Home Artikel Al-Kafirun

Al-Kafirun

2306
0

Oleh: Dr. Henri Shalahuddin, MIRKH.

(Peneliti Senior INSISTS)

 

Alkisah, sekelompok pemuka kaum kafir Quraisy mendatangi Rasulullah saw, seraya berkata: “Wahai Muhammad! Ikutlah agama kami, niscaya kami pun akan mengikuti agamamu. Sembahlah tuhan-tuhan kami selama setahun dan kami akan menyembah Tuhanmu dalam setahun”. Rasulullah menjawab: “Aku berlindung kepada Allah dari perbuatan syirik. Mendengar jawaban ini, mereka tidak menyerah, bahkan meringankan penawaran dengan hanya meminta beliau mengakui keberadaan tuhan mereka: “Terimalah sebagian tuhan-tuhan kami, niscaya kami akan beriman kepadamu dan menyembah Tuhanmu”. Lalu turunlah surat “al-Kafirun”.

Keesokan harinya, beliau pergi ke Masjidil Haram. Di sana para pemuka Quraisy sedang berkumpul. Lalu Rasulullah menghampiri dan berdiri di tengah-tengah mereka, lalu membacakan wahyu yang baru diterimanya. Akhirnya kaum Quraisy pun berputus asa. Peristiwa ini disebut dalam banyak kitab tafsir, seperti Tafsir imam Tabari (w. 310H), Ibnu Katsir (w. 774H), al-Baghwi (w. 516H), al-Alusi (w. 1270H), dsb. Dan tidak ada satu pun perbedaan yang kontradiktif di kalangan ulama tafsir dalam menguraikan makna surat al-Kafirun.

Sikap penolakan Rasulullah yang tidak “umum” terhadap tawaran kaum Quraisy yang sekilas nampak “adil, netral, pluralis dan humanis” tentunya bukanlah hal mudah dan ringan. Sebaliknya, ia menunjukkan suatu keteguhan hati dalam mengemban Risalah Tuhan. Padahal jika saja Nabi Muhammad menerima tawaran mereka, mereka akan memberikan seluruh harta yang dimiliki dan menjadikan beliau orang terkaya di Makkah, serta mempersilahkan beliau mengawini perempuan mana saja yang beliau maui.

Di samping itu, mereka juga berjanji akan tunduk setia kepada aturan Rasulullah asalkan beliau mau mengakui tuhan mereka dan tidak mengusiknya. Mereka menyakinkan bahwa tawaran ini terdapat kebaikan (maslahat), saling menguntungkan dan menyenangkan semua pihak. (lihat tafsir Tabari dan Ma’alim Tanzil/al-Baghwi). Maka Allah pun menguatkan hati beliau, “Katakanlah: “Maka apakah kepada selain Allah kamu menyuruhku menyembah, wahai orang-orang yang jahil?” (QS. 39:64)

Al-Qur’an mengkategorikan pola pikir “arisan keyakinan” atau dalam istilah akademisnya dikenal dengan kesatuan transenden agama-agama sebagai tindakan orang jahil yang tidak berpengetahuan. Agama Islam yang berlandaskan tauhid mempunyai karakteristik dan pandangan hidup sendiri yang tidak bisa disamakan dengan agama-agama lain. Orang jahil bukan hanya mereka yang kosong dari ilmu pengetahuan, tapi juga mereka yang menyakini sesuatu yang keliru. Ibn al-Qayyim dalam kitabnya, “Tahzib Madarij al-Salikin”, menjelaskan bahwa kejahilan itu adalah memandang baik sesuatu yang mestinya buruk atau menganggap sempurna sesuatu yang mestinya kurang. Jika kejahilan ini dibiarkan terpelihara, maka ia akan menghasilkan kezaliman. Ibn al-Qayyim menjelaskan bahwa kezaliman itu berarti meletakkan sesuatu secara tidak proporsional. Seperti marah pada sesuatu yang seharusnya direlakan dan merelakan padahal semestinya harus marah; bersabar dalam kebodohan; bakhil dalam kondisi lapang; dst.

Sedangkan kezaliman terbesar adalah perbuatan syirik. Yakni sebuah sikap yang menyakini adanya tuhan selain Allah, adanya kebenaran yang sama mutlaknya dengan kebenaran agama Allah, adanya keyakinan bahwa semua agama itu diibaratkan sebagai jalan yang sama-sama validnya menuju Tuhan yang sama. Tradisi syirik seperti ini anehnya justru dijadikan tolak ukur bertoleransi dan tren beragama masyarakat modern. Bahkan kajian kritis terhadap suatu agama atau menyakini bahwa agama yang dianutnya itu benar akan dipandang kaum pluralis sebagai tindakan yang tidak toleran dan menyebarkan kebencian. (www.apologeticsindex.org/p14.html). Sebuah koran nasional 3/11/2007 pun menurunkan sebuah ulasan bedah buku yang bertema: “Sikap Tak Dukung Pluralisme Justru Ciptakan Teroris Baru”

Sayangnya, aplikasi kejahilan secara akademis justru digalakkan melalui artikel, buku, seminar dan perkuliahan. Di antara sebagai berikut: (a) “Kita tidak dapat mengatakan bahwa (agama) yang satu lebih baik dari yang lain.” Lihat: Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan kaum Beriman. (b) “Semua agama itu kembali kepada Allah. Islam, Hindu, Budha, Nasrani, Yahudi, kembalinya kpd Allah”. Selanjutnya ditegaskan: “Adalah tugas dan wewenang Tuhan untuk menyelesaikan perbedaan di antara berbagai agama. Kita tidak boleh mengambil alih Tuhan untuk menyelesaikan perbedaan agama dengan cara apa pun, termasuk dengan fatwa.” Lihat: Islam dan Pluralisme. Meskipun penulis buku tersebut melarang berfatwa tentang agama, namun dia sendiri sebenarnya juga sedang berfatwa dalam menyamakan semua agama. Bahkan ketika dia ditanya tentang siapa saja yang layak masuk surga, dia menjawab: “Saya jadi tak peduli apakah dia Katolik, Kristen, atau Hindu. Kalau berakhlak mulia, beramal saleh, saya akan berikan segala kemuliaan kepadanya”. (Wawancara 10/10/06, islamlib.com)

Pluralisme agama sebenarnya adalah konsep yang dihasilkan dari kebijakan politik dalam menengahi konflik agama maupun konflik yang mengatasnamakan agama di Barat. Dengan konsep ini, para pemuka agama dipaksa membuktikan dirinya bersih dari label-label “tidak toleran” dan “berpikiran sempit”. Sehingga mereka bisa diterima di dunia posmodern, di mana setiap keyakinan harus didasarkan pada relativisme. Oleh karena itu, setiap klaim kebenaran berdasar kitab suci, hukum dan moral yang sudah kedaluwarsa harus dihindari. (www.allaboutreligion.org/religious-pluralism.htm)

Di Indonesia, paradigma lintas keyakinan dikembangkan kedalam Islam. Akhirnya banyak akademisi yang latah menyatakan: “Karena itu, berdasarkan hasil kajian dalam buku ini dari berbagai ayat al-Qur’an, maka pada hakekatnya setiap agama bisa dikatakan al-Islam“. (Tafsir Inklusif Makna Islam). Di buku lain juga disebutkan: “Sampai di sini, sejatinya pengertian Islam harus dipahami dalam makna generiknya, yaitu sikap pasrah dan tunduk kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam hal ini, tidaklah terlalu tepat jika Islam dibatasi hanya untuk agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.” (Islam Mazhab HMI).

Islam secara jelas membedakan antara mukmin dan kafir, tauhid dan syirik, petunjuk dan kesesatan, serta melarang mencampuradukkan antara yang hak dan yang batil. Pembedaan identitas ini tidak menghalangi umat Islam untuk menjalin muamalah, bermain sepak bola bersama dan berbuat baik kepada pemeluk agama lain. Bahkan Islam secara tegas melarang umatnya mencaci maki keyakinan orang kafir (QS. 6:108). Prinsip tertinggi bertoleransi sudah ditawarkan Islam di penghujung surat al-Kafirun: lakum dinukum waliya din”, kalau itu kalian anggap sebagai “agama”, maka itu adalah urusan kalian, tetapi kami mempunyai agama dan pandangan hidup sendiri. Lebih lanjut, surat al-Kafirun merupakan perisai umat dari segala bentuk syirik dan ibaratkan setara dengan seperempat al-Qur’an. Oleh karena itu, Rasulullah mengajarkan kita untuk senantiasa membacanya sebelum beranjak tidur, di samping bacaan yang lain. Ataukah kita masih mau mencari lagi cara-cara bertoleransi untuk menandingi surat al-Kafirun?

Leave a Reply