Daru Nur Dianna – Mahasiswa Magister Pendidikan Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pembangunan pertanian, adalah agenda yang penting untuk setiap bangsa. Jika kita membuka jurnal atau surat kabar ekonomi pembangunan, maka akan kita dapati sudah banyak diskusi lempar-melempar mengenai gagasan ‘paradigma pembangunan pertanian’, karena posisi ‘paradigma’, memiliki peranan yang penting. Misalnya, Presiden Jokowi beberapa kali menyinggung persoalan ini. Dalam media detik (2016), ada berita bertajuk “Jokowi: Ubah Paradigma, Pembangunan Tidak Jawa Sentris”, di jpnn (2017), muncul lagi berita berjudul “Jokowi Minta IPB Ciptakan Pradigma Baru”, dan di web setkab.go.id (2017), “Presiden Jokowi Ajak Petani Ubah Paradigma dari Fokus Pada Proses Budidaya ke Agrobisnis”.
Dari aspek ilmu, secara kajian yang lebih ilmiah di bangku kuliah, rujukan ilmu-ilmu pembangunan ini, merujuk ke keilmuan Barat. Misalnya, dalam persoalan pertambahan populasi dan berkurangnya produksi pangan, teori ketahanan pangan banyak dipengaruhi oleh karya Thomas Robert Malthus “An Essay on the Principle of Population”. Selain itu, untuk mencari inspirasi dan solusi, publikasi FAO milik PBB, juga menjadi pilihan favorit. Begitu juga, persoalan multidimensi seperti Water Security: WEF (Water–Energy–Food) atau WFEC (Water–Food–Energy–Climate) Nexus, disediakan oleh WEF (World Economic Forum).
Adapun dalam tahap-tahap praktis pembangunan pertanian, banyak mengkiblat ke “Getting Agriculture Moving” karya Arthus Theodore Mosher, yang dianggap sebagai ‘kitab suci’ pembangunan pertanian di era Orde Baru. Di buku serius yang telah terbit pada era SBY, yang berjudul “Revitalisasi Pertanian dan Dialog Peradaban”(2006), P. Wiryono, PhD dosen FP UGM, dalam sumbangan tulisannya yang berjudul “Pembangunan Pertanian Indonesia ke Depan: Ke Mana Mau Diarahkan? (Sebuah Pencarian dalam Terang Baru)” telah mengafirmasi, bahwa kebijaksanaan-kebijaksanaan pembangunan pertanian di Indonesia di tahun 1970-an praktis mengacu pada prinsip-prinsip yang dikembangkan Mosher. Pun, beberapa negara berkembang, tak terkecuali Indonesia, mengikuti saran dan langkah kebijakan yang disarankan buku itu. Dan saat itulah, dengan bantuan rekomendasi-rekomendasi Mosher, Revolusi Hijau bergulir.
Jika demikian, maka bisa kita simpulkan, selama ini otoritas keagamaan Islam, tidak memiliki ruang dalam kebijakan pembangunan dan keilmuan pertanian di pendidikan formal. Hal ini adalah keabsenan ilmu yang perlu untuk kita renungkan. Ketertinggalan ini, harus membawa kesadaran, untuk segera membangun pertanian dengan keilmuan dan inovasi yang mengelaborasikan khazanah intelektual Islam dan perkembangan sains dan teknologi yang bermanfaat hari ini. Pekerjaan ini, bisa di perguruan tinggi Islam, ormas, atau bahkan tingkat desa dengan memaksimalkan peran Masjid sebagai perubahan ekonomi dan sosial yang lebih baik.
Untuk kepentingan itu, pengkajian paradigma pembangunan pertanian dari perspektif Islam ini dilakukan. Harapannya, dapat menjadi pintu masuk untuk melakukan pengembangan ilmu dan gerakan praksis seperti: penyuluhan dan edukasi, kegiatan bisnis, dan inovasi sistem maupun teknologi tepat guna, yang beradab, dan yang selaras dengan pandangan dunia Islam, untuk kesejahteraan manusia secara universal. Karena sejatinya, pembangunan agar dapat membawa kepada pengislahan yang kita inginkan, memerlukan ilmu yang benar. Ilmu yang benar tersebut, memerlukan paradigma dan worldview yang benar pula.
Paradigma dalam Pembangunan
Thomas S. Kuhn dalam “The Structure of Scientific Revolutions” menjelaskan paradigma adalah perangkat keyakinan dasar (basic beliefs) yang berhubungan dengan yang prinsip dan menentukan sebuah karakter ilmu pengetahuan. Adapun Agus Salim dalam “Teori dan Paradigma Penelitian Sosial”, seringnya paradigma berkaitan dengan basis kepercayaan utama dari sistem berfikir filsafat ilmu seperti ontologi, epistemologi, dan metodologi.
Menurut FAO, pembangunan adalah seperangkat modalitas atau jalur yang harus diikuti untuk mencapai pembangunan, berdasarkan serangkaian kegiatan yang dikodifikasi dan atau sesuai jalur yang didasarkan pada visi-misi perubahan di bidang sosial-ekonomi. Perubahan pembagunan positif ini tidak dianggap sebagai pemberian alami Tuhan, namun usaha manusia itu sendiri. Usaha untuk berubah dari diri sendiri ini, sama dengan spirit yang dianjurkan dalam Q.S. Ar-Ra’d ayat 11 yang menjelaskan, bahwa sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sebelum kaum itu sendiri mengubah apa yang ada pada diri mereka.
Sehingga, paradigma adalah sumber acuan yang menjadi bahan pertimbangan bagi proses berfikir dan bertindak. Jika suatu konsep dasar itu diposisikan sebagai paradigma, maka konsep-konsep itu akan membentuk nilai dan mengejawantah dalam cara berfikir dan cara bertindak. Ia merupakan suatu dialog intensif guna menghasilkan suatu bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan.
Membangun ‘Paradigma Pembangunan’ dari Perspektif Islam
Sebagai seorang Muslim, hakikatnya memiliki pandangan dunia (worldview) yang khas. Pandangan dunia ini, lebih mendasar dan permanen. Adapun paradigma, lebih bersifat disipliner dan dapat berubah. Sehingga, pandangan dunia seorang Muslim, dalam kaitannya memahami konsep Tuhan, Agama, ilmu, kebahagiaan, kesejahteraan dan nilai-nilai mendasar lain, mempengaruhi bangunan arsitektonik paradigma yang lebih fokus kepada persoalan tertentu.
Maka, di sini, ada beberapa konsep-konsep dasar yang akan kita bahas. Konsep dasar ini, akan membentuk bagaimana ‘paradigma pembangunan pertanian’ dapat terbentuk. Konsep-konsep dasar itu diantaranya: konsep kesejahteraan dan konsep pembangunan.
Pertama, konsep kesejahteraan. Di dalam Islam, tidak hanya memenuhi materil, namun juga non materil. Sehingga, acuan kesejahteraannya, berbeda dengan acuan pada ekonomi konvensional. Dalam perspektif Islam, kita memakai konsep ‘al-falāḥ’. Dalam pengertian sederhana ia bermakna kemulian dan kemenangan dalam hidup, yakni sejahtera secara material dan spiritual. Kata al-falāḥ memiliki satu asal kata dengan pertanian (al-filāḥa). Ini memberikan sebuah tanda bahwa kedua konsep tersebut saling terhubung.
Kedua, adalah konsep pembangunan. Konsep pembangunan pertanian, harus menuju falāh, maka segala bentuk inovasi dan kebijiakan pembangunan, selalu dikawal dengan hukum syara’ dan maqashid syariah. Pembangunan, kita dapat memakai kata al-iṣlāḥ. Kata ‘al–iṣlāḥ’ berasal dari kata ṣalaḥa (ḍiddu al-fasad: kebalikan dari kerusakan). Kata ini membentuk juga kata ṣālīḥ (ḍiddu al-fāsid: kebalikannya perusak), yang memiliki maksud orang yang memenuhi hak dan kewajibannya.
Jadi, paradigma pembangunan pertanian dari perspektif Islam adalah seperangkat cara berfikir untuk dijadikan acuan pembangunan, yang dapat membawa kepada al-falāḥ. Instumen pembangunannya tidak hanya mengembangkan aspek muamalah, sistem, ilmu, dan teknologi pertanian, namun juga membangun manusianya menuju keberisalaman yang murni. Maka, prinsip pembangunan pertanian dari perspektif Islam, tidakklah sekuler dan materialistis. Ia menggunakan syariat atau merujuk kepada ‘Ulama sebagai sumber penentuan kebijakan dan hukum yang akan ditetapkan, agar kebijakan dan praktik pertanian itu berihsan, beradab, dan inovasi yang dilakukan dalam pengembangan sains dan teknologi, tidak keluar dari maqashid syariah.
Paradigma Pertanian Sebagai Muamalah dan Bagian dari Kehidupan
Pertanian secara umum, di keilmuan modern, hanya diposisikan sebagai ilmu (as a science), sebagai bisnis (as a business), sebagai seni (as an art), dan sebagai sistem (as a system). Dalam Islam, pertanian tidak hanya itu. Sehingga perlu ditambahkan: pertanian sebagai muamalah dan pertanian sebagai bagian dari kehidupan. Karena, sebagai seorang muslim, kita diminta untuk berihsan. Dengan kerangka ihsan dan paradigma pertanian sebagai muamalah dan bagian dari kehidupan, maka pertanian dapat menjadi bagian dari perbuatan ibadah, sehingga al-falāḥ dapat dicapai.
Pertanian sebagai muamalah memiliki konsekuensi keharusannya semua dalam urusan pertanian, berada dalam kerangka ajaran Islam. Maka, dalam mengajarkan ilmu pertanian, harus juga disertai ilmu-ilmu Islam. Jika hari ini kita mendapati seorang Muslim yang Sarjana, Master, dan Doktoral di bidang pertanian, namun mereka tidak paham ilmu fikih muamalah, dan tidak mengerti bagaimana berzakat pertanian dengan benar, merupakan kondisi yang salah. Seharusnya, ilmu muamalah dan zakat itu diajarkan dalam pendidikan pertanian. Karena zakat, adalah salah satu rukun Islam, dan zakat yang wajib dikeluarkan adalah zakat pertanian dan hewan ternak.
Sayangnya, ilmu itu tidak diajarkan di kurikulum perguruan tinggi umum, karena terdampak sekularisasi. Padahal, regenerasi agronom, menitikberatkan pada alumni perguruan tinggi itu. Ini mengakibatkan praktik bertani, pengembangan teknologi, sewa lahan, dan jual beli dalam pertanian, banyak masalah, karena tidak ada figur yang pakar dalam persoalan ini. Maka, salah satu solusinya, mengkader petani, yang sekaligus ia adalah ilmuan pertanian dan ‘Ulama yang expert di bidang fikih muamalah.
Kemudian, pertanian sebagai bagian dari kehidupan, memiliki peran penting dalam membangun keberislaman. Dalam al-Qur’an, ayat-ayat pertanian, sering mengarahkan untuk beriman dan bertakwa. Ayat-ayat kauniyah di dunia pertanian, seperti tanah, air, hujan, tanaman, biji-bijian, angin dan seterusnya, merupakan tanda kebesarn Allah yang bisa lebih dimengerti ketika manusia itu bertani. Karena saat bercocok tanam, secara pengalaman (empiris), ayat-ayat kauniyah itu bisa disaksikan dengan jelas. Sehingga, seorang yang bercocok tanam, lebih mudah untuk mengenal dirinya dan mengenal Rabbnya, dengan wasilah tadabur alam. Dan, tingkat kualitas keimanan dan ketakwaan setiap muslim dalam suatu negeri, menjadi parameter Allah akan menurunkan berkah dari langit dan bumi (Qs. al-A‘rāf: 96).
Keumuman bercocok tanam sebagai kewajaran manusia, ada di dalam Qs. ‘Abasa ayat 24, falyanẓuril insānu ilā ṭo‘āmih, “maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya”. Ayat ini, memakai kata insān (manusia), bukan fallaḥ atau muzāri‘ (petani, sebagai penyebutan orang yang bekerja di bidang pertanian). Salah satu cara kita memperhatikan makanan, adalah merasakan proses dalam menanamnya. Hal ini bisa dilihat, ayat selanjutnya sampai ayat 32, membicarakan pertanian dan peternakan. Maka, pertanian juga disebut al-filāḥa, yang satu akar kata dengan al-falāḥ. Karena orang bertani, sering didorong untuk beriman dan bertakwa, dan itulah kunci untuk sukses dunia dan akhirat.
Dalam Islam, pekerjaan bercocok tanam, adalah pekerjaan yang mulia dan dianjurkan. Ia adalah pekerjaan orang-orang shalih zamaan dahulu, termasuk para Nabi. Dalam “Mukhtaṣar Minhajul Qāṣidīn” karya Ibnu Qudamah, ada riwayat dari Ibnu Abbas menyatakan: “Adam menjadi petani, Nuh menjadi tukang kayu, Idris menjadi penjahit, Ibrahim dan Luth menjadi petani, Shalih menjadi pedagang. Daud menjadi pandai besi, Musa, Syu’aib, dan Muhammad menjadi penggembala”, dan para sahabat Rasulullah Saw. juga berdagang di daratan maupun di lautan, menggarap tanah, dan lain-lain.
Bertani, merupakan salah satu jalan untuk untuk mengaktualisasikan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Bertani sebagai gaya hidup (subsisten) dengan pendekatan permakultur dan urban farming organik, dapat menjaga alam dari kerusakan karena intensifikasi bahan kimia, mewujudkan diversifikasi dan kedaulatan pangan bagi sekup rumah tangga, yang bisa membantu terhadap pencapaian kedaulatan pangan bangsa. Kedaulatan pangan, akan membawa kestabilan politik, ekonomi, sosial, dan menjadi poros kemajuan peradaban.
Maka, sudah selayaknya, kita memuliakan siapapun yang bercocok tanam dan siapapun yang menjadikan bertani sebagai pekerjaan utama. Pepatah Arab mengatakan, “al-fallāhu sayyidul bilādi wa mālikuhu al-haqīqi”. Namun sekarang, petani tersubordinasi kepentingan politik dan bisnis, sehingga menjadi pekerjaan yang tidak menjanjikan. Pun, petani sering dimanfaatkan dan ditipu oleh oknum yang tidak bertannggung jawab. Posisi petani yang tidak egaliter dengan sistem ini, membuat petani tidak diminati dan regenerasi petani tidak berjalan.
Sehingga, dapat kita simpulkan, agenda penting kita pada pembangunan pertanian hari ini, adalah bagaimana otoritas keagamaaan mampu mengembangkan sains dan teknologi tepat guna, mengembalikan posisi petani sebagai pekerjaan yang mulia dan juga ia merupakan aktifitas kewajaran yang dilakukan setiap manusia, membenahi sistem ekonomi dan muamalahnya menuju sistem yang adil, serta mendorong para pemuda untuk menjadi petani, untuk mengatasi krisis regenerasi yang macet. []