Home Artikel Jangan Hina Nabi

Jangan Hina Nabi

943
0

Pada 9 dan 11 Januari 1918, media cetak berbahasa Jawa, Djawi Hisworo, yang terbit di Surakarta, mengeluarkan tulisan yang menghina Nabi Muhammad. Artikel yang ditulis Martodharsono dan Djokodikoro itu, isinya menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw adalah pemabuk dan pemadat.

Penerbitan ini mendapat reaksi hebat dari umat Islam. Di Surabaya, pada Februari 1918, digelar satu rapat umum yang isinya menuntut agar pemerintah Hindia Belanda menindak kedua penulis dan pemimpin redaksi media tersebut.  Centraal Sjarikat Islam juga membentuk panitia, Tentara Nabi Muhammad saw, dengan tujuan: (1) Membangun kesatuan dan persatuan lahir dan batin antar-Muslimin. (2) Menjaga dan melindungi kehormatan agama Islam, kehormatan Rasulullah Muhammad saw dan kehormatan kaum Muslimin. Tokoh-tokoh Sjarikat Islam, antara lain adalah Oemar Said Djokroaminoto, H Agoes Salim, Abdoel Moeis, Soerjopranoto dan Wignjadisastra. (Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, 2009: 392).

Pada tahun 1931, kaum Muslim Indonesia juga memberikan respon keras terhadap kasus “Ten Berge” (Ten Berge Affair). Peristiwa ini terjadi ketika seorang pastor Jesuit bernama J.J. Ten Berge menerbitkan dua artikel berjudul “De Koran en  ‘Evanglie en Koran;  Studien, Tijdscift voor Godsdient, Wetenschap en Litteren (1931). Dalam artikelnya itu, Ten Berge memberikan komentar terhadap QS Surat Al Maidah ayat 75: “Almasih putra Maryam itu hanyalah seorang Rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya benar-benar seorang perempuan. Keduanya memerlukan makanan.”  Komentarnya, “Siapa saja dapat menyaksikan bahwa, menurut Muhammad, orang-orang Kristen memahami sang Bapak, ibu dan putra dalam pengertian seksual. Bagaimana mungkin dia (Muhammad) seorang antropomorfis, seorang Arab yang bodoh, dan sensualis yang tiada tandingnya, yang terbiasa tidur dengan banyak perempuan, memahami konsep kebapakan yang berbeda dan pada kenyataannya lebih canggih?”

Insiden itu memicu kemarahan kaum Muslim Indonesia. Berbagai aksi massa dilakukan di sejumlah kota di Indonesia dilakukan oleh organisasi-organisasi Islam. Pemerintah kolonial mencoba menenangkan umat Islam dengan menyita seluruh sisa penerbitan. Peristiwa itu sendiri terus menyedot perhatian rakyat Indonesia, karena umat Katolik di bawah pimpinan Mgr. Wilekens, mengecam tindakan pemerintah kolonial dan menganggapnya tidak sah.

Kaum Muslim memang dikenal sangat tinggi sensitivitasnya soal penghinaan Nabi Muhammad SAW. Kasus Roman Langit Makin Mendung karya Ki Panji Kusmin yang digugat oleh Hamka. Hampir seratus tahun kemudian penghinaan kepada Nabi terjadi lagi. Paus Benedict XVI, pada September 2006 menyatakan: “Show me just what Muhammad brought that was new, and there you will find things only evil and inhuman, such as his command to spread by the sword the faith he preached.”  Paus menyebut Nabi Muhammad sebagai “evil dan inhuman”. Ketika itulah, terjadi reaksi yang hebat dari umat Islam di seluruh dunia.

Tapi bukan berarti Paus tidak ada yang membelanya. Apa yang dikatakan intelektual AS, Daniel Pipes di artikelnya New York Sun, 19 September 2006? Pipes menyatakan: “The West Should Be Free To Criticize Islam” (Barat seharusnya bebas untuk mengritik Islam).

Sebelumnya tahun 1997 seorang perempuan Israel mengedarkan secara luas sebuah poster  Muhammad as a pig. Tahun 1988, Salman Rushdi menerbitkan novel yang menghina Nabi. Tahun 2002, pendeta Jerry Falwell dari AS menyebut Nabi Muhammad sebagai teroris. Ulah Falweell ini memicu pembakaran gereja di India dan terjadi kerusuhan, sehingga sedikitnya 10 orang terbunuh.

Ketika Koran Denmark Jyllands-Posten, Februari 2006 memuat 12 gambar yang menghina Nabi Muhammad, reaksi dari negeri-negeri Islam sangat keras ke Denmark.  Beberapa tokoh Islam menyerukan pemboikotan terhadap produk Denmark dan di Nigeria terjadi kerusuhan yang menyebabkan beberapa orang meninggal.

Tapi Daniel Pipes di New York Sun, 7 Februari 2006, membuat judul yang menghina Islam : Cartoons and Islamic Imperialism”. Disitu Pipes menyatakan : “The key issue at stake in the battle over the twelve Danish cartoons of the Muslim prophet Muhammad is this: Will the West stand up for its customs and mores, including freedom of speech, or will Muslims impose their way of life on the West? Ultimately, there is no compromise: Westerners will either retain their civilization, including the right to insult and blaspheme, or not.”

Pipes jelas tidak benar. Kaum Muslim tidak pernah memaksa pandangan hidupnya ke Barat. Dalam Islam, tidak dibenarkan pemaksaan seseorang atau sebuah komunitas untuk memeluk Islam. Menghadapi reaksi keras negeri-negeri Islam terhadap ‘12 kartun Denmark’ saat itu, negara Barat terbelah. Beberapa negara seperti Inggris, AS, New Zealand dan Polandia mengecamnya.  Tapi beberapa negara lain membelanya. Mereka beralasan, bahwa negara mereka memberikan jaminan terhadap kebebasan berekspresi (freedom of expression).

Bila negeri Barat terbelah menyikapi ‘12 kartun Denmark’ yang menghina Islam itu, maka tidak ada satupun negeri Islam yang mendukung ‘kartun Denmark’ itu.  Umat Islam tidak bebas berbuat apa saja untuk menghina agamanya. Apalagi menghina Nabi Muhammad saw; manusia yang paling mulia. Karena itulah, umat Islam bersikap tegas terhadap setiap bentuk penyimpangan terhadap Islam.

Kemunculan setiap nabi palsu dipandang oleh umat Islam sebagai sebuah bentuk penyimpangan dan penodaan agama. Mirza Ghulam Ahmad ditolak pengakuannya sebagai Nabi. Di Indonesia, Lia Eden yang mengaku juga sebagai Malaikat Jibril juga menerima hukuman atas kasus penodaan agama.  Karena itu, tidak mungkin seorang yang mengaku Muslim,  sampai menyatakan, bahwa “Kesalahan Lia Aminuddin persis sama dengan kesalahan Kanjeng Nabi Muhammad, meyakini suatu ajaran dan berusaha menyebarluaskannya.” 

Bagaimana mungkin orang yang mengaku Islam bisa berkata seperti itu?     Kini, atas nama ”Kebebasan Beragama”, sekelompok orang menuntut agar di Indonesia tidak ada lagi peraturan yang menghakimi satu aliran sesat atau tidak. Menurut mereka, pemahaman sesat atau tidak adalah relatif. Setiap penafsiran terhadap agama selalu bersifat relatif, sehingga seorang tidak boleh menghakimi yang lain sebagai sesat atau tidak. Bahkan, Lia Eden disetarakan dengan Nabi Muhammad saw. Padahal, Nabi Muhammad saw adalah Nabi sejati. Sedangkan Lia Eden adalah mengaku-aku sebagai jelmaan Malaikat Jibril.

Jika mengaku-aku sebagai utusan Presiden suatu negara saja bisa dijatuhi suatu hukuman; bukankah merupakan suatu kejahatan besar jika seorang mengaku sebagai utusan Allah?! (***)

 

Penulis: Nuim Hidayat, M.Si.
(Sekjen Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Kota Depok)

 

Leave a Reply