Oleh: Fahmi Salim (Wasekjen Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia/MIUMI)
Bagi kaum muslim, keyakinan dan fakta sejarah bahwa Islam memiliki konsep dan praktik politik yang menjadi salah satu pilar peradaban Islam, sudah tak terbantahkan. Bahkan, ini juga diakui oleh para cendekiawan Barat. Sir Thomas Arnold dalam buku “The Caliphate” misalnya mengatakan, “Adalah Nabi, pada waktu yang sama, seorang kepala agama dan kepala Negara” (Oxford: 1924, hlm.30).
DB. Macdonald dalam “Development of Muslim Theology, Jurisprudence and Constitutional Theory” pernah menulis, “Di sini (Madinah) dibangun Negara Islam yang pertama dan diletakkan prinsip-prinsip utama undang-undang Islam” (New York, 1903, hlm.67). demikian pula Prof. HR Gibb dalam “Mohammedanism” mencatat, “Jelaslah bahwa Islam bukanlah sekadar kepercayaan agama individual, sebab ia meniscayakan berdirinya suatu bangunan masyarakat yang independen. Ia memiliki metode tersendiri dalam sistem pemerintahan, perundang-undangan dan institusi” (1949).
Tak dipungkiri, ada sebagian muslim yang mengingkari fakta ini dan mengklaim bahwa Islam hanyalah urusan dakwah agama seperti Ali Abdurraziq dalam bukunya Al-Islam wa Ushul Al-Hukmi (1925). Tapi, fakta sejarah membuktikan lain. Bahkan, cendekiawan seperti Dr. V. Fitzgerald pun menulis, “Islam bukanlah semata agama (a religion) namun juga sebuah sistem politik (a political system). Meskipun pada dekade terakhir ada kalangan Islam yang mengklaim sebagai modernis yang berusaha memisahkan kedua sisi itu, namun seluruh gugusan pemikiran Islam dibangun diatas fondasi bahwa kedua sisi itu saling bergandengan selaras dan tak dapat dipisahkan satu sama lain” (Muhammedan Law, ch.1,p.1).
Umat Sumber Kontrak Politik
Teori kepemimpinan dalam Islam sering diistilahkan “Imamah” dan “Khilafah”. Para mujtahid aliran-aliran Islam selurunya –kecuali Syiah Imamiyah- bersepakat bahwa cara untuk mencapai kursi kepemimpinan melalui pemilihan dan kemufakatan, bukan melalui naskah wasiat atau penunjukan. Para ahli fiqih telah merumuskannya secara legal-formal dalam satu rumusan, “sesungguhnya keimamahan itu identik dengan konrak”. Dalam hal ini Prof.DR. Abd. Razaq As-Sanhuri mencatat bahwa “Keimamahan adalah sebuah kontrak yang hakiki” (Le Califat, Paris: 1926, hlm.94).
Kenyatan ini telah menjadi aksioma sampai seorang penyair Arab modern terbesar, A. Syauqi bersyair, “Agama adalah kemudahan, sedangkan khilafah terjadi dengan baiat, pemerintahan berasaskan musyawarah, sedangkan hak-hak harus terpenuhi oleh pengadilan”.
Para pakar teologi dan hukum Islam menekankan bahwa umat adalah pemilik sah kedaulatan dalam masalah kepemimpinan umum. Hal itu terlihat jelas jika umat bisa memutuskan untuk memecat seorang imam karena kefasikannya. Selain menjadi pihak pertama dalam kontrak politik, Umat juga sebagai pengawas keimamahan. Ini ditegaskan oleh Imam Ar-Razi, At-Taftazani, dan Al-Iiji dalam Al-Mawaqif.
Kontrak politik yang disodorkan umat kepada pemimpin harus dihormati dan dijaga dengan baik. Al-Qur’an dan Sunnah Nabi telah mewajibkan pemimpin untuk menepati kontraknya. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad itu” (Al-Maidah:1), “Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpahmu itu sesudah menegakkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (atas sumpah-sumpahmu itu). Sungguh, Allah mengetahui apa yang kamu perbuat” (An-Nahl:91). Rasulullah SAW bersabda, “Orang yang berkhianat pada hari kiamat akan dikibarkan untuknya panji yang bertuliskan: inilah pengkhianatan si fulan bin fulan” (Hr. Bukhari-Muslim).
Dengan demikian pemimpin yang diangkat oleh umat harus bertanggung jawab dan berintegritas baik ilmu, agama, dan moral. Selain bertanggung jawab kepada Allah, pemimpin/imam juga bertanggung jawab kepada umat. Sebab itulah, umat sebagai pihak yang memiliki hak mengangkat imam, dalam waktu yang sama juga berhak untuk memberhentikannya jika ditemukan alasan syar’i yang kuat untuk memakzulkan imam. Hak istimewa ini diberikan kepada umat karena agama Islam mewajibkan atas umat untuk melakukan amar makruf nahy munkar, musyawarah dan memberikan nasihat.
Dalam kondisi seorang pemimpin telah keluar dari rel konstitusi Al-Qur’an dan Hadis, tidak amanah, berlaku zalim atau melanggar aturan hukum, maka umat berhak menegur dan menentangnya, untuk dievaluasi atau bahkan diberhentikan langsung. Pandangan para pakar legislasi Islam dalam hal ini sangat jelas. Imam As-Syafii, seperti diriwayatkan oleh At-Taftazani, berkata, “Seorang imam dapat berhenti jika dia melakukan kefasikan atau kezaliman, begitu juga bagi seluruh qadhi dan para gubernur atau panglima perang”. (Syarah Al-‘Aqaid An-Nasafiyah, hlm.145). Imam al-Ghazali juga berpandangan, bahwa sultan yang zalim harus dilihat lagi keabsahan kekuasaannya, baik itu diberhentikan atau harus berhenti sendiri (Ihya’ Ulumiddin, vol.2/111).
Dalam pandangan As-Syahrastani, tingkah laku seseorang dapat dijadikan dalil dalam memenuhi persyaratan atau saksi dan hakim pengadilan. Maka tingkah laku itu pun dapat dijadikan dalil dalam memenuhi criteria keimamahan. “Jika kemudian setelah diangkat terlihat adanya kebodohan, kesewenang-wenangan, kesesatan atau kekafiran, dengan sendirinya dia terlepas dari jabatannya atau kita (umat) sendiri yang akan melepaskannya” (Nihayat Al-Iqdam, hlm.496)
Lalu, bagaimana negara ideal menurut Islam? Untuk menjawab ini, Dr. Yusuf Al-Qaradhawi –Ketua Persatuan Ulama Islam Internasional- menjelaskannya dalam buku “Min Fiqhi Ad-Dawlah fi Al-Islam” (Cairo: 1997). Di buku itu (hlm.30-53), Al-Qaradhawi menyebutkan karakteristik apa saja suatu Negara dikatakan sesuai dengan cita-cita Islam diantaranya: Pertama, negara yang pemimpinnya dipilih rakyat, dan negara dikelola dengan landasan konstitusi hukum Islam. Atau bahasa ringkasnya “Daulah Madaniyyah bi Marja’iyyah Islamiyah”.
Kedua, negara yang berbasis hukum dan undang-undangnya dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi dalam semua aspek privat, publik, perdata, pidana, dan hubungan internasional. Ketiga, negara yang kedepankan hikmah permusyawaratan, bukan otoriter dan diktator atau monarki absolut. Keempat, negara yang komitmen melindungi hak-hak dhuafa dan tertindas. Kelima, negara yang menjamin hak dan kebebasan warganya seperti hak hidup, berkeluarga, berusaha, keamanan dan kebebasan menjalankan agama tanpa hambatan.
Wallahu A’lam bish-shawab.