Home Artikel Bisakah Suatu Fatwa Dicabut?

Bisakah Suatu Fatwa Dicabut?

812
0

Biarkanlah saya menyebut apa yang terasa;
Kemudian tuan bebas memberi saya nama dengan apa yang tuan sukai;
Saya adalah pemberi maaf, dan perangai saya adalah mudah, tidak sulit.
Cuma rasa hati sanubari itu tidaklah dapat saya menjualnya;
Katakanlah kepadaku, demi Tuhan.
Adakah rasa hati sanubari itu bisa dijual?

Sudah agak lama dibicarakan di kalangan masyarakat tentang apa yang dinamai Natal Bersama. Pemerintah Republik Indonesia di bawah pimpinan Presiden Suharto sejak mulai berdirinya Majelis Ulama Indonesia, selalu menganjurkan agar di Indonesia terdapat Kerukunan Hidup Beragama. Dan kepada Presiden Suharto sendiri pada tanggal 21 September 1975 penulis ”dari hati ke hati” ini, yang baru 20 hari menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia teah menerangkan di hadapan kurang lebih 30 orang Utusan Ulama yang hadir, bahwa Islam mempunyai konsepsi yang terang dan jelas di dalam surat Al-Mumtahinah ayat 7 dan 8, bahwa tidak dilarang oleh Al-Qur’an orang Islam itu hidup rukun dan damai dengan pemeluk agama lain.

Orang Islam disuruh berlaku adil dan hidup rukun dengan mereka asal saja mereka itu tidak memerangi kita dan mendesak kita untuk keluar dari tanah air kita sendiri.

Artinya sejak MUI berdiri dia telah menerima anjuran pemerintah tentang kerukunan hidup beragama. Dan ini telah berjalan baik. Tetapi belum ada patokan dan batas-batas tentang mana yang akan kita rukunkan dan mana yang akan kita damaikan. Maka timbullah soal Natal, lebih jelas lagi tentang ”Natal Bersama”.

Apa arti bersama?
Bolehkah orang Islam bersama orang Kristen merayakan Hari Natal? Demi kerukunan hidup beragama? Dan tentu ada orang yang ingin bertanya: Bolehkah orang Kristen-demi kerukunan hidup beragama merayakan pula hari Raya ’Idul Fitri dan Idul ’Adha dengan ummat Islam?

Kalau direnungi lebih dalam, hari Natal bagi orang Kristen ialah memperingati dan memuliakan kelahiran Yesus Kristus yang menurut kepercayaan Kristen Yesus itu adalah Tuhan dan anak Tuhan. Dia adalah SATU dari TIGA TUHAN atau TRINITAS. Bila orang Islam turut sama-sama merayakannya, bukanlah berarti meyakini pula bahwa Yesus itu adalah Tuhan, atau satu dalam yang bertiga, atau tiga oknum dalam satu.

Ketika orang merayakan Natal, dilakukanlah beberapa upacara (rituil) yang di dalam bahasa Islam disebut ibadat. Membakar lilin, memakan roti yang dianggap bahwa ketika itu roti tersebut adalah daging Yesus, dan meminum air yang dianggap sebagai darah Yesus.

Ketika terjadi Munas MUI di Cipayung 1979 utusan MUI dari Ujung Pandang membawa berita bahwa kaum Kristen di sana menjelaskan kepada pengikut-pengikutnya bahwa Peringatan Natal adalah ibadat bagi mereka. Sudah lama hal ini diperbincangkan dalam kalangan kaum Muslimin. Tidak ada orang yang menyadari kehidupan beragama yang tidak meragukan halalnya orang Islam turut bersama orang Kristen menghadiri hari Natal, meskipun tidak ada pula orang Islam yang menolak anjuran kerukunan hidup beragama, dan orang Kristen pun belum pernah pergi bersama ber-Hari Raya ’Idul Fitri dan ’Idul Adha ke tanah lapang atau mesjid. Dengan demikian bukanlah berarti bahwa mereka (orang Kristen) tidak hidup rukun dengan orang Islam.

Sebab itu dapatlah kita fahami bahwa Menteri-menteri Agama sejak Indonesia Merdeka menyuruhkan saja pegawai-pegawai Tinggi yang beragama Kristen menghadiri secara resmi hari-hari peribadatan Kristen, Natalnya, Paskahnya dan lain-lain, pegawai tinggi Katolik untuk menghadiri hari Ibadat Katolik, dan pegawai tinggi Protestant untuk menghadiri hari ibadat Protestant, dan demikian pula dengan pegawai tinggi dari kalangan yang beragama Budha. Dan dengan demikian sekali-kali tidak berkurang rukunnya kita hidup beragama.

Sejak Juli 1975 MUI berdiri dianjurkan kerukunan hidup beragama. Pihak Islam menerima anjuran  itu dengan baik. Tetapi terus terang kita katakan bahwa bagaimana batas-batas kerukunan itu, belum lagi kita perkatakan secara konkrit!

Maka terjadilah di Jawa Timur, adanya larangan dari Kanwil P dan K menyiarkan satu karangan yang menerangkan ’aqidah orang Islam, bahwa Allah itu tidak beranak dan tidak diperanakkan. Arti ayat Lam yalid walam yuulad ini dilarang beredar, dengan alasan bahwa karangan ini berisi satu ayat yang bertentangan dengan kerukunan hidup beragama.

Sekarang keluar FATWA dari ulama-ulama, bukan dari Majelis Ulama saja, melainkan disetujui juga oleh wakil-wakil dari Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan perkumpulan-perkumpulan Islam lainnya, bahkan juga dari Majelis Da’wah Islam (yang berafiliasi dengan Golkar) dalam pertemuan itu timbul kesatuan pendapat bahwa orang Islam yang turut dalam perayaan Natal itu adalah mencampuradukkan ibadat, menyetujui aqidah Kristen, menyatakan Nabi Isa Almasih ’alaihissalam sebagai Tuhan.

Dan di dalam logika tentunya sudah dapat dipahami, bahwa  hadir di sana ialah menyatakan persetujuan pada ’amalan iu, apatah lagi jika turut pula membakar lilin, sebagai yang mereka bakar, atau makan roti yang menurut `aqidah Kristen jadi daging Yesus, dan air yang diminum menjadi darah Yesus! Maka orang Islam yang menghadirinya itu oleh ayat: (Barangsiapa menyatakan persetujuan dengan mereka, termasuklah dia dalam golongan mereka) (Al-Maidah: 51).

Apakah konklusi hukum dari yang demikian itu, kalau bukan haram?
Maka bertindaklah ”Komisi fatwa, dari Majelis Ulama Indonesia, salah seorang ketua Al Fadhil H.Syukuri Gazali merumuskan pendapat itu dan dapatlah kesimpulan bahwa turut merayakan Hari Hatal adalah Haram!”

Masih lunak. Karena kalau diperhatikan isi ayat Al-Maidah 51 itu, bukan lagi haram, bahkan kafir. Oleh karena saat ini benar-benar mengenai aqidah, tidaklah soal ini didiamkan. Tanggung jawab sebagai ulama menyebabkan para ulama merasa berdosa kalau hal ini didiamkan saja. Yth Menteri Agama mengetahui hal ini. Beliau meminta supaya hasil fatwa  dikirim kepada beliau untuk menjadi pegangan. Tetapi karena memandang fatwa ini adalah menyinggung tanggung jawab Majelis Ulama seluruhnya, keputusan tersebut dikirim kepada cabang-cabang tingkat I (Propinsi) seluruh Indonesia. Di sinilah timbul kesalahpahaman diantara Pimpinan Majelis Ulama dengan Yth Menteri Agama. Mengapa fatwa itu telah tersiar luas, padahal mestinya disampaikan kepada Menteri Agama saja….

Penulis teringat ketika Majelis Ulama Indonesia mulai didirikan (Juli 1975) seorang muballigh muda H. Hasyim Adnan bertanya: ”Apa sanksinya kalau pemerintah nanti tidak mau menjalankan suatu keputusan dari Majelis Ulama?” Saya jawab: ”Tidak ada sanksi yang dapat kita pergunakan. Kita sebagai ulama hanya berkewajiban melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Kewajiban kita di hadapan Allah hanya menyampaikan dengan jujur apa yang kita yakini. Ulama menerima waris dari Nabi-nabi. Sebab itu kita warisi juga dari Nabi-nabi itu penderitaan dan penghinaan. Sanksi orang yang menolak kebenaran yang kita ketengahkan bukanlah dari kita. Kita ini hanya manusia yang lemah. Yang memegang sanksi adalah Allah Ta’ala sendiri.” 

(Diringkas dari tulisan Prof. Hamka yang berjudul ”Bisakah Suatu Fatwa Dicabut?”  di rubrik “Dari Hati ke Hati” Majalah Panji Masyarakat No 324 tahun 1981).

Leave a Reply