Home Berita Konferensi Peradaban

Konferensi Peradaban

801
0

Dalam rangka mengembangkan misi hubungan antar peradaban yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dan perdamaian, Bibliotheca Alexandrina menggelar konferensi yang bertajuk “Ta’aruf al-Khadharaat”. Konferensi ini berlangsung selama dua hari, 18-19 Mei 2011, di Bibliotheca Alexandria (Maktabah Iskandariyah) dan dihadiri oleh para akademisi dari 18 negara-negara Islam dan Arab. Turut menyukseskan acara ini dua lembaga pendidikan Mesir, yakni Pusat Studi Kebudayaan & Dialog Peradaban Fakultas Ekonomi dan Ilmu Politik Universitas Kairo, dan “Markaz al-Hiwar” Universitas al-Azhar. Tidak kurang dari 17 pembicara dihadirkan dari 7 negara-negara Islam, seperti: Mesir, Maroko, Algeria, Tunisia, Turki, Iran dan Saudi Arabia untuk mengulas seputar masalah peradaban dan pemikiran Islam.

Istilah ta’aaruf adalah istilah Qur’ani yang berarti saling mengenal. Allah berfirman: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. Hujurat: 12)

Ta’aruf Khadharaat secara harfiyah berarti usaha saling mengenal beragam peradaban. Ia merupakan istilah modern yang muncul untuk mengembangkan wawasan pengetahuan dan memerangi ketidaktahuan terhadap peradaban dunia. Istilah ini bertujuan untuk membina hubungan antar peradaban secara bermartabat dan saling menghormati. Di samping itu, ia juga mengkritisi istilah-istilah yang berdampak negatif yang sering disandingkan dengan kata “peradaban”, seperti istilah: konflik, konfrontasi, divisi dan penolakan sepihak oleh yang kuat.

Konferensi peradaban digelar untuk membahas unsur-unsur peradaban Islam yang damai dan berkemajuan sehingga diharapkan bisa berkonstribusi membangun dunia yang aman, sejahtera, jauh dari saling mencurigai, serta bisa dinikmati manusia semuanya. Dalam sambutan tertulisnya, Imam Akbar Syeikh al-Azhar Prof. Dr. Ahmad al-Thayyib menguraikan karakter ajaran Islam yang toleran dan terbuka terhadap pemeluk agama lain. Beliau juga mengungkapkan data-data historis tentang keterbukaan Islam terhadap semua umat dan peradaban. Interaksi yang sangat intensif terhadap peradaban umat lain bisa dilihat jelas melalui gerakan penerjemahan buku-buku agama dan tasauf India, filsafat Yunani serta peradaban Persia kedalam bahasa Arab.

Prof. Dr. Nadiya Mahmud Mustafa, professor di bidang hubungan internasional dan ketua jurusan ilmu politik di Universitas Kairo, mengulas contoh-contoh historis tentang adanya upaya saling mengenal antar peradaban baik melalui perang maupun diplomasi. Misalnya bagaimana peradaban Islam berinteraksi dengan peradaban lainnya, baik bangsa-bangsa yang ditaklukkannya maupun yang menaklukkannya. Seperti yang terjadi pada masa-masa kejayaan Islam saat menaklukkan kawasan Syam, Persia, Spanyol, Balkan (Yugoslavia, Belgrade, Sarajevo), dst. Atau ketika munculnya kebangkitan Kristen di Spanyol hingga terjadi pembersihan etnis Islam dan budaya Arab dari bumi tersebut; kisah Islamnya kekaisaran Mongol setelah menaklukkan negeri-negeri Islam, terjalinnya hubungan ekonomi melalui jalur sutera pada masa Daulah Usmaniyyah, dst.

Dr. Nevzat Savas, pembicara dari Turki, membahas tentang mobilisasi pendidikan dan harta dalam mencetak manusia berperadaban. Beliau mengatakan bahwa manusia adalah kunci perubahan sosial dan kunci pembangunan peradaban. Sedangkan ilmu pengetahuan ibarat ragi dan kimia pengubah manusia. Ilmu pengetahuan yang integral akan menghasilkan manusia yang paripurna. Oleh karena itu, perubahan sosial dan pembangunan peradaban yang hakiki hanya akan tercapai apabila peradaban ilmu terbina dengan baik. Peradaban yang dibangun dari ilmu yang integral ibarat gelombang ombak yang berasal dari dasar laut yang akan menggerakkan seluruh lautan. Ia bukanlah sekedar ombak di permukaan laut yang muncul dan hilang karena tiupan angin. Dalam hal ini Dr. Nevzat banyak memaparkan pengalaman dari falsafah sekolah Turki yang didirikan di banyak negara oleh sekelompok saudagar Turki.

Sedangkan Dr. Bensaeed Alawi, pembicara dari Maroko menyampaikan kritiknya terhadap ideologi Européocentrisme (markaziyah aurubiyyah) dalam rangka interaksi yang positif antar peradaban. Européocentrisme adalah pandangan bahwa benar-salah atau baik-buruk hanya didasarkan menurut orang Eropa. Ia merupakan pandangan yang mendasarkan bahwa pusat/poros peradaban hanya pada sekelompok bangsa (eropa). Européocentrisme membagi dunia kepada dua kelompok; eropa dan non-eropa. Kelompok eropa digambarkan sebagai rasionalitas yang logis, sementara rasionalitas non-eropa adalah primitif.

Cara pandang ini sejatinya mirip egocentrisme (ananah) yang menjangkiti dunia anak-anak, atau seperti paham narsisme (narjisiyah) yang tidak melihat kecuali hanya pada dirinya.

Européocentrisme kemudian dilanjutkan dengan paham Néo-Européocentrisme atau Néo-Occidantalocentrisme yang direpresentasikan oleh Amerika Serikat. Menurut Bensaeed, paham ini dikenal luas melalui teori the clash of civilizations yang digagas oleh Samuel P. Huntington. Teori Huntington ini dalam pandangan Bensaeed didasari oleh beberapa tesis, di antaranya: a) kebencian adalah motor penggerak sejarah. b) agama adalah poros kekuatan yang memicu konflik. c) Islam dan Cina dipandang sebagai dua kekuatan yang mengancam Barat. Terlebih setelah jatuhnya komunisme di Uni Soviet, Islam ditempatkan sebagai musuh utama Barat.

Ta’aruf Khadharaat bagi Bensaeed adalah proyek besar untuk mengikis Islamophobia dari kalangan Barat maupun Western phobia dari masyarakat Muslim. Kiranya cukuplah menjadi catatan baik bagi Barat maupun internal komunitas Muslim, bahwa peradaban Arab Islam sejak masa klasik berdiri tegak di atas pengakuan terhadap adanya peradaban-peradaban bangsa lain.

Istilah ta’aruf sendiri pada hakekatnya muncul dari sikap terbuka, keinginan bertemu dan berinteraksi dengan pihak lain. Ta’aruf Khadharat adalah proyek masa depan yang bertujuan melampaui kondisi perang dan saling membenci seperti yang terjadi saat ini. Sehingga dengan demikian akan terwujud hari esok yang damai, saling memahami dan jauh dari belantara purba sangka. Bensaeed menukil falsafah pemikir Prancis, Gaston Bachelard tentang pengetahuan yang benar dan ilmiah, bahwa belajar itu tidak sekedar meraih pengetahuan baru, tapi juga yang bermanfaat untuk mengoreksi praduga-praduga keliru yang sudah terlanjur tersebar luas.

Konferensi ini memang terasa singkat untuk membahas masalah-masalah peradaban. Namun demikian, paling tidak konferensi ini telah memberi sumbangan positif dengan menggali khazanah Islam yang pernah tampil sebagai model dalam menjaga eksistensi peradaban-peradaban umat manusia. Tidak ada indikasi sejarah bahwa menjadi muslim berarti akan menafikan komunitas lainnya. Sebaliknya, Islam hadir membawa rahmat bagi semua bangsa dan peradaban. Dan di tengah-tengah gelombang reformasi yang melanda beberapa negara Arab, dunia akan senantiasa menunggu konstribusi dari peradaban Islam.

Laporan dari Konferensi Peradaban di Iskandariya, 18-19 Mei 2011

Leave a Reply