Home Berita Historisisme Bukan untuk Mengkaji Sunnah

Historisisme Bukan untuk Mengkaji Sunnah

1508
0

Dr. Zahrul FataSunnah Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam adalah sumber hukum setelah Al-Qur’an. Kedudukan ini dapat digambarkan dengan kiasan penyangga. Sebagai “penyangga” Al-Qur’an, Sunnah menjelaskan banyak hal tentang rincian hukum-hukum di dalam Al-Qur’an. Sebagai sumber kebenaran, Sunnah melampaui ruang dan waktu. Karena itu, ia tidak pantas jika dikaji dengan pendekatan historisisme.

Hal tersebut disampaikan Ustadz Dr. Zahrul Fata, M.A., dalam INSISTS Saturday Forum, Sabtu, 29 April 2017, di INSISTS Hall. Historisisme adalah pendekatan kritik sejarah yang mula-mula muncul dari pembacaan para sarjana Protestan terhadap Bibel. “Dengan pendekatan ini, sesuatu selalu dipandang sebagai kesepakatan manusia yang berkembang sepanjang sejarah,” kata Ustadz Zahrul. Dosen IAIN Ponorogo ini kemudian menjelaskan, hal tersebut hanya bisa digunakan pada buatan manusia. “Aturan menyalakan lampu sepeda motor di siang hari yang terdapat di Indonesia dan Malaysia, sebenarnya mengikuti aturan di Inggris yang kota-kotanya berkabut. Terhadap aturan ini, kita bisa mengkajinya secara historis, sebab kebijakan itu bukan sunnah,” ujar Ustadz Zahrul.

Pendekatan historis inilah yang digunakan oleh sarjana orientalis dan cendikiawan muslim liberal untuk mengkaji sunnah. Mereka memisahkan sunnah dan hadits. Bagi pemikir muslim modernis, Fazlur Rahman, sunnah bermakna lebih luas dari hadits. Jika hadits adalah ucapan, perbuatan, dan sikap Nabi, maka sunnah adalah tradisi yang hidup dan dijalankan baik oleh Nabi maupun para sahabat. Rahman menyebut pengertian terakhir itu sebagai “living sunnah”. “Rahman menyebut bahwa ‘living sunnah’ sudah mati gara-gara kodifikasi hadits di abad 2 hijriyah. Tindakan (kodifikasi) ini mengakibatkan kemandekan,” terang Ustadz Zahrul.

Pandangan itu diikuti murid Rahman, Nurcholish Madjid atau Cak Nur. Pendiri Universitas Paramadina itu menjelaskan bahwa berdasarkan pemisahan hadits dan sunnah, umat Islam bisa mengetahui bahwa hukum bisa berubah berdasarkan waktu dan tempat. Dalam batas tertentu, sambung Ustadz Zahrul, kita bisa bersepakat pada pandangan ini. Namun yang harus diperhatikan adalah, semua hukum tak dapat sungguh-sungguh diubah apalagi diganti. Hukum Islam hanya mengenal yang ushul dan yang furu’. Di urusan furu’, hukum bisa menjadi elastis.

Pandangan dua cendekiawan di atas adalah kelanjutan dari pandangan orientalis yang mengkhususkan diri dalam mengkaji hadits. Dengan pendekatan historisisme, mereka mengkaji hadits sebagai klaim-klaim yang muncul jauh setelah Nabi wafat, sedangkan sunnah sebagai tradisi yang sudah ada sebelum zaman kenabian. Sunnah disamakan dengan kebudayaan yang tidak bermuatan wahyu, sehingga dianggap layak untuk diubah dan ditinggalkan. Hal tersebut terdapat di dalam pemikiran Joseph Schacht dan Ignaz Goldziher. Bagi Schacht, kesepakatan saat itu -dan tentu saja saat ini- tidak perlu mengerucut pada diri Nabi. Kodifikasi hadits berdampak pada pencatatan sunnah yang menurut mereka tidak memiliki sakralitas dan membatasi pemikiran.

Hal tersebut mendapat banyak bantahan dari kalangan ulama. Muhammad Mustafa Azami membantah simpulan Schacht dengan membuktikan bahwa penulisan hadits sudah terjadi saat Nabi masih hidup, sehingga tak ada tindakan manipulasi dan menghegemoni. Ilmu sanad dalam hadits bahkan menjamin keberlangsungan hal itu hingga sampai ke ulama yang datang belakangan.

Pemikir Mesir, Muhammad Imarah, menganggap bahwa pandangan orientalis itu sama saja dengan tuduhan kepada diri Nabi, seakan Nabi tidak peduli pada, atau tak mampu memenuhi, kebutuhan umatnya di masa kemudian. Hal ini selain bernada tuduhan juga bertentangan dengan kenyataan. Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam adalah basyar (manusia) yang menyampaikan wahyu. Dalam penyampaian wahyu tersebut, beliau tidak pernah keliru. Tetapi sebagai basyar, beliau juga mengalami rasa sakit dan lapar.

Menutup penjabarannya, Ustadz Zahrul berpesan 3 hal kepada perserta. Yang pertama, Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah petujuk bagi manusia sampai kiamat, sehingga tak mungkin kadaluwarsa apalagi tak relevan. Yang kedua, perbedaan dalam memahami dan mengamalkan sunnah hanya dimungkinkan jika kita sudah mengetahui maka perkara furu’ dan mana perkara ushul. Yang ketiga sekaligus terakhir, beliau menjelaskan pentingnya ijtihad jama’i atau kolektif untuk menetapkan jawaban atas persoalan umat kontemporer, sebab saat ini sangat sulit menentukan fatwa seorang diri.

Dalam pernyataan penutup, Direktur Eksekutif INSISTS Dr. Syamsuddin Arif menjelaskan, kajian tentang hadits akan lebih tajam jika diikuti oleh kajian tentang ushul fiqh. Sebelum tahun berganti dalam hitungan masehi, INSISTS akan mengundang seorang pakar ushul fiqh untuk membahasnya di ISF, termasuk kaitannya dengan tantangan pemikiran kontemporer.

Leave a Reply