam. Budi Utomo memang merupakan sebuah gerakan nasionalis, sama seperti Nationale Indische Partij yang dipimin Douwes Dekker alias Dr. Setia Budi, tetapi gerakan-gerakan itu kecil. Dan, SI-lah gerakan kebangsaan-keagamaan yang pertama dengan anggota-anggotanya yang mencapai 2 juta orang ada saat itu, dan mempunyai organisasi massa yang berakar di kaum petani atau apa yang dinamakan George Kahin “the first peasant-based mass organisastion. Inilah yang harus kau ingat selalu, Aida Fathya, bahwa pelopor gerakan nasionalisme yang menentang kolonialisme dan imperialisme Belanda ialah Islam.”

Meskipun buku ini tidak terlalu mendalam dan terperinci membahas tentang sejarah perkembangan Islam di Indonesia, tetapi buku ini mengungkap percikan-percikan fakta sejarah pergerakan nasional Indonesia yang dipelopori oleh para tokoh dan organisasi Islam. Rosihan membawakan pesan penting bagi bangsa Indonesia, bahwa Islam adalah pelopor kebangkitan nasional dan pelopor dalam pembebasan Indonesia dari belenggu penjajahan.

Itu pesan penting dari Rosihan Anwar. Dan pesan itu memiliki nilai yang sangat berarti, sebab – tidak dapat disangkal – para sejarawan dan tokoh-tokoh Islam Indonesia telah banyak mengungkapkan kejanggalan penulisan dan pengajaran sejarah di Indonesia, khususnya yang terkait dengan Islam. Di sana-sini, secara sistematis, ditemukan upaya untuk mengecilkan peran Islam dalam sejarah kebangkitan dan kemerdekaan Indonesia.

Pada catatan yang lalu, kita pernah mengutip tulisan Buya Hamka  dalam Tafsir al-Azhar: “Diajarkan secara halus apa yang dinamai Nasionalisme, dan hendaklah Nasionalisme diputuskan dengan Islam. Sebab itu bangsa Indonesia hendaklah lebih mencintai Gajah Mada daripada Raden Patah. (Lihat, Hamka, Tafsir al-Azhar — Juzu’ VI, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), hal. 300.)

Cobalah tanyakan kepada anak-anak kita sekarang, apakah mereka mengenal Raden Patah, Raja Muslim Pertama di Tanah Jawa? Raden Patah adalah putra Raja Majapahit, yang sekaligus santri dari Sunan Ampel.  Tanyakan kepada para siswa di sekolah-sekolah Islam, apakah mereka mengenal dan mengagumi Sultan Agung yang mengirimkan para tentaranya dari Yogyakarta ke Jakarta untuk mengusir penjajah Portugis?

Tapi, kita dan anak-anak kita terus dicekoki sebuah cerita bahwa Nusantara pernah disatukan oleh Gajah Mada. Bahwa Kerajaan Hindu itulah yang berhasil menyatukan Nusantara. Lalu, setelah itu, datanglah Kerajaan Islam dengan Raja-nya Raden Patah dan didukung para Wali Songo, untuk meruntuhkan Kerajaan Majapahit.  Opini yang ingin disampaikan kepada anak-anak kita tampaknya:  “Islam datang untuk menghancurkan kejayaan Indonesia yang sudah berhasil dibangun oleh Majapahit!” Sebab, setelah itu — sebagaimana digambarkan dalam buku pelajaran Sejarah —  muncul Kerajaan-kerajaan Islam yang tidak pernah berhasil menjelma menjadi Kerajaan Nasional, sebagaimana Sriwijaya dan Majapahit. Jadi, Islam digambarkan sebagai faktor yang tidak kondusif sebagai ”pemersatu Indonesia”. Dengan kata lain, Indonesia hanya bisa disatukan bukan dengan Islam, tetapi dengan ideologi lain, apakah ateisme, animisme, atau sekularisme.

Padahal, coba tanyakan kepada mereka, kapan Majapahit benar-benar berhasil menyatukan Nusantara; wilayahnya sampai dimana; dengan cara apa Majapahit menyatukan Nusantara.  Katanya, Gajah Mada pernah bersumpah, namanya Sumpah Palapa! Apakah sumpah seseorang bisa dijadikan bukti bahwa dia berhasil mewujudkan sumpahnya? Prof. C.C. Berg, termasuk sejarawan yang mengkritik upaya pengkultusan dan pemitosan kebesaran Majapahit. Ia menulis sebuah artikel di Jurnal Indonesië, Maret 1952, No. 5, berjudul ”De Sadeng-oorlog en de mythe van Groot-Majapahit” (Perang Sadeng dan Mitos Kebesaran Majapahit).

Mitos kebesaran dan keruntuhan Majapahit banyak dikisahkan dalam Kitab anonim Darmagandul yang isinya meratapi keruntuhan Majaphit dan mencerca para penyebar Islam di Tanah Jawa (Wali Songo).   Serat ini begitu menggebu-gebu menyerang Islam dan mengharapkan orang Jawa berganti agama, dengan meninggalkan Islam. Ditulis, misalnya: “Wong Djawa ganti agama, akeh tinggal agama Islam bendjing, aganti agama kaweruh, ….(Artinya: Orang Jawa ganti agama, besok banyak yang meninggalkan Islam, berganti (menganut) agama kaweruh …).  Juga ditulis: “Kitab Arab djaman wektu niki, sampun mboten kanggo, resah sija adil lan kukume, ingkang kangge mutusi prakawis, kitabe Djeng Nabi, Isa Rahullahu.” (Artinya: Kitab Arab jaman waktu ini, sudah tidak terpakai, hukumnya meresahkan dan tidak adil, yang digunakan untuk memutusi perkara adalah kitab Kanjeng Nabi Isa Rahullah). (Lihat, Anonim. Darmagandul. Cetakan IV. (Kediri: Penerbit Tan Khoen Swie, 1955).

Fakta pengajaran sains dan sejarah di sekolah-sekolah semacam itu, seharusnya menjadi perhatian serius dari Perguruan Tinggi Islam (PTI). Sebab, tugas utama PTI memang melahirkan sarjana-sarjana yang memahami ilmu agama dan kondisi kontemporer sekaligus. Itulah yang disebut program Islamisasi. Karena itu, lokakarya “Islamisasi Ilmu” yang dilakukan untuk para pejabat struktural Kampus UIKA Bogor dapat dijadikan salah satu contoh yang baik.

Lokakarya di UIKA itu sangat istimewa. Sebab,  “peniup peluit” pertama  Islamisasi Ilmu di UIKA, yaitu Prof Dr Ir AM Saefuddin dengan setia menunggui acara itu, dari pagi hari sampai berakhirnya acara di sore harinya. Pak AM – begitu dia biasa dipanggil – berharap agar UIKA Bogor bisa menjadi salah satu kampus tempat bersemainya gagasan Islamisasi Ilmu yang sudah dia gulirkan 28 tahun sebelumnya.  Amin.*/Depok, 23 Ramadhan 1432 H/23 Agustus 2011.

Leave a Reply