Menurut pakar di Barat, bible dijadikan justifikasi utuk mengambarkan ketertindasan perempuan. Ayat-ayat bible yang begitu rasis mendorong sejumlah feminis memberontak. Salah satunya dilakukan oleh Elizabeth Cady Stanton dengan cara membuat bible tandingan, yang bernama Women’s Bible.
“Women’s Bible itu diselesaikan dalam 2 jilid dan dibuat selama lima tahun. Disitu ayat-ayat yang menindas perempuan itu dikomentari,” kata Henry Shalahuddin kepada Eramuslim.com, Rabu (21/12) seusai mengisi seminar Feminisme dan Realitas Sosial: Dulu, Kini, dan Nanti di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ayat-ayat yang sangat menghinakan perempuan tersebar disejumlah ayat seperti Sirakh 42:14, 25:19. Yehezkiel 23:19-21. Kejadian 3:16. Bahkan dalam bible, adegan-adegan seksual secara kronologis dijelaskan secara literal. Diskriminasi itu kemudian berdampak pada konstruk sosial terhadap wanita di Barat. Implikasinya ada kebiasaan di Barat dimana umpatan-umpatan selalu berkonotasi kepada perempuan.
“Misalnya laki-laki marah kepada laki-laki, tapi umpatannya malah kepada perempuan seperti Son of bitch (anak pelacur),” lanjut peneliti INSISTS ini.
Tidak hanya itu, tragedi berdarah inquisisi dimana para wanita kristiani disiksa sampai mati oleh gereja tidak lepas dari problematika bible. “Karena bagi mereka perempuan adalah wanita yang tidak sempurna,” sambung pria yang mengecap pendidikan dari IIUM Malaysia ini.
Problematika antara wanita dan gereja yang murni hanya terjadi dalam tradisi Kristen inilah yang kemudian diimpor ke dalam agama Islam. Salah satunya dilakoni oleh Aminah Wadud. Profesor Studi Islam di Virginia Commonwealth University ini sempat membuat geger ketika menjadi imam Shalat Jum’at di gereja.
“Aminah Wadud menganggap umat Islam juga mempunyai masalah seperti di Barat,” ujarnya.
Secara sekilas, ayat-ayat tentang gender itu tidak dipahami secara mendetail. Kata Henry, banyak ayat Qur’an yang salah ditafsirkan oleh Aminah Wadud dan feminis pada umumnya. Seperti ayat arrijalu Qawwamun Ala Nisa atau status persaksian perempuan itu setengah daripada laki-laki.
“Ayat ini jika dilihat di buku-buku tafsir itu kan pembahasannya panjang. Itu persaksian dalam masalah apa? Ada juga perempuan jadi saksi yang sama dengan laki-laki, tidak pada semua masalah,” jelasnya panjang lebar.
Henry mencontohkan pada persaksian yang terkait kepada perempuan. Dalam hal ini justru, persaksian mesti diemban oleh perempuan, “Misalnya untuk mengecek seseorang hamil atau tidak, haid atau tidak, itu kan harus perempuan. Jadi harus dijelaskan dulu kesaksian dalam masalah apa?” tanyanya.
Oleh karena itu, Henry berpesan bagi para feminis untuk tidak melihat ayat-ayat tentang perempuan di Al Qur’an dengan sumbu pendek. (Pz)
Salam…
saya mahu bertanya. Artikel di atas ini merupakan jurnal atau artikel akhbar?
Terima kasih