Pada tanggal 28 April 2010, peneliti INSISTS, Nirwan Syafrin meraih gelar doktor dalam bidang pemikiran Islam, setelah berhasil mempertahankan disertasi doktor berjudul A Critique of Reason in Contemporary Arab Philosophical Discourse with Special Reference to Muhammad ‘Abid al-Jabiri. Para pengujinya adalah Prof. Dr. Muddathir Abdel Rahim (Profesor Pemikiran Politik di ISTAC – IIUM) dan Assoc. Prof. Dr. Fakhruddin Abdul Mukti (Head Department of Islamic Studies, Universiti Malaya). Dua Profesor lain yang hadir dalam sidang tersebut adalah Assoc. Prof. Dr. Nasruddin dan Prof. Dr. Muhammad Zuhdi Abdul Majid.
Persidangan bermula dengan pemaparan hasil kajian penulis kemudian di ikuti dengan sesi tanya jawab. Di akhir persidangan, pimpinan sidang, Assoc. Prof. Dr. Nasruddin, menyatakan bahwa para penguji merasa puas dengan jawaban-jawaban yang diberikan Nirwan dan sepakat untuk memberikan gelar Ph.D kepada kandidat. Disertasinya dinyatakan lulus tanpa koreksi.
Disertasi ini membahas tren pemikiran Islam kontemporer, terutama yang terkait dengan kritik epistemologis, yang belakangan ini berkembang di kalangan intelektual Arab Muslim. Secara khusus disertasi ini mengkaji pemikiran pemikir asal Maroko, Muhammad ‘Abid al-Jabiri, yang baru saja meninggal pada 3 Mei 2010 lalu, atau LIMA HARI setelah Nirwan resmi menyandang gelar doktornya. Jabiri meninggal dunia di Casablanca dalam usia 75 tahun.
Nama al-Jabiri tentu tidak asing lagi di belantika pemikiran Islam saat ini. Di Indonesia, pria kelahiran Figuig, Maroko pada tahun 1936 ini sudah begitu akrab di kalangan peminat Islamic Studies. Beberapa karyanya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Dengan demikian, secara tidak langsung, dia telah ikut mewarnai nadi pemikiran Islam yang berkembang di Indonesia akhir-akhir ini.
Banyak gagasan, ide, serta teori yang dikembangkannya yang dirujuk dan dijadikan framework berpikir oleh beberapa intelektual negeri ini. Beberapa tahun lalu, perdebatan pun sempat muncul di tubuh salah satu organisasi terbesar Islam di negeri ini akibat dari keinginan salah satu pengurusnya untuk mengadopsi kategorisasi episteme buatan al-Jabiri, yaitu metode Bayani, ‘Irfani, dan Burhani, sebagai kerangka metode dalam memformulasikan hukum Islam. Usaha tersebut gagal, karena mendapat resistansi kuat dari pemikir Muslim lain dalam tubuh organisasi tersebut.
‘Abid al-Jabiri dikenal dengan proyek intelektual yang dia beri nama Naqd al-‘Aql al-‘Arabi (Kritik Nalar Arab). Proyeknya ini dia susun selama lebih kurang 20 tahun bermula sejak 1984 ketika buku pertamanya berjudul Takwin al-‘Aql al-‘Arabi diterbitkan dan selesai pada 2001 dengan terbitnya bukunya yang berjudul al-‘Aql al-Akhlaqi al-‘Arabi. Yang menarik adalah dalam periode ini Jabiri tidak banyak berbicara tentang al-Qur’an seperti koleganya yang lain semisal Arkoun, Abu Zayd, Hasan Hanafi. Baru tahun 2006 dia mulai melibatkan dirinya dalam diskursus tentang al-Qur’an menyusul terbitnya buku beliau berjudul Madkhal ila al-Qur’an al-Karim. Buku inipun menyulut perdebatan karena Jabiri dalam karyanya ini mengisyaratkan bahwa ada yang “tercicir” dari al-Qur’an yang ada di tangan kaum Muslim sekarang ini.
Dalam beberapa karyanya, Jabiri sebenarnya ingin mencoba menawarkan tafsiran/bacaan baru (qira’ah jadidah) terhadap sejarah filsafat Islam secara khusus, dan sejaah peradaban dan intelektualisme Islam secara umumnya. Untuk tujuan ini, dia telah menggunakan perangkat teori yang berkembang pada disiplin Ilmu Humaniora dan Filsafat di Barat saat ini. Dia misalnya menggunakan teori yang dikembangkan oleh Michel Foucault, Jacques Derrida, Karl Marx, Anthony Gramsci, Gaston Bachelard, dan beberapa ahli filsafat Barat lain. Dari Foucault dia meminjam konsep episteme Foucault untuk mengembangkan teori episteme Arab yang kemudian dikenal dengan Bayani, ’Irfani, dan Burhani. Bachelard dia meminjam teori epistemological rupture (keterputusan epistemology), sebuah teori yang sebenarnya digunakan untuk membaca sejarah dan filsafat Sains. Inilah sebenarnya salah satu sasaran para pengkritik Jabiri, karena mereka melihat Jabiri telah memadukan beberapa teori yang sebenarnya saling kontradiksi.
Inti dari kajian al-Jabiri sebenarnya tidak banyak berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh orang-orang yang sering menjadi rujukan kaum liberal, seperti Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Adonis, Fatima Mernisi, dan lain-lain. Pada intinya dia mengecam metode Bayani yang dikembangkan oleh para Fuqaha’ dan ’ulama Ushul Fiqh karena dianggap lebih mengedepankan teks dari pada substansi teks. Dalam konteks ini, Jabiri seperti Arkoun, Abu Zayd, dan Adonis, ”menyerang” Imam Syafi’i, kerena dianggap orang bertanggung jawab meletakkan dasar berpikir tersebut melalui karya monumentalnya, al-Risalah.
Sayangnya, menurut Dr. Nirwan, Jabiri gagal memahami faktor teologis dan sosiologis yang mendorong umat Islam bersikap seperti ini. Dia seolah-olah sengaja melupakan posisi sentral dan kesucian al-Qur’an dalam sistem ‘aqidah Islam. Sebagaimana yang kita maklum, bahwa kaum Muslimin yakin bahwa al-Qur’an adalah Kalam Allah yang diturunkan secara verbatim kepada Rasulullah dan diyakini sebagai manifestasi dari “keinginan” (iradah) Allah pada makhluqnya. Maka tidak perlu jika umat Islam selalu merujuk pada Kitab Suci ini ketika mereka berhadapan dengan masalah apa saja. Karena ia diyakini sebagai petunjuk yang dapat membimbing kehidupan mereka. Para kaum liberal seperti Jabiri ini mungkin sebenarnya sadar akan posisi teologis al-Qur’an ini. Maka langkah yang pertama dan utama sekali yang mereka lakukan dalam usaha mereka untuk mendekonstruksi ajaran-ajaran dan hukum-hukum yang terkandung didalamnya adalah dengan meruntuhkan status teologis al-Qur’an itu, yaitu dengan memberikan keraguan tentang keaslian (otentisitas) al-Qur’an.
Dalam karyanya ini, Jabiri juga mengkritisi metode Irfani yang dia asosiasikan dengan Syi’ah dan kaum Sufi. Disini, dia mengkritisi habis-habisan Ibn Sina dan al-Ghazali, dua tokoh yang selama ini dianggap antagonis. Menurutnya kedua pemikir inilah yang bertanggung jawab memasukkan sistem berpikir irfani ini kedalam ranah pemikiran Islam yang sekaligus menjadikan akal Arab-Islam itu mandek. Dia mengkritisi metode ‘Irfani, karena menurutnya metode ini lebih menggunakan naluri/hads ketimbang akal dalam usahanya untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Dan metode ini menurutnya lagi terpengaruh filsafat Hermetisisme yang berkembang pasca Aristotle. Sementara bagi Jabiri akal dan panca indera manusialah satu-satunya jalan yang dianggap layak untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Pandangan Jabiri dalam hal ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pandangan kebanyakan orientalis yang melihat Sufisme hasil adonan dari budaya dan agama di luar Islam, bukan produk asli peradaban Islam.
Menurut Jabiri, kedua sistem ini (bayani dan irfani) hanya berkembang di belahan Timur dunia Islam. Di Barat, yakni di kawasan Maghribi dan Andalusia, kedua sistem ini tidak dianut oleh para intelektualnya. Disini, sistem berpikir yang berkembang adalah metode Burhani, yang puncak keberhasilannya dipersonifikasikan oleh Ibn Rusyd. Di sinilah Jabiri kemudian menyatakan bahwa pemikiran Islam yang berkembang di Barat bukan lanjutan dari yang apa yang berkembang di Timur. Terjadi epistemological rupture diantara keduanya. Jadi Ibn Rusyd bukan kelanjutan dari al-Farabi dan Ibn Sina, apalagi al-Ghazali. Demikian juga, al-Syatibi bukan pelanjut apa yang pernah dikembangkan oleh al-Syafi’i dan lainnya.
Memang tidak sulit untuk melihat nuansa ideologis Jabiri dalam hal ini. Meski dia sendiri menegasikan hal tersebut. Bagi Jabiri, dan juga banyak pemikir lain, Ibn Rusyd dianggap sebagai model pemikir yang harus dicontoh dan dijadikan model jika bangsa Arab dan Islam ingin memajukan peradabannya. Dalam hal inilah, menurut Dr. Nirwan, Jabiri keliru. Dan kekeliruan ini pun dilakukan oleh banyak intelektual di berbagai dunia Islam, termasuk di Indonesia.
Jabiri lupa, bahwa revolusi sains (sceintific revolution) terjadi di Barat karena orang-orang seperti Bacon, Descartes, dan Newton melakukan terhadap teori-teori fisika Aristotle. Artinya Barat maju bukan karena mereka mengadopsi padangan-pandangan Ibn Rusyd yang Aristotelian, tapi sebaliknya, sains mereka berkembang justru karena mereka meninggalkan teori-teori fisika Aristotle.
Dengan mengagungkan Ibn Rusyd, sebenarnya Jabiri ingin mengatakan bahwa kemajuan itu hanya bisa ditempuh dengan rasionalisme. Baginya, akallah yang bisa mengantar peradaban manusia ke puncak kegemilangannya. Sayangnya, tegas Dr. Nirwan, ”akal” yang disebut Jabiri itu adalah akal yang dikonsepsikan oleh Barat, yaitu akal positivis yang hanya berpaut pada data-data eksperimental. Disamping itu Jabiri sepertinya sengaja melupakan bahwa rasionalisme abad Pencerahan itu sendiri saat ini sedang mendapat kritikan tajam, bukan hanya dari kalangan ilmuwan Muslim tapi juga dari kalangan intelektual Barat sendiri.
Tidak semua pemikiran Jabiri dikritik oleh Dr. Nirwan Syafrin. Ia sepakat dengan Jabiri, bahwa bahwa tidak ada Peradaban yang bisa berkembang dengan berpijak pada Warisan intelektual (turats) peradaban lain. Hanya saja, menurut Nirwan, ” Jabiri tidak benar-benar berpegang pada pandangannya ini. Karena dalam kajiannya diapun kerap menjadikan Barat sebagai model Peradaban yang patutu dicontoh.”
Disertasi Dr. Nirwan ini mendapatkan pujian dari salah satu pengujinya, yaitu Prof. Dr. Muddathir Abdel Rahim. Padahal, sebelum sidang disertasi itu, Nirwan sempat mengungkapkan kekhawatirannya akan penilaian Prof. Muddathir. Maklum. Profesor asal Sudan yang dikenal luas di dunia internasional dalam bidang pemikiran politik Islam dan HAM ini memang terkenal ”galak” dan ”pelit” dalam memberikan penilaian. Tetapi, tanpa disangka, dia justru memberikan pujian tinggi terhadap disertasi Dr. Nirwan.
Tentang isi disertasi atau Ph.D. Thesis Dr. Nirwan ini, Prof. Muddathir menulis, bahwa disertasi ini telah dipikirkan dan disusun dengan matang. (well thought out; well set out). . Disertasi ini, menurut Prof. Muddathir juga menggunakan referensi-referensi pilihan yang sangat komprehensif dan luas (the references used very comprehensive, wide ranging, and well chosen). Secara umum, tulis Prof. Muddathir, disertasi Dr. Nirwan ini sangat baik. Kandidat telah memilih topik yang sangat penting dan telah membaca berbagai aspek tentang disertasi ini secara luas dan cerdas. Nirwan juga dia nilai telah menunjukkan kemampuan yang sangat bagus dalam analisis dan evaluasi berbagai masalah yang terkait dengan disertasinya. (In general, this is a very good thesis. The candidate has chosen an important topic for his thesis. He has read widely and intelligently the various aspects of the topic in question and has demonstrated good ability in analyzing and evaluating the many issues involved.)
Tentu saja, kita sangat bersyukur dengan prestasi akademik yang diraih Dr. Nirwan Syafrin ini. Sebab, dia merupakan salah satu cendekiawan yang selama tujuh tahun lebih telah berjuang bersama para peneliti INSISTS lainnya, untuk membangun tradisi pemikiran Islam yang sehat di Indonesia. Para peneliti INSISTS kini tersebar di berbagai negara, seperti Dr. Ugi Suharto (sedang mengajar di salah satu kampus di Bahrein), Dr. Anis Malik Thoha dan Dr. Syamsuddin Arif (dosen IIUM, Kuala Lumpur), dan Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi (Gontor Ponorogo), serta beberapa lainnya.
Dr. Nirwan Syafrin, yang merupakan pria Batak bermarga Manurung ini sebenarnya termasuk salah satu cendekiawan langka, karena ketekunan ibadahnya dan kemampuannya memahami teks-teks berbahasa Arab dan Inggris. Kelebihan Nirwan lainnya, dia mempunyai suara yang lantang, sehingga jika berbicara di forum, tidak terlalu memerlukan pengeras suara. Nirwan juga dikenal ”sumbu pendek” dalam menangani suatu kemunkaran. Ia pernah menasehati habis-habisan sepasang pemuda-pemudi Malaysia yang pacaran di atas bus.
Meskipun berasal dari keluarga sederhana di Tanjung Balai, Nirwan tidak menyerah untuk menyelesaikan studinya di Kuala Lumpur. Bertahun-tahun ia kuliah sambil bekerja. Yang cukup lama, dia bekerja di Research Centre IIUM. Kesempatan itu digunakannya dengan baik, sehingga dia mengenal secara luas berbagai buku dan jurnal yang terbit di Barat dan dunia Islam. Dalam sebuah seminar tentang Pemikiran Islam di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) tahun 2004, seorang Profesor alumnus Timur Tengah menyangka Nirwan pernah kuliah di Timur Tengah. Padahal, jenjang pendidikan S1-S3 diselesaikannya di Malaysia. Disamping menguasai bahasa Arab dan Inggris dengan baik, Nirwan juga sempat mengambil kuliah Bahasa Persia, Jerman, dan Latin di ISTAC-IIUM.
Adnin Armas, yang menjadi sahabat karib Nirwan sejak jenjang S1 di IIUM, mengakui, Nirwan adalah sosok yang gemar membaca, cinta diskusi, aktif mengimpun buku-buku dan menuntut ilmu. Secara keilmuan, dia kini menguasai kajian orientalisme di bidang syariah dengan baik serta pemikiran kontemporer Arab yang mendalam. Banyak sahabat Nirwan memberikan kesaksian yang serupa. Untuk menemukan Nirwan, tidak sulit, karena ia biasanya berada di perpustakaan atau tempat fotokopi.
Kini, dengan anugerah ilmu dan pengalaman intelektual yang dimilikinya, Dr. Nirwan memilih untuk terjun langsung dalam dunia pendidikan di Indonesia. Sejak menikah dengan salah satu putri KH A. Cholil Ridwan, salah satu Ketua MUI, Nirwan diserahi mengelola Pesantren Husnayain di Sukabumi. Kini, sehari-hari, dia bergelut dengan kehidupan para santri dan mengajar berbagai bidang ilmu. Tahun ini, dia memprogramkan pembukaan kelas khusus SMP, Husnayain untuk menyiapkan kader-kader intelektual sedini mungkin. ”Kita targetkan mereka menguasai bahasa Arab dan Inggris sedini mungkin, berkepribadian kuat, dan terampil menulis,” kata Nirwan.
Disamping sehari-hari bergelut dalam dunia pesantren, Dr. Nirwan juga mengasuh beberapa mata kuliah di program Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor, Universitas Muhammadiyah Surakarta, dan Program Kader Ulama ISID Gontor. Sosok Nirwan adalah seorang yang sangat haus ilmu. Menurutnya, gelar doktor bukanlah apa-apa dalam soal keilmuan. Banyak ilmu yang masih wajib dikejarnya. ”Mencari ilmu itu sepanjang hayat,” tegasnya.
Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud, salah satu guru Dr. Nirwan di Malaysia, memberikan nasehat khusus kepada Dr. Nirwan dan juga kepada para ilmuwan lainnya – termasuk dirinya sendiri – agar seorang ilmuwan Muslim selalu ikhlas dan sabar dalam memikul tugas para anbiya’. Menjadi ilmuwan Muslim, pesan Prof. Wan Mohd Nor melalui SMS, ”bukan untuk disanjung manusia, terutama yang sesat; atau untuk berbantah dengan yang jahil dan degil; atau untuk mengemis kepada yang kaya, dan takut kepada penguasa; dan juga jangan cemburu dengan kemasyhuran dan kejayaan ilmuwan duniawi atau ulama su’ (ulama jahat).!”
Kita memahami, tugas para ilmuwan Muslim sejatinya sangatlah berat saat ini. Dunia keilmuan di Indonesia kini menghadapi dua persoalan pokok, yakni masalah kebodohan akan Islam (ignorance) dan kekacauan ilmu (confusion of knowledge). Banyak ilmuwan yang profesional di bidang tertentu; menguasai ilmu-ilmu fardhu kifayah dengan baik (seperti ilmu komputer, elektro, ekonomi, politik, kedokteran, dan sebagainya), tetapi mereka miskin dalam ilmu-ilmu yang fardhu ’ain. Para ilmuwan ini wajib mengejar ketertinggalannya dalam ilmu-ilmu yang fardhu ’ain.
Pada sisi lain, banyak ilmuwan dalam bidang keislaman yang keliru dalam pemahamannya terhadap Islam. Tetapi, para ilmuwan ini banyak yang tidak sadar dan paham bahwa mereka keliru. Akibatnya, mereka merasa benar dan menyebarkan pemahamannya kepada masyarakat. Ada yang bangga mengadopsi metode kritis dan skeptis dalam studi Islam, dan membanggakannya sebagai sikap ilmiah yang tinggi. Akibatnya, banyak yang belajar Islam, tetapi justru berujung pada keraguan dan kebingungan terhadap Islam. Kekeliruan dalam bidang keilmuan seperti inilah yang wajib diluruskan oleh para cendekiawan Muslim seperti Dr. Nirwan Syafrin. Karena itulah, dia diserahi memegang mata kuliah Filsafat Ilmu di Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun.
Walhasil, kita ucapkan selamat kepada Dr. Nirwan Syafrin atas prestasinya. Semoga dia mampu mengemban amanah yang lebih berat lagi. Juga, semoga semakin banyak cendekiawan lain yang menyusul prestasi Dr. Nirwan Syafrin, sehingga semakin rapat dan rapilah barisan cendekiawan Muslim yang berjuang di jalan Allah dalam bidang keilmuan di Indonesia. Amin. (Jakarta, 14 Mei 2010).