Home Uncategorized Konsep dan Teori dalam Tasawuf – Seri Esai Tasawuf #4

Konsep dan Teori dalam Tasawuf – Seri Esai Tasawuf #4

11083
0

Oleh: Reisya Callista

Dalam perbincangan mengenai tasawuf, konsep dan teori adalah bahasan utama yang tidak boleh kita lewatkan. Konsep dan teori adalah sebuah bagian penting dari ajaran tasawuf itu sendiri. Tanpa pemahaman yang baik, kita cenderung akan mudah terjerumus dalam pandangan yang keliru dalam memandang tasawuf. Materi ini menjadi pembahasan pada pertemuan ke-4 dalam Seri Kuliah Tasawuf: Sufi dan Sufisme (07/09/2022) yang diampu oleh Dr. Syamsuddin Arif.

Setidaknya ada lima konsep utama dalam tasawuf, yakni: adab; mujahadah dan riyadah; suhbah dan khidmah; maqam dan hal; serta wali dan wilayah. Namun dalam kuliah ini Dr. Syam hanya menjabarkan 4 diantaranya. Konsep adab adalah salah satu konsep yang paling banyak dibahas oleh para sufi. Ini terlihat dari banyaknya sufi yang menulis tentang konsep tersebut. Kitab-kitab yang memuat pembahasan tersebut diantaranya adalah Adabul Muridin karya As-Suhrawardi, Risalah Adabi Sulukil Murid karya Abdullah bin Allawi al-Haddad dan Unwanuttufiq fi Adabi Thariq karya Ibn Athaillah as-Sakandari.

Dalam kitabnya, al-Qushayri menyebutkan bahwa hakikat adab adalah himpunan sifat-sifat yang baik. Artinya, orang beradab adalah yang terhimpun dalam dirinya sifat-sifat baik. Di sisi lain, Dr. Syam juga menjelaskan bahwa orang beradab artinya adalah orang yang terlatih dan terdidik sehingga mengetahui aturan. Ini sesuai dengan makna adab dalam Lisanul ‘Arab yang diartikan sebagai melatih. Dr. Syam juga menambahkan bahwa untuk orang-orang yang mengenal Allah, adab adalah sebuah keniscayaan. Selaras dengan itu, menurut Abdullah bin Wara dalam proses mengenal dan mendekat ke Allah harus dimulai dengan taubat dan ketika kita sudah dekat kita harus beradab kepada-Nya. Begitu pentingnya adab hingga Abdullah bin Mubarak berpendapat bahwa adab lebih penting daripada ilmu yang banyak.

Al-Qushayni dalam Lathaiful I’lam membagi adab menjadi dua: adab kepada Allah dan adab kepada makhluk. Adab kepada Allah maksudnya adalah jangan sampai kita melanggar batasan yang telah ditetapkan oleh-Nya. Dalam arti, berbuat maksiat sama dengan kita tidak beradab kepada Allah. Sedangkan adab kepada makhluk adalah menghormati dan menghargai mahkluk tanpa berlebihan. Al-Ghazali juga turut membagi adab menjadi dua, yakni zahir dan batin. Kedua pembagian ini hampir sama dengan milik al-Qusyani. Perbedaannya adalah al-Ghazali lebih merincikan adab kepada Allah dan makhluk secara lebih detail. Contohnya dapat kita temukan dalam salah satu karyanya, Bidayatul Hidayah. Dalam kitab ini al-Ghazali menjelaskan adab yang harus ditunaikan oleh manusia sejak ia bangun tidur.

Konsep kedua adalah mujahadah dan riyadhah. Berdasarkan makna, sebenarnya mujahadah memiliki makna yang sama dengan jihad. Akan tetapi, saat ini pemaknaan terhadap jihad terlanjur disempitkan sebatas berjuang dalam ranah militer saja. Padahal, secara umum artinya adalah berjuang dan melawan.

Dalam konteks teori tasawuf, mujahadah artinya adalah memerangi hawa nafsu serta meninggalkan segala sesuatu yang membuatnya gembira berada di dunia. Sedangkan riyadhah secara bahasa artinya adalah latihan. Dalam konsep para sufi, riyadhah adalah mendisiplinkan diri dengan ibadah dan zikir. Sebagaimana yang diceritakan oleh Imam Suyuthi bahwa ia pernah menemukan ulama yang berzikir sebanyak sepuluh ribu kali setiap hari. Akan tetapi, mengenai hal ini Dr. Syam juga menuturkan bahwa praktik mujahadah dan riyadhah bisa tidak harus sama antar pribadi. Semuanya dapat disesuaikan dengan aktivitas yang dijalankan oleh mereka. Dasar dari penekanan para sufi terhadap riyadhah dalam artian berzikir dapat kita temukan dalam Q.S ar-Rad ayat 28.

Konsep berikutnya adalah maqam dan hal. Secara bahasa, maqam dapat kita artikan sebagai kedudukan, posisi atau tempat berhenti. Inilah yang membuatnya tepat diartikan sebagai station dalam Bahasa Inggris. Mudahnya, maqam dapat kita ibaratkan sebagai sebuah metafora. Seperti dalam perjalanan kita sehari-hari, dalam perjalanan menuju Allah kita juga akan menemukan banyak stasiun pemberhentian. Stasiun inilah yang kemudian yang dimaksud oleh para sufi sebagai maqam. Dalam pemberhentian tersebut, umumnya kita akan mengalami kondisi yang berbeda. Kondisi tersebut dapat kita kiaskan sebagai hal dalam konsep tasawuf.

Menurut para sufi, maqam diraih berdasarkan usaha. Berbeda dengan hal yang merupakan anugerah atau hadiah dari Allah. Sebagaimana pandangan as-Suhrawardi bahwa maqam adalah sesuatu yang tetap. Sebaliknya, hal adalah sesuatu yang dapat berubah. Ada perbedaan antar para sufi dalam membagi tingkatan maqam dan hal. Salah satu contoh pembagian maqam adalah menjadi 7, diantaranya adalah maqam taubat, mujahadah, khalwah, wara’, zuhud, faqr, sabr, tawakkul dan ridha. Sedangkan untuk hal, contoh tingkatan pembagiannya adalah muraqabah, mahabbah, syaqawah, syuhud, yaqin, serta tajalli.

Konsep terakhir adalah wali dan wilayah. Wali berasal dari kata waliya-yali yang artinya dekat. Selain dekat, kata tersebut juga dapat dimaknai sebagai menjaga. Istilah wali diturunkan dari Q.S Yunus ayat 90. Dalam ayat tersebut disebutkan kata awliya Allah yang artinya adalah orang-orang yang dekat atau dilindungi oleh Allah. Mereka yang dekat dengan Allah artinya orang-orang yang istimewa. Sebab, sebagaimana hadis qudsi yang dikutip oleh al-Ghazali: “Barangsiapa yang berusaha mendekat kepadaku dengan ibadah dan sebagainya, aku akan menyukainya. Jika aku menyukainya, maka aku akan menjadi pendengaran, penglihatan, lidah serta menjadi tangan dan kakinya”. Hadis tersebut yang kemudian dijadikan sebagai dalil dasar dari konsep wali menurut ahli tasawuf.

Itulah beberapa konsep utama dalam tasawuf. Beralih kepada pembahasan teori dalam tasawuf, Dr. Syam menyebutkan beberapa yang masyhur di kalangan para sufi sebagai berikut. Teori pertama adalah orang yang mengabaikan ushul tidak akan sampai. Maknanya adalah orang yang bertasawuf tidak mungkin meninggalkan ushul (al-Qur’an dan sunnah). Ibarat perjalanan, orang-orang yang meninggalkan hal ini akan terhambat perjalanannya. Ini selaras dengan yang disampaikan oleh seorang sufi yang telah diakui otoritasnya, al-Junayd. Ia mengatakan bahwa ilmu kami (tasawuf) terikat atau tidak lepas dari al-Qur’an dan sunnah.

Teori kedua dapat kita temukan dalam Al-Hikam karya Ibn Athaillah. Dalam karyanya tersebut, Ibn Athaillah mengatakan bahwa siapa yang bersinar permulaannya, akan bersinar pula pada akhirnya. Maksudnya adalah untuk menjadi sufi tulen, kita harus serius sejak awal supaya mampu meraih cahaya di akhir perjalanan. Ini dapat juga dikatakan sebagai pesan untuk penempuh jalan sufi supaya memperhatikan maqam. Para penempuh jalan ini harus memulai perjalanannya dengan bertaubat untuk sampai ke maqam yang lebih tinggi.

Teori berikutnya adalah yang telah masyhur kita dengar dari guru-guru kita, yakni barangsiapa yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhan-Nya. Dengan mengenal diri, seseorang akan menyadari hakikat kebaruannya yang artinya manusia tidak kekal abadi sebab memiliki permulaan. Manusia juga bersifat mungkin yang maksudnya mungkin tiada. Sehingga pengetahuan kita terhadap hal tersebut akan memperjelas perbedaan kita dengan Allah.

Terakhir adalah siapa yang tidak memiliki guru akan menjadi murid dari setan. Dalam bertasawuf kita harus memiliki guru. Ini sesuai dengan yang dikatakan oleh al-Ghazali bahwa setiap murid harus memiliki guru yang menuntunnya ke jalan yang lurus. Sebab, jalan menuju Allah itu berliku. Bimbingan dari guru adalah sesuatu yang akan menyelamatkan seorang murid dari kesesatan, khususnya dalam konteks bertasawuf.

Pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya hanya sedikit dari luasnya konsep dan teori dalam tasawuf.  Sebab menurut Dr. Syam, jika kita ingin memahami semua bagian dari materi tersebut, maka kita harus membaca kitabnya secara langsung. Ala kulli hal, materi tersebut setidaknya mampu membuka cakrawala pengetahuan kita terhadap konsep dan teori dalam tasawuf yang selama ini marak menuai kontroversi di antara umat Islam.

Leave a Reply