Persoalan hubungan agama dan politik selalu hangat untuk diperbincangkan, terutama di negeri kita. Sejak Indonesia merdeka, tokoh-tokoh nasional kita telah membahas soal dasar negara, asas partai, kehidupan sosial, sampai perundang-undangan, dan kaitan itu semua dengan agama. Di lingkup yang lebih khusus, yakni di Jakarta menjelang Pilkada DKI 2017 putaran kedua, persoalan serupa kembali mengemuka. Islam sebagai agama yang benar dan mulia, oleh sebagian orang dipandang tidak patut mencampuri persoalan pemikiran dan tindakan politik manusia. Sebaliknya, oleh penganut yang meyakini kebenaran Islam, kehadiran agama di ruang publik dan ranah politik adalah kewajiban.
Untuk menjawab persoalan besar itu, beserta persoalan-persoalan rinci yang dihasilkannya, Insitute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) menggelar Diskusi Publik Politik dan Agama, di Aula INSISTS, Kalibata, Jakarta Selatan, Sabtu (15/4) lalu. Acara ini adalah diskusi terbuka yang melibatkan dua pemateri, Dr. Nirwan Syafrin Manurung (wakil rektor Universitas Ibn Khaldun, Bogor) dan Dr. Malki Ahmad Nasir (dosen STAI Persatuan Islam Garut). Keduanya adalah alumni International Institute of Islamic Thought and Civilizations (ISTAC), Malaysia. Acara ini dimoderatori oleh dosen pascasarjana UIKA Bogor, Dr. Wido Supraha.
Dr. Malki memberi materi “Di Mana dan Bagaimana Seharusnya Peran Umat Islam?: Beberapa Catatan”, dan mengawalinya dengan membahas sebuah hasil survei pendapat publik baru-baru ini. Hasil survey tersebut menunjukkan bahwa isu penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok tahun lalu, yang sempat memancing gelombak unjuk rasa umat Islam, bukan lagi ukuran para pemilih di DKI dalam menentukan gubernurnya. Dalam klaim survey itu, mereka memilih berdasarkan latar belakang seperti kinerja dan pembangunan. Padahal dalam Islam, ukuran terawal sekaligus terpenting saat memilih pemimpin adalah adabnya. “Adab menekuni kecemerlangan syakhsiyah individu. Jika politik tidak memperhatikan itu, tidak ada lagi yang tersisa.” kata Dr. Malki. Contoh nyata dari pengabaian adab itu adalah sejarah negeri-negeri seperti Mesopotamia dan Mesir di masa lampau, di mna mereka mewarisi banyak bangunan tetapi penguasa mereka (seperti Fir’aun di Mesir) tidak menunjukkan adab. Dalam kasus modern, hal tersebut tampak dalam angka bunuh diri di negara-negara sejahtera yang masih tinggi.
Dr. Malki kemudian menyoroti peran umat Islam dalam memperjuangkan kecemerlangan syakhsiyah individu itu. Banyak orang Islam yang tidak begitu percaya diri pada nilai-nilai yang terdapat pada agama Islam. Banyak pandangan yang menilai cara umat Islam dalam menunjukkan sikap keberagamaannya di dunia politik sebagai “politik aliran.” Di sisi lain, pandangan tersebut juga mengesankan bahwa umat Islam tidak pantas menjadi seorang pemimpin, karena tidak memiliki pemahaman dan kecakapan di bidang hukum.
Pandangan seperti ini sangat keliru, karena sama saja dengan menyebut umat Islam bukan orang yang mampu membina sebuah tamadun, hanya mampu menjadi pekerja. Dari pemaparan tentang pandangan-pandangan keliru tersebut, Dr. Malki menjelaskan keunggulan Islam yang menjamin terwujudnya politik yang baik. Di dalam Islam, terdapat empat konsep kebaikan: yakni kebaikan pada diri sendiri, sehingga tidak ada kezaliman atas nama kebebasan berekspresi; pada sesama manusia, sehingga terbentuk masyarakat yang adil; pada alam, sehingga terjamin kelestarian lingkungan; dan pada Tuhan, sehingga terwujud penghambaan. Keempat konsep tentang kebaikan itulah yang dapat mewujudkan kecemerlangan syakhsiyah individu hingga terwujud masyarakat yang beradab.
Pemateri kedua, Dr. Nirwan, menyajikan materi “Penerapan Syariat Islam di Negara Demokratis”. Dalam mengawali materinya, Dr. Nirwan menjelaskan pemikiran awal seputar sekularisasi di dunia Islam oleh sarjana Mesir, Ali Abdur Raziq, yang menulis buku Islam wa Usul al-Hukm. Di buku tersebut, Raziq secara terang-terangan menyebutkan bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam adalah seorang pemimpin ruhaniah tetapi bukan pemimpin politik.
Buku itu ditulis tak jauh dari keruntuhan Kekhalifahan Turki Utsmaniyah yang diihapuskan di tahun 1924. Umat Islam sedunia merasakan kekecewan atas hal itu.
Meski begitu, upaya mewujudkan negara yang sesuai dengan syariat Islam tetap berlangsung. Di Indonesia menjelang kemerdekaan, pihak Islam memperjuangkan Piagam Jakarta yang menjamin pelaksanaan syari’at bagi pemeluk-pemeluknya. Penentang perjuangan itu adalah kaum sekular yang muslim secara ritual (menegakkan shalat, berpuasa, dsb.) tetapi mengabaikan agama di kehidupan duniawi, termasuk dalam mengurus politik.
Dr. Nirwan kemudian menjelaskan bahwa perjuangan menerapkan syariat hanya satu dimensi dari perdebatan relasi Islam dan politik. “Orang-orang yang ingin menegakkan syariah dimasukkan ke dalam kategori fundamentalis, radikalis, dan teroris.” kata Dr. Nirwan, menyinggung pengelompokan para ilmuwan sekular dan pihak media massa. Padahal di dalam Islam, politik bukan cuma perkara kekuasaan. Kekuasaan menjadi penting karena melaluinya, kita bisa menerapkan syariat individu dan publik. Di Indonesia hari ini, kita bisa melaksanakan syariat bagi individu seperti shalat, puasa, zakat, dan haji, juga beberapa hal yang mulai diterima sebagai kebijakan publik oleh negara, seperti pernikahan dan perbankan.
Dr. Nirwan kemudian menjelaskan makna syariat, fiqh, ijtihad, dan hukum, dan bagaimana keterkaitan erat antara satu sama lain. Hal tersebut harus dipahami oleh masyarakat muslim, lantaran upaya kalangan sekular dan liberal menghadang penerapan syariat salah satunya adalah dengan memisahkan syariat dan fiqh.
Acara ini berlangsung dengan dihadiri lebih dari 60 peserta. Di akhir acara, Dr. Henri Shalahuddin mewakili INSISTS memberikan pernyataan penutup. Menurut Dr. Henri, para politisi muslim harus mempelajari dan memahami ilmu politik Islam, agar dapat menjalankan politik sesuai akhlak Islam dan menghasilkan kebijakan-kebijakan publik yang sesuai dengan Islam.