Umat Islam mesti berpikir strategis dan bekerja sinergis untuk 30 hingga 50 tahun ke depan. Demikian ditegaskan oleh Profesor Amer Al Roubaie dalam ‘kuliah istimewa’ atau Special Lecture yang digelar INSISTS pada hari Sabtu kemarin, 13 Agustus 2016, di Sofyan Inn Tebet, Jakarta. Puluhan peserta yang datang tidak hanya dari Jakarta dan sekitarnya bahkan dari Bogor, Solo dan Surabaya tampak antusias menyimak pemaparan beliau –dalam bahasa Inggris- mengenai tantangan multidimensi yang dihadapi negara-negara Muslim di era globalisasi saat ini. Dalam kata sambutannya, Dr Syamsuddin Arif selaku Direktur Eksekutif INSISTS berharap acara semacam ini dapat lebih kerap lagi diadakan untuk memberi pencerahan yang signifikan.
Mengawali paparannya, Profesor Amer Al Roubaie mulai dengan pengertian globalisasi. Apakah itu, dari mana, dan hendak kemana, mengapa, dan bagaimana. Dalam arti yang sederhana, globalisasi adalah lenyapnya sekat-sekat antar negara dan antar bangsa, dimana orang dan barang serta informasi bisa bergerak pindah dari satu lokasi ke lokasi lain dengan sangat cepat, mudah dan semakin murah. Di era globalisasi seperti sekarang ini jarak geografis tidak lagi menjadi hambatan yang berarti. Guru besar asal Irak yang meraih gelar doktor ekonomi dari Kanada ini menyebut peperangan, kemiskinan, kebodohan, kediktatoran, ketidaktransparan politik, dan pertikaian antar kelompok etnis sebagai faktor-faktor utama yang menyebabkan keterpurukan negara-negara Islam.
Profesor ekonomi yang kini menjabat sebagai Dekan Fakultas Bisnis dan Keuangan di Ahlia University Bahrain ini juga mengkritik tajam kesenjangan yang terjadi antara cita-cita luhur ekonomi Syariah dengan praktik nyata khususnya di sektor keuangan dan perbankan. “Islamic finance has been hijacked (keuangan Islam telah dibajak),” ujarnya, oleh segelintir orang yang memanfaatkannya sebagai peluang mencari keuntungan sebesar-besarnya dari animo masyarakat ‘hijrah’ ke sistem alternatif berlabel Syariah. Jika dibiarkan terus-menerus seperti ini, umat Islam bukannya jadi pemain, tetapi justru akan dipermainkan oleh mereka yang jauh lebih kuat, lebih siap, lebih sigap dan lebih cerdas di luar sana.
Menurut Profesor Amer Al Roubaie, umat Islam wajib investasi di sektor pendidikan. Hal ini karena ekonomi negara sekarang dan di masa depan akan lebih banyak ditentukan oleh penguasaan ilmu pengetahuan, sains dan teknologi, daripada sekadar mengandalkan kekayaan alam yang pasti akan semakin berkurang dari tahun ke tahun. Pemerintah Indonesia dan negara-negara Islam lainnya harus serius membangun ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-based economy) untuk mengatasi keterpurukan dan mengejar ketertinggalan mereka dalam ajang kompetisi global di abad ke-21 ini.
Untuk itulah berkali-kali ia menekankan pentingnya bekerja, bekerja, dan bekerja. “Wa quli‘malū!” (Maka katakan kepada mereka: bekerjalah!), tegas beliau mengutip sebuah ayat al-Qur’an yang sering dilupakan orang. Umat Islam tidak boleh menganggur, tidak boleh menyia-nyiakan waktu tanpa menghasilkan sesuatu. “If you are not working, then a tree is better than you!” kata beliau menambahkan (Kalau anda tidak bekerja alias menganggur, maka sebatang pohon masih lebih baik daripada anda!). Umat Islam harus produktif, tegasnya.
Di samping itu, Profesor yang hobi memasak sendiri ini berpesan agar orangtua, guru, dan dosen tidak sekadar mengajar dan menyampaikan informasi, akan tetapi mesti mendorong anak didik, mahasiswa dan generasi muda umumnya supaya kreatif dan innovatif. Dan ini hanya bisa dilakukan jika kita memberikan kesempatan dan kebebasan kepada mereka untuk aktif bicara dan berpikir kritis. Ditandaskannya juga bahwa perguruan tinggi di negara-negara Islam mesti mendorong kerja-kerja riset dan memperkokoh budaya riset agar bisa lebih efektif memainkan perannya sebagai agen perubahan dan pelopor pembangunan ekonomi berbasis pengetahuan itu. (sa/yh).