Home Sosok Dr. dr. H. M. Rofiq Anwar, Sp.PA: Mengapa Harus Berkiblat ke Barat

Dr. dr. H. M. Rofiq Anwar, Sp.PA: Mengapa Harus Berkiblat ke Barat

1613
0

Sosoknya terbilang mungil. Kemampuan otaknya tidak diragukan. Ia dokter. Lulus Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang tahun 1974. Ia  juga doktor bidang Patologi. Tapi, sudah puluhan tahun, dokter Rofiq Anwar bergelut di dunia pendidikan. Sepuluh tahun terakhir, dia dikenal sebagai Rektor Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang. Yang membedakannya dengan dokter-dokter lain, Pak Rofiq – begitu dia biasa dipanggil – adalah “kenekadan atau keberaniannya”.

Jika semasa memimpin Malaysia, Mahathir Mohammad terkenal dengan slogannya “Malaysia boleh” (Malaysia mampu!), maka Rofiq pun selalu berusaha menanamkan rasa percaya diri pada para dosen dan mahasiswanya. Ia berani mencanangkan cita-cita besar untuk Unissula. Visi Unissula, sebagaimana disebutkan dalam website-nya, www.unissula.ac.id, sangat jelas, yaitu membangun generasi khaira ummah (ummat terbaik), melalui upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi atas dasar nilai-nilai Islam dan membangun peradaban Islam menuju masyarakat sejahtera yang dirahmati Allah SWT dalam kerangka rahmatan lil a’lamin. Sedangkan misi Unissula adalah menyelenggarakan pendidikan tinggi Islam dalam rangka dakwah Islamiyah yang berorientasi pada kualitas dan kesetaraan universal.
Semasa mulai memimpin Universitas Islam Sultan Agung,  Rofiq bertindak cepat. Sebagai dokter, tentu dia terbiasa melakukan diagnosa penyakit. “Tren pendidikan Islam kedepan kembali kepada pendidikan Islam,  kembali kepada pembudayaan,  bukan hanya sekedar transfer iptek,” katanya. Maka, Rofiq pun mulai mencanangkan gagasan-gagasan besar. “Jangan tanggung-tanggung kalau berislam,” kata Rofiq.

Unissula sebenarnya termasuk sebuah universitas besar dan salah satu kampus Islam yang tertua di Jawa. Universitas ini didirikan pada tanggal 20 Mei 1962 M (16 Dzulhijah 1369 H) oleh Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung. Jadi, termasuk kampus yang cukup tua di Indonesia. Rektor pertamanya adalah Mr. Bustanul Arifin (Prof. DR. H Bustanul Arifin, SH), seorang pakar dan pejuang syariah Islam terkenal di Indonesia. Dia pernah menjabat sebagai Ketua Muda Mahkamah Agung bidang Peradilan Agama.
Dr. Rofiq menceritakan, tidak mudah mewujudkan sebuah kampus Islam yang “kaffah”, satu antara ilmu dengan amal. Bahkan, sejauh pengamatannya, banyak pendidikan Islam di Indonesia yang belum mencapai sasaran aktual sesuai dengan semangat kebangkitan Islam. Banyak yang walaupun namanya sekolah-sekolah Islam tetapi sejatinya sudah berubah. Bahkan, banyak yang mengalami degradasi. “Beberapa saja yang masih menjunjung sejatinya nilai Islam. Sebagian berubah karena pengaruh peradaban materi, sekuler liberal,” kata bapak lima anak ini, Sabtu (4/7/2009) lalu.

Faktor lain, kegagalan pendidikan di Indonesia, menurut Rofiq, adalah kebijakan (policy) yang tidak sesuai dengan tujuan. Lebih jauh dia katakan, “Walaupun semua perundang-undangan itu menyebutkan tujuan pendidikan nomor satu membentuk manusia yang takwa, akhlak mulia, budi pekerti, iptek dan sebagainya, tetapi dalam kenyataannya hampir seluruhnya di Republik ini dari dahulu sampai saat ini pendidikan berpola sekuler.”

Rofiq menekankan, kekaguman yang berlebihan kepada Barat akan menyebabkan perusakan akidah dan budaya Islam. Perusakan akidah melalui pengembangan intelektual lewat sekolahan berlangsung dahsyat. Dia mengkhawatirkan melihat banyaknya orang yang belajar ke Barat – khususnya dalam bidang keislaman – pulang-pulang mejadi tokoh liberal yang mendangkalkan akidah. Ia juga mengkhawatirkan sasaran sejumlah kampus untuk menjadi worldclass university. Tapi, semua standarnya adalah parameter Barat. Bahkan banyak universitas Islam lebih suka berkiblat ke Barat daripada ke Timur Tengah. “Seharusnya kalau kita berbicara worldclass university,  standarnya bukan Barat tetapi Islam. Karena Islam adalah sesuatu yang paling tinggi dan mulia. Jadi sejatinya worldclass university bukan sebuah universitas dengan nilai-nilai Islam,” kata Rofiq. Karena itulah, Rofiq mencita-citakan Unissula sebagai worldclass Islamic university, bukan sekedar worldclass university.

“Maka pendidikan yang berhasil adalah pendidikan yang benar-benar mamahami dan mengamalkan nilai-nilai tauhid.  Itu yang seharusnya terjadi. Hukum-hukum manusia pun harus berlandaskan nilai-nilai tauhid sebab tanpa itu akan terjadi kegagalan,” ujarnya lagi. Ia mengingatkan pula, bahwa peradaban Barat adalah peradaban yang gagal, peradaban yang chaos, peradaban tidak membuat dunia yang lebih baik, peradaban yang tidak membawa dunia yang berakhlak mulia serta membangun dunia berkerahmatan. “Jadi jika kita berkiblat kepada universitas barat berarti kita  berkiblat kepada sesuatu yang tengah menuju kegagalan,” kata Rofiq lagi.

Karena itulah, menurutnya, kini diperlukan reformasi kurikulum di dalam perguruan tinggi Islam dalam mencari format pendidikan yang bernilai tauhid. Melakukan rekonstruksi terhadap ilmu pengetahuan. membangun jemaah yang kuat, tidak bisa sendirian. “Semua perguruan tinggi Islam harus bersama-sama membangun kembali suksesnya peradaban Islam, dengan format yang berbeda dengan peradaban hari ini, yaitu peradaban materi yang telah gagal,” demikian papar Rofiq.

Kenyang makan asam garam dunia pendidikan dan dunia aktivis keorganisasian Islam, Rofiq juga sangat antusias mengamati perkembangan pemikikran Islam, khususnya menyangkut isu-isu liberalisme, pluralisme, dan sebagainya.  Ia mengingatkan bahaya Pluralisme Agama, yang disebutnya sebagai hal yang melemahkan umat Islam, sehingga hilang pula keyakinan bahwa Islam adalah agama yang benar. Kalau kita tidak mempunyai keyakinan tunggulah kehancurannya.

Lalu, bagaimana dengan hakikat pendidikan Islam itu sendiri? Rofiq mengajak untuk merenungkan kembali makna pendidikan yang sebenarnya, yakni “memanusiakan manusia.” Artinya, pendidikan  harus berusaha menjadikan manusia itu menjadi manusia yang terbaik, termasuk konsep taqwa disini. “Pendidikan bisa juga proses pembiasaan yang menurut nilai-nilai yang menurut kita baik. Pembiasaan inilah yang kita sebut sebagai pembudayaan,” tutur dokter spesialis Patologi Anatomi ini

Secara bertahap, menurut Rofiq, pembudayaan nilai-nilai Islam harus diterapkan didalam pendidikan, agar selama proses pendidikan dia sudah terdidik dan terbiasa dengan nilai nilai ke-Islaman yang lebih baik. Dibiasakan mulai dari yang sekecil-kecilnya;  bagaimana tidur, makan dan lain sebagainya sudah tertata. Kemudian meningkat bagaimana kita berfikir, berbudaya, membangun negara, membangun ilmu dan lain sebagainya. Jadi, simpul sesepuh ICMI Jawa Tengah ini, pembudayaan yang benar atas nilai-nilai Islam inilah hal paling utama yang harus diberikan.

Namun, pendidikan Islam bukan berarti meninggalkan aspek kompetitif. Hanya saja, menurut Rofiq, banyak orang tidak memahami, bahwa daya kompetisi itu  90% berasal dari sikap dan hanya 10% dari pengetahuan. Artinya,  yang penting itu adalah sikap yang benar. Karena itu, ajaknya, “Tinggalkan yang syubhat,  ragu-ragu,  dan majulah yang yakin. Dan yakin yang seyakin-yakinnya adalah tauhid.”  Jadi, katanya, untuk menjadi umat terbaik yang memiliki daya saing yang tinggi, umat Islam harus menjadi yang terbaik dan mampu memberikan yang terbaik pula.             Jadi, kesimpulannya,  umat Islam harus bersikap yang benar untuk bisa kompetitif. Dan untuk mempersiapkan itu,  harus melalui pendidikan yang benar. Demikian paparan Rektor Unissula, Doktor dokter Rofiq Anwar. (Disusun berdasarkan wawancara Dr. dr. HM Rofiq Anwar dengan Husni Abdullah dan Syahrudin Hidayat)

Leave a Reply