Home Sosok K.H. Hasyim Asy’ari

K.H. Hasyim Asy’ari

1113
0

Berbicara mengenai pendidikan Islam, khususnya pendidikan pesantren,  di Indonesia, tentu tidak bisa dilupakan nama legendaris satu ini. Ia lebih dikenal di kalangan pesantren dengan sebutan Hadratusy-Syaikh. Sebuah sebutan penghormatan untuk seorang ulama besar di negeri ini. Nama lengkapnya Muhammad Hasyim ibn Asy’ari ibn ‘Abd Al-Wahid, lahir di Jombang Jawa Timur 14 Februari 1871.

Dunia pendidikan sudah menjadi bagian paling penting dalam hidupnya. Selain ayah dan kakeknya adalah juga para kiai yang memiliki pesantren-pesantren besar di Jawa Timur, ia sendiri menghabiskan sebagian besar hidupnya di pesantren. Sejak kecil ia mulai menuntut ilmu di pesantren dibimbing ayah dan kakeknya. Menginjak remaja, seperti umumnya santri saat itu, ia berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain untuk melanjutkan studinya.

Sejak usia 15 tahun ia mulai nyantri di Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), kemudian ke Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren Trenggilis (Semarang), dan Pesantren Siwalan, Panji (Sidoarjo). Di pesantren Siwalan ini, ia belajar pada Kyai Jakub yang kemudian mengambilnya sebagai menantu

Pada tahun 1892, Kiai Hasyim Asy’ari menunaikan ibadah haji dan menimba ilmu di Mekah. Di sana ia berguru pada Syeh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi dan Syekh Mahfudh At-Tarmisi, gurunya di bidang hadis. Selain Hasyim, K.H. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah juga sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib di Mekah.

Sepulang dari Mekah dan sempat singgah mengajar di Johor beberapa saat. Lalu, pulang kembali ke Jombang mendirikan Pesantren Tebuireng yang kelak menjadi pelopor pembaruan pesantren di Indonesia. Di sinilah ia mulai bereksperimen dengan sistem baru dalam pendidikan pesantren.

Bila sebelumnya pesantren hanya semata-mata mengajarkan Bahasa Arab dan kitab-kitab kuning, Hadratusy-Syaikh mencoba memasukkan pelajaran yang masih dianggap tabu, antara lain: baca-tulis huruf latin, pidato, berorganisasi, dan menggalakkan bacaan-bacaan tentang pengetahuan umum di pesantrennya. Sekalipun Pesantren memang disiapkan untuk mencetak calon ahli agama, namun bukan berarti pengetahuan lain tidak perlu dimiliki. Sampai pada titik ini, Hasyim sebenarnya sudah mulai memelopori adanya integrasi ilmu pengetahuan.

Ia pun mulai mengubah sistem pendidikan pesantren menjadi klasikal. Di Tebuireng para santri belajar dengan sistem kelas selama tujuh jenjang yang dibagi menjadi dua tingkatan yang disebut siffir. Dua jejang pertama disebut siffir awal dan lima tahun berikutnya disebut siffir tsani. Awalnya sistem ini agak ditentang, namun akhirnya banyak pesantren yang mengikutinya.

Selain mengenai sistem, yang paling penting dari Hasyim Asy’ari mengenai pendirikan adalah pikiran dan konsep pendidikannya yang tertuang dalam karyanya Al-‘Alim wa Al-Muta’allimun wa ma Yattaqif Al-Mu’allimun fi Maqâmi Ta’limih. Dalam buku ini Hasyim sepakat dengan hampir semua ulama Islam terdahulu bahwa belajar merupakan ibadah untuk mencari ridha Allah. Belajar harus diniatkan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam, bukan hanya untuk sekedar menghilangkan kebodohan. Pendidikan hendaknya mampu menghantarkan umat manusia menuju kemaslahatan, menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.

Atas dasar pemikiran itu, hal mendasar yang harus dikembangkan dalam pendidikan adalah masalah adab ilmu. Ilmu yang baik akan lahir dari ketaatan semua, guru dan murid, terhadap adab-adab ilmu ini. Jadi, proses pembelajaran dan pendidikan bukan semata transfer ilmu, melainkan sebuah usaha melahirkan manusia-manusia beradab (ta’dîb). Manusia beradab adalah manusia yang berilmu tinggi sekaligus takut pada Allah SWT.

Ketokohan Hasyim di dunia pendidikan, terutama pesantren, bukan hanya karena tulisan dan pesantrennya. Lebih dari itu, dari Tebuireng telah lahir ulama-ulama besar dan ratusan pesantren lain yang mengikuti jejak Tebuireng. Ketokohannya menjadi semakin bersinar semenjak ia bersama K.H. Wahab Hasbullah dan ulama lainnya mendirikan Nahdhatul Ulama (NU) pada tahun 1926. Ia dipercaya menjadi Rais ‘Am (Ketua Umum) pertama jam’iyyah ini. Dan NU kemudian menjadi perhimpunan pesantren dan tokoh-tokoh pesantren terbesar di negeri ini. (***)

 

Penulis: Tiar Anwar Bachtiar

Leave a Reply