Home Artikel Kemunkaran Ilmu

Kemunkaran Ilmu

963
0

Salah satu kewajiban penting yang diamanahkan oleh Rasulullah saw kepada kaum Muslim adalah “al amru bil ma’ruf dan al-nahyu ‘anil munkar” (memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah kemunkaran). Secara umum, kaum Muslim wajib mendukung tegaknya kebaikan dan melawan kemunkaran. Tugas ini wajib dilakukan oleh seluruh kaum Muslimin, sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Sebab, Rasulullah saw sudah mengingatkan, agar siapa pun jika melihat kemunkaran, maka ia harus mengubah dengan tangan, dengan lisan, atau dengan hati, sesuai kapasitasnya.  Namun, secara kolektif, umat juga diwajibkan melakukan aktivitas ini secara jama’iy. Sebab, ada hal-hal yang tidak dapat dilaksanakan secara individual (fardiy).

Dalam kitabnya, Ihya’ Ulumuddin, Imam al-Ghazali menekankan, bahwa ativitas “amal ma’ruf dan nahi munkar” adalah kutub terbesar dalam urusan agama. Ia adalah sesuatu yang penting, dan karena misi itulah, maka Allah mengutus para nabi. Jika aktivitas ‘amar ma’ruf nahi munkar’  hilang, maka syiar kenabian hilang, agama menjadi rusak, kesesatan tersebar, kebodohan akan merajelela, satu negeri akan binasa. Begitu juga  umat secara keseluruhan.

Allah SWT berfirman, yang artinya: “Telah dilaknat orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa Putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (QS al-Maidah: 78-79).

Jadi, karena tidak melarang tindakan munkar diantara mereka, maka kaum Bani Israel itu dikutuk oleh Allah. Rasulullah saw juga memperingatkan: “Tidaklah dari satu kaum berbuat maksiat, dan diantara mereka ada orang yang mampu untuk melawannya, tetapi dia tidak berbuat itu, melainkan hampir-hampir Allah meratakan mereka dengan azab dari sisi-Nya.” (HR Abu Dawud, at-Turmudzi, dan Ibnu Majah).

Juga, sabda beliau saw: “Hendaklah kamu menjalankan amar ma’ruf dan nahi munkar, atau Allah akan memberikan kekuasaan atasmu kepada orang-orang jahat diantara kamu, dan kemudian orang-orang yang baik diantara kamu berdoa, lalu tidak dikabulkan doa mereka itu.(HR al-Bazzar dan at-Thabrani).
Sebab itu, langkah pertama setelah menyadari begitu pentingnya melakukan perlawanan terhadap kemunkaran, adalah memahami tentang ‘kemunkaran’ itu sendiri. Yang mana yang dimaksud dengan munkar. Kemudian, setelah paham, sesuai dengan ‘fiqhul awlawiyyat’ (fiqh prioritas), dilakukan pemetaan dan skala prioritas, kemunkaran mana yang wajib diperangi terlebih dulu. Saat ini begitu banyak kemunkaran bertebaran di muka bumi. Melalui media televisi, sebagian kemunkaran itu menyelusup masuk ke pojok-pojok kamar kita, tanpa permisi.

Tentu saja, kemunkaran terbesar dalam pandangan Islam, adalah kemunkaran di bidang aqidah Islamiyah. Yakni, kemunkaran yang mengubah dasar-dasar Islam. Inilah kemunkaran yang berawal dari kerusakan ilmu-ilmu Islam, yang menyangkut asas-asas pokok dalam Islam. Kemunkaran jenis ini jauh lebih dahsyat dari kemunkaran di bidang amal. Dosa orang yang mengingkari kewajiban salat lima waktu, lebih besar daripada dosa orang yang meninggalkan salat karena malas, tetapi masih meyakini kewajiban salat. Dosa orang yang menjadi pelacur masih lebih ringan dibandingkan dengan orang yang mengkampanyekan paham, bahwa menjadi pelacur adalah tindakan mulia. Karena itu, adalah merupakan tindakan kemunkaran yang sangat serius, ketika seorang mahasiswi sebuah kampus Islam di Yogyakarta menerbitkan buku berjudul “Tuhan, Ijinkan Aku Menjadi Pelacur”.

Buku itu memberikan legitimasi terhadap pelacuran dan free sex. Buku seperti ini membawa misi pengaburan antara yang haq dan yang bathil. Ironinya, ketika dibedah di kampusnya, banyak sekali mahasiswa yang mendukungnya. Buku-buku, tulisan-tulisan, atau ucapan-ucapan yang keliru yang disebarkan melalui media massa juga merupakan kemunkaran yang besar, lebih dari kemunkaran amal. Pornografi adalah munkar. Tetapi, pemikiran yang menyatakan, bahwa pornografi adalah tindakan mulia, merupakan kemunkaran yang lebih besar. Pelacur jelas berdosa dengan tindakan zinanya. Tetapi, orang-orang  yang memberikan legitimasi terhadap pelacuran, jelas melakukan kemunkaran yang lebih besar daripada pelacur itu sendiri. Seorang pengasong ide liberal di Indonesia mengecam tokoh-tokoh Islam yang menilai aksi ngebor seorang penyanyi dangdut dengan menggunakan standar nilai-nilai Islam. Ia menulis dalam sebuah buku: “Agama tidak bisa “seenak udelnya” sendiri masuk ke dalam bidang-bidang itu (kesenian dan kebebasan berekspresi) dan memaksakan sendiri standarnya kepada masyarakat…Agama hendaknya tahu batas-batasnya.”

Saat ini, bukan rahasia lagi, banyak kaum Muslimin yang mengabaikan ajaran-ajaran al-Quran. Tetapi, selama ini, mereka tetap yakin bahwa al-Quran adalah Kitab Suci. Al-Quran adalah firman Allah SWT. Tindakan mengabaikan ajaran al-Quran adalah munkar. Tetapi, penerbitan buku-buku dan artikel yang meragukan kesucian dan keotentikan al-Quran adalah kemunkaran yang lebih besar.

“Kemunkaran ilmu”  merupakan kemunkaran yang terbesar dalam perspektif Islam. Sebab, jika ilmu salah, maka akan muncul ulama yang salah. Jika ulama salah, maka umara (penguasa) dan umat pun akan salah. Kemunkaran ilmu adalah sumber kesalahan asasi dalam Islam. Ilmu yang salah mengacaukan batas antara al-haq dan al-bathil. Orang yang bathil tidak menemukan jalan untuk bertaubat, sebab dia merasa apa yang dilakukannya adalah tindakan yang baik. Allah SWT berfirman, yang artinya: “Katakanlah, akankah Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi amal perbuatannya?” Yaitu orang-orang  yang telah sesat amal perbuatannya di dunia ini, tetapi mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya.” (QS al-Kahfi:103-104).

Di dalam Majalah Islamia edisi ke-5, 2005, yang membahas tentang “Epistemologi Islam”, Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud, menguraikan bahaya kekeliruan dan kejahilan dalam ilmu. Menurut konsepsi Islam tentang kejahilan seperti diuraikan Ibn Manzur dalam karyanya, Lisan Al-’Arab, bahwa kejahilan itu terdiri daripada dua jenis. Pertama, kejahilan yang ringan, iaitu kurangnya ilmu tentang apa yang seharusnya diketahui; dan kedua, kejahilan yang berat, yaitu keyakinan salah yang bertentangan dengan fakta ataupun realita, meyakini sesuatu yang berbeda dengan sesuatu itu sendiri, ataupun melakukan sesuatu dengan cara yang berbeda dengan yang seharusnya. Jelaslah bahwa kejahilan dalam kedua-dua konteks di atas adalah penyebab utama terjadinya  kesalahan, kekurangan, atau kejahatan manusia. Kejahilan yang ringan dapat dengan mudah diobati dengan pengajaran biasa ataupun pendidikan, tetapi kejahilan yang berat, sebagaimana, merupakan sesuatu yang sangat berbahaya dalam pembangunan keilmuan, keagamaan, dan akhlak individu dan masyarakat, sebab kejahilan jenis ini bersumber dari diri rohani yang tidak sempurna, yang dinyatakan dengan sikap penolakan terhadap kebenaran.

Demikian kutipan ringkas pendapat Prof. Wan Mohd Nor. Kita bisa memahami, kejahilan jenis kedua justru terjadi di kalangan para cendekiawan/ulama. Sebagian mereka sudah menjuluki dirinya ilmuwan (bergelar doktor, profesor, cendekiawan, Kyai Haji dan sebagainya). Tetapi,  ilmu yang mereka punyai dan mereka sebarkan ke tengah masyarakat, adalah ilmu yang keliru. Bisa saja, mereka paham akan hal itu, tetapi karena tidak tahan dengan godaan dunia, mereka menjual kebenaran dengan kesesatan. Bisa juga mereka memang tidak paham. Bisa jadi ia seorang profesor bidang sejarah atau politik, tetapi karena posisinya sebagai tokoh Islam, maka ia merasa tahu tentang Islam dan menulis atau berbicara semaunya tentang Islam, meskipun dia sebenarnya tidak memahami ’ulumuddin’ dengan baik.

Kejahilan di kalangan cendekiawan ini tidak mudah diobati. Di zaman Nabi Muhammad saw, tantangan keras terhadap misi kenabian justru datang dari para bangsawan dan cerdik pandai. Mereka pandai berhujjah dan memutarbalikkan fakta kebenaran, sehingga mampu mempengaruhi masyarakat luas. Ketika hujjah mereka sudah dipatahkan, mereka pun enggan mengikuti kebenaran, karena berbagai kepentingan duniawi. Tidak ada niat sungguh-sungguh untuk mencari kebenaran, karena memang niat awalnya untuk mengacau kebenaran.

Kemunkaran ilmu membutuhkan pemahaman yang agak rumit. Para ulama kita dulu – disamping menguasai dengan baik ajaran-ajaran Islam – juga menguasai dengan baik-baik paham-paham atau ilmu-ilmu yang munkar. Mereka bukan saja menulis tentang Islam, tetapi juga menulis apa yang membahayakan atau menyerang Islam. Karena memang antara haq dan bathil akan selalu terjadi konfrontasi. Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah, misalnya, disamping menulis ratusan kitab di bidang aqidah, syariah, dan akhlaq, beliau juga menulis tentang hal-hal yang bertentangan dengan Islam. Beliau menulis kitab yang sangat tebal berjudul ”Al-Jawab al-Shahih liman Baddala Din al-Masih” (Jawaban yang Benar terhadap Orang Yang Mengubah Agama al-Masih). Pemahaman beliau tentang masalah Kristen sangat mendalam. Di masa lalu, para ulama kita mempelajari dengan sangat mendalam paham-paham yang berkembang ketika itu. Imam Syahrastani menulis Kitab yang sangat fenomenal hingga saat ini, yaitu ”al-Milal wal-Nihal”, yang diakui sebagai Kitab perbandingan agama pertama.

Maka, di tengah-tengah era globalisasi dan hegemoni peradaban Barat saat ini, seyogyanya para ulama dan cendekiawan Muslim juga memahami paham-paham yang berasal dari Barat yang kini menghegemoni pemikiran umat manusia, termasuk dalam bidang studi Islam. Paham dan pemikiran Pluralisme Agama, relativisme, sofisme, hermeneutika, sekularisme, liberalisme, dan sebagainya, kini telah diajarkan dan disebarkan oleh para tokoh dan lembaga-lembaga pendidikan Islam sendiri. Sementara itu, begitu banyak kalangan cendekiawan Muslim atau ulamanya yang tidak dapat melakukan respon yang tepat, karena tidak paham dengan apa yang sebenarnya terjadi. Hingga saat ini, misalnya, belum ada satu pun organisasi Islam di Indonesia yang secara resmi mengeluarkan pernyataan sikap tentang paham Pluralisme Agama. Padahal, Vatikan saja, pada tahun 2000, sudah mengeluarkan dekrit ’Dominus Jesus’ yang secara menolak paham Pluralisme Agama itu. Sebab, paham ini sejatinya memang menghancurkan agama-agama yang ada.

Akibat ketidaktahuan terhadap hakikat ’kemunkaran’ yang terjadi,  bisa muncul respon-respon yang tidak adil. Sebagian kalangan muslim melihat masalah politik sebagai problema utama umat, sehingga berjuang mati-matian untuk menggolkan tujuannya. Milyaran rupiah dana dikurcurkan untuk perjuangan ini. Seorang calon walikota di Jawa Barat dari partai Islam, memerlukan dana sekitar Rp 4 milyar untuk biaya kampanyenya.

Apakah kaum Muslim mau mengeluarkan dana sebesar itu untuk mencetak ulama yang unggul, membuat TV Islam, radio Islam, atau membangun institusi penelitian Islam yang berkualitas? Kaum Muslim marah ketika mendengar berita al-Quran dilelecehkan di Guantanamo, tetapi tenang-tenang saja, ketika di Indonesia sendiri muncul buku-buku atau artikel yang menghujat al-Quran. Banyak cendekiawan Muslim yang tidak merasa perlu untuk mengkaji masalah ini dengan serius, dengan mengumpulkan semua literatur yang berkaitan dengan studi al-Quran. Malah, bukan tidak sedikit, organisasi Islam yang membiarkan tokoh-tokohnya menyebarkan pemikiran yang keliru tentang Islam.

Banyak organisasi Islam yang sibuk luar biasa menjelang acara pemilihan presiden, tetapi bungkam saja ketika berbagai kemunkaran besar berseliweran. Aktivitas dan perilaku adalah cermian dari cara berpikir. Jika cara berpikir keliru, maka tindakan yang muncul juga akan keliru. Karena itu, sudah saatnya, kita semua, tokoh-tokoh umat, organisasi Islam, lembaga pendidikan Islam, merumuskan kembali tantangan dan strategi dakwah di ”zaman baru” ini. Zaman yang sangat berbeda dengan era sebelumnya. Zaman dimana orang-orang yang diamanahi menjaga Islam  (ulama) justru banyak diantara mereka yang menyerang Islam. Zaman dimana dari lembaga-lembaga perguruan tinggi Islam, justru muncul orang-orang yang bekerja untuk merobohkan Islam. Zaman dimana orang-orang yang belajar dan mengajar ushuluddin (dasar-dasar agama), banyak diantaranya yang justru mengajarkan ilmu-ilmu yang meragukan kebenaran Islam. Zaman dimana begitu banyak yang belajar syariah tetapi justru akhirnya anti-pati terhadap syariah.

Zaman seperti ini benar-benar zaman baru. Para tokoh dan organisasi-organisasi Islam seharusnya sadar akan hal ini. Dan kemudian berusaha sekuat tenaga mencegah agar ’penyakit’ ini tidak semakin meluas dan memakan korban. Tanpa pemahaman yang benar dan memadai tentang ”hakikat al-munkar” dewasa ini, maka akan sulit umat Islam menerapkan konsep keadilan dalam menjalankan ’amar ma’ruf nahi munkar’. (Wallahu a’lam. (***).

Leave a Reply