Home Artikel Ahmadiyah dan Masalah Kebenaran

Ahmadiyah dan Masalah Kebenaran

952
0

Pada Hari Jumat tanggal 15 Juli 2005, Markas Ahmadiyah Indonesia yang berlokasi di Parung Bogor, diserbu oleh massa umat Islam. Akhirnya, markas itu ditutup resmi oleh aparat, dan Jemaat Ahmadiyah dievakuasi dari tempat tersebut. Pemda dan aparat Bogor  — merujuk kepada keputusan MUI dan Departemen Agama – juga kemudian menutup pusat kegiatan Ahmadiyah di kota itu.

Kasus Ahmadiyah itu kemudian memunculkan banyak ragam wacana keagamaan. Salah satunya, adalah masalah diskursus tentang kebenaran  dan kebebasan beragama.

Masalah yang sekian lama menjadi bahan perbincangan, kemudian menghangat kembali. Ada yang menyatakan, bahwa manusia tidak berhak menghakimi keyakinan orang lain, dan memaksakan keyakinannya terhadap orang lain.

Dia kutip ayat al-Quran, “Barangsiapa yang mau silakan beriman, dan siapa yang mau silakan kafir.” Jadi, biarkanlah saja orang mengikut pendapat apa saja, dan menyebarkan pendapatnya,  apa saja jenisnya. Termasuk paham Ahmadiyah, yang mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi setelah Nabi Muhammad saw.

Sebagai contoh, ungkapan Masdar F. Mas’udi, salah satu Ketua PBNU, yang dikutip Harian Kompas (20/7/2005), yang menyatakan, “NU merasa tidak berhak menfatwakan sesat terhadap para pengikut Ahmadiyah.”

Dia juga menyatakan, bahwa Allah-lah yang Maha Tahu siapa diantara manusia yang berpetunjuk dan yang tersesat.  Dalam Kongres NU ke-5 di Pekalongan tahun 1930, diputuskan tentang jenis-jenis kafir: (1) Kafir ingkar: ialah orang yang tidak mengenal Tuhan sama sekali dan tidak mengakuinya, (2) Kafir juhud: ialah orang yang mengenal Tuhan dalam hati, tetapi tidak mengikrarkan dengan lesannya, seperti Kafirnya iblis dan orang Yahudi. (3) Kafir nifaq: ialah orang yang mengikrarkan dengan lisan, tetapi tidak mempercayai Tuhan dalam hatinya, (4) Kafir ‘Inad: ialah orang yang mengenal Tuhan dalam hatinya dan mengikrarkan dengan lisannya, tetapi tidak taat kepada-Nya.

Merujuk kepada Keputusan Kongres/Muktamar NU yang dikutip dari Kitab Syarah Safinatun Najah itu, kita dapat memahami, bahwa NU dengan tegas menyebut Iblis dan Yahudi sebagai kafir. Iblis kafir karena membangkang kepada Allah dan Yahudi juga jelas-jelas kekafirannya karena tidak mengimani kerasulan Muhammad saw.

Dalam masalah keimanan, kita mengenal rukun iman, yakni beriman kepada Allah, Malaikat,  Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasulnya, Hari Akhir, dan takdir Allah. Keenam perkara itu termasuk ke dalam “rukun”, artinya keimanan seseorang tidak sah jika tidak mencakup keenam rukun tersebut. Yang namanya ‘rukun salat’ artinya, salat kita batal jika tidak mengerjakan salah satu rukunnya, seperti niat, ruku’,  sujud, i’tidal, dan sebagainya.

Oleh sebab itu, masalah iman dan kufur, mukmin dan kufur, adalah masalah mendasar dalam Islam. Seharusnya menjadi tugas para ulama untuk menjelaskan kepada umatnya, mana yang lurus dan mana yang sesat, mana yang iman dan mana yang kufur.

Ulama tidak seyogyanya malah membuat masalah menjadi kabur, dengan menyatakan, bahwa manusia tidak berhak memutuskan mana yang benar dan mana yang salah. Hanya Allah saja yang berhak menghukumi. Hanya Allah saja yang tahu mana yang sesat dan mana yang mendapat petunjuk.

Pengkaburan seperti itu sangat tidak benar, mengingat, setiap hari, setiap Muslim minimal 17 kali berdoa kepada Allah: Ya Allah tunjukkanlah kami jalan yang lurus, yaitu jalannya orang-orang yang telah Engkau beri nikmat atas mereka dan bukannya jalan orang-orang yang Engkau murkai atau jalannya orang-orang yang sesat. Rasulullah saw juga mengajarkan doa kepada kita: Ya Allah tunjukkanlah kepada kami yang haq itu haq dan berikanlah kemampuan kepada kami untuk mengikutinya, dan tunjukkanlah kepada kami yang bathil itu bathil, dan berikanlah kemampuan kepada kami untuk menjauhinya.

Tugas para ulama atau cendekiawan adalah menunjukkan mana yang salah dan mana yang benar. Itulah tugas kenabian yang diamanahkan kepada para pewaris Nabi (ulama). Karena itu, sejak puluhan tahun lalu, NU sudah menjelaskan jenis-jenis kaum kafir. Komentar Masdar semacam itu tentunya tidak mewakili suara resmi NU, dan hanya pendapat pribadi yang oleh media massa dibuat seolah-olah mewakili suara NU. Dalam kitab-kitab aqidah Asy’ariyah juga penuh dengan penjelasan tentang kekeliruan paham Mu’tazilah.

Sebagai contoh, Imam al-Ghazali sama sekali tidak ragu-ragu ketika menyebutkan tentang kekeliruan sejumlah pemikiran para filosof, seperti pemikiran tentang keabadian alam. Dalam Kitabnya, al-Munqidh Minadh Dhalal, dengan tegas al-Ghazali menyebutkan bahwa golongan “dahriyyin”, yakni yang tidak mengakui adanya Tuhan, dan mengakui bahwa alam ini ada dengan sendirinya, tidak diciptakan oleh suatu pencipta, adalah termasuk kafir zindiq. Begitu juga golongan “thabii”, yang tidak mengakui adanya sorga, neraka, ganjaran bagi tindakan ketaatan, dan siksaan bagi pelaku maksiat, dinyatakan al-Ghazali sebagai golongan kafir zindiq.

Jadi, sebagai ulama, maka tugas pentingnya  adalah menunjukkan mana yang haq dan yang bathil, mana yang ma’ruf dan mana yang mungkar. Sebab, amar ma’ruf nahi munkar, adalah kewajiban penting atas kaum Muslim.

Jika seseorang masuk dalam golongan bingung (golbin), maka dia tidak akan dapat melakukan kewajibannya dengan baik.

Keyakinan merupakan harta yang tak ternilai harganya bagi seorang manusia. Ketika seseorang kehilangan keyakinan, dan senantiasa berada pada keraguan akan sesuatu (golongan bingung/golbin), maka ia telah memasuki satu fase kehidupan yang penuh dengan kegamangan dan tidak akan pernah merasakan kebahagiaan hakiki.

Dalam puisinya Bal-e-Jibril,  penyair terkenal Pakistan, Mohammad Iqbal mengingatkan bahaya pendidikan Barat modern yang berdampak terhadap  hilangnya keyakinan kaum muda Muslim terhadap agamanya.

Padahal, menurut Iqbal, keyakinan adalah aset yang sangat penting dalam kehidupan seorang manusia. Jika keyakinan hilang dari diri seorang manusia, maka itu lebih buruk ketimbang perbudakan.

Dikatakan Iqbal dalam puisinya: “Conviction enabled Abraham to wade into the fire; conviction is an intoxicant which makes men self-sacrificing; Know.”

Kita perlu menggarisbawahi peringatan Iqbal tersebut. Seorang yang hilang keyakinan terhadap agamanya, terhadap kebenaran dan kesesatan, maka ia akan bersikap tidak peduli dengan kemungkaran.

Cara berpikir individualisme dan “cuekisme” terhadap kemungkaran bukanlah lahir dari pandangan hidup Islam, melainkan cara pandang Barat yang menjungjung tinggi paham kebebasan individu. Karena itu, dalam system hukum Barat, perzinahan dan minuman keras, tidak dianggap kejahatan selama tidak merugikan orang lain.

Siapa pun yang berzina, asal suka sama suka, maka dia tidak dianggap melakukan tindak kriminal. Siapa pun yang meminum khmar, asal dilakukan sendiri dan tidak mengganggu orang lain, maka hal itu bukan kejahatan.

Cara pandang semacam itu tidak sama dengan cara pandang Islam. Karena itu, di Barat tidak ada konsep “amar ma’ruf nahi munkar”, sebagaimana dalam ajaran  Islam.

Ketika pandangan hidup Barat yang individualis merasuk dalam alam pikiran kaum Muslim, maka tindakan amar ma’ruf  nahi munkar, dapat dipandang sebagai satu bentuk kejahatan yang tidak disukai oleh masyarakat.

Dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin, Imam Ghazali mengutip satu ungkapan dari Hudzaifah Ibnul Yaman, “Akan dating suatu zaman, ketika bangkai keledai akan lebih mereka sukai daripada seorang mukmin yang biasa melakukan amar ma’ruf nahi munkar.

Menjelaskan tafsir QS al-Maidah ayat 105, Ibnu Mas’ud r.a. menyebutkan akan datangnya satu zaman dimana orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar akan dibenci dan dikecam.

Banyak kalangan yang mengaku cendekiawan saat ini rajin menggunakan ungkapan “jangan merasa benar sendiri”, “jangan menghakimi keyakinan orang lain”, “jangan merasa menjadi Tuhan”, dan sejenisnya.

Arah dari ungkapan-ungkapan itu ialah agar orang Muslim tidak peduli dengan lingkungannya; tidak peduli dengan kerusakan dan kemungkaran yang berkembang di sekelilingnya, karena itu semua adalah hak asasi manusia.

Hak asasi setiap orang untuk meyakini dan  menyebarkan keyakinannya. Tidak boleh diganggu dan dihalangi, apalagi dihentikan. Apapun jenis kepercayaan dan tindakannya.

Dalam kasus Ahmadiyah, banyak sekali ungkapan-ungkapan yang dikeluarkan oleh berbagai pihak yang sifatnya “asbun”, asal bunyi, tanpa melalui pengkajian masalah yang serius. Bahkan, banyak yang bernada membela Ahmadiyah, yang jelas-jelas kesesatannya.

Dalam tulisannya di Harian Republika (20/7/2005), Wakil Ketua KISDI KH A. Khalil Ridwan, menjelaskan tentang kesesatan aliran Ahmadiyah.

Keputusan Konferensi Organisasi Islam se-Dunia (14-18 Rabiulawwal 1394 H) dan keputusan Rabithah Alam Islami telah menetapkan bahwa Ahmadiyah adalah sekte yang menyesatkan dan tidak ada kaitan dengan agama Islam.

Negara-negara Islam juga dilarang menyebarkan paham ini. Keputusan Munas Alim Ulama  se-Indonesia tahun 1980 telah memutuskan bahwa Ahmadiyah adalah kelompok di luar Islam, sesat dan menyesatkan.

Ini dituangkan dalam Keputusan No 05/Kep/Munas II/MUI/1980 (pada 17 Rajab 1400H/1 Juni 1980M, ditandatangani oleh Ketua MUI Prof. Dr. Hamka dan Sekretaris Drs H. Kafrawi MA, juga Ketua Dewan Pertimbangan MUI (Menag) Alamsyah R. Prawiranegara). Di samping itu juga ada Surat Edaran Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Departemen Agama No D/B4.01/5099/84, tgl 20 September 1984, yang berisi penegasan supaya ulama menjelaskan tentang sesatnya Jemaat Ahmadiyah.

Sudah bertumpuk-tumpuk fakta-fakta yang membuktikan bahwa Mirza Ghulam Ahmad – yang dipercayai oleh Ahmadiyah sebagai nabi – adalah nabi palsu.

Jadi, dalam pandangan Islam, Ahmadiyah adalah sebuah kemungkaran, karena menyerang aqidah yang paling asas, yaitu konsep tentang kenabian.

Karena ajaran ini disebarluaskan ke tangah masyarakat  Muslim, tentu, sesuai dengan ajaran Islam, kaum Muslim berkewajiban mencegah dan menghentikannya. Tidak ada kemungkaran yang lebih besar daripada kemungkaran dalam bidang aqidah.

Korupsi iman merupakan jenis korupsi yang paling besar, dibandingkan korupsi harta. Karena itu, aneh sekali jika ada sebagian kalangan Muslim yang menganggap enteng masalah ini,  dan lebih menganggap penting masalah pemilihan lurah, camat, atau walikota.

Imam al-Ghazali menulis dalam Ihya Ulumuddin, bahwa syarat pertama pelaku amar ma’ruf nahi mungkar adalah mukallaf (yakni yang telah terbebani kewajiban agama), muslim, dan mampu. Maka, orang gila, anak kecil, orang kafir, atau yang tidak berkemampuan, tidak terbebani dengan kewajiban melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar.

Jadi, selama seseorang tidak masuk kategori kafir, gila, atau anak-anak, maka ia wajib melaksanakan kewajiban agama ini. Bahkan, kata al-Ghazali, tindakan amar ma’ruf nahi mungkar tetap wajib dilakukan, meskipun mereka tidak mendapatkan izin dari penguasa (wa in lam yakuunuu ma’dzuniina).

Imam al-Ghazali juga menyebutkan, amar ma’ruf nahi mungkar bisa dilakukan dengan cara memberi nasehat atau dengan cara memaksa.

Untuk pemberi nasehat disyaratkan adanya sifat ‘adil, yakni si pemberi nasehat bukanlah orang yang fasik, yang hobi melakukan maksiat.

Sementara itu, syarat ‘adil tidak diperlukan dalam pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar dengan kekuatan (secara paksa). Karena itu, menurut Imam Ghazali, seorang yang dikenal sebagai fasiq sekalipun, boleh menghancurkan persediaan khamr atau alat-alat dan tempat maksiat – sepanjang dia mempunyai kemampuan dan kekuasaan untuk itu.

Penjelasan Imam al-Ghazali tentang amar ma’ruf nahi mungkar dengan tangan ini, insyaallah,  akan kita bahas secara khusus pada catatan  berikutnya, mengingat banyaknya pendapat yang dikeluarkan oleh para tokoh bahwa “Islam tidak mengajarkan cara-cara kekerasan dalam berdakwah”.

Dengan itu, mudah-mudahan kita tidak tersesat dalam opini yang salah, dan dapat menilai suatu kasus dengan adil, tanpa terburu-buru menyalahkan atau membenarkan satu pihak. Wallahul Muwafiq ilaa aqwamit thaariq.  (Jakarta, 22 Juli 2005).

Catatan Akhir Pekan (CAP) Adian Husaini merupakan kerjasama Radio Dakta 107 FM, bekasi dan www.hidayatullah.com

Leave a Reply